Opini

Papua dan Cara Pandang Kita

paniai, natalius pigai, pedalaman papua, revolusi nguntal, kemiskinan, kepemimpinan jokowi, pengangguran, revolusi mental, nusantaranews
Kabupaten Paniai, Papua, Indonesia. (Foto: YouTube)

Papua dan Cara Pandang Kita

Hari ini, Papua terbelit banyak persoalan. Dari soal politik, ekonomi, hingga sosial-budaya. Wujudnya pun sangat nyata; kemiskinan, gizi buruk, diskriminasi atau perlakuan tidak adil, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan banyak lagi.

Namun, sebelum jauh mengulik berbagai persoalan itu, ada persoalan mendasar yang selalu mengganggu cara pandang kita melihat Papua. Cara pandang itu yang membuat kita tidak pernah jernih dan adil dalam melihat Papua.

Cara pandang itu sudah bercokol lama di alam berpikir kita, dari sejak Orba hingga sekarang. Dan menjangkiti hampir kita semua, dari pengambil kebijakan, aparat keamanan, politisi, media massa, intelektual dan tak sedikit masyarakat kita.

Yaitu sebuah cara pandang berbangsa yang sekadar berbicara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari perspektif keutuhan wilayah atau teritorial semata, tetapi mengabaikan nasib dan kehidupan manusia di atasnya.

Padahal, ketika para pendiri bangsa menjahit dasar-dasar kebangsaan, yang dirajut pertama adalah manusianya, lewat penyatuh nasib, kehendak untuk bersatu, dan penyamaan cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Karena itu, nasionalisme Indonesia sejak pembenihannya memperjuangkan manusia yang merdeka, setara dan berkeadilan sosial.

Namun, persis di situlah hampir semua persoalan Papua itu berpangkal, seakan tak tersadari, dan tanpa ada upaya untuk mengoreksinya. Karena cara pandang nasionalisme teritorial itu, tanah Papua kita pertahankan mati-matian, tetapi mengabaikan nasib dan kehidupan manusia di atasnya.

Baca Juga:  Artileri Berat Korea Utara Dalam Dinas Rusia Dikonfirmasi

Pertama, sejak Orde Baru hingga pasca reformasi, negara lebih banyak memfasilitasi kepentingan investasi swasta. Sebaliknya, negara justru absen dalam memagari hak-hak hidup masyarakat Papua dari desakan kapitalisme.

Sungguh ironis. Sementara, gagasan nasionalisme sempit itu digaungkan tinggi-tinggi sejak 1967 hingga periode pasca reformasi, arus investasi asing dan swasta justru menderas masuk ke tanah Papua, menguasai dan mengeksploitasi sumber daya di sana. Dalam banyak kasus justru menyingkirkan hak hidup penduduk setempat.

Kita bisa melihat kisah pahit Freeport yang sudah setengah abad mengangkangi kekayaan tambang Papua. Kendati belakangan terbukti bahwa perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu tidak membawa banyak faedah bagi bangsa ini, malah menyebabkan kerusakan lingkungan, perampasan ruang hidup, dan rentetan pelanggaran HAM, tetapi hampir setengah abad negara ini tak punya nyali untuk menghukum perusahaan tersebut.

Tanah Papua kini penuh sesak dengan konsensi-konsensi, dari pertambangan, pengelolaan hasil hutan, perkebunan, dan pertanian. Catatan dari Koalisi Peduli Ruang Hidup Papua Barat (KPRHPB) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP) menyebutkan, hingga tahun 2017 sekitar 14,9 juta hektare atau 34,77 persen dari total luas Papua dikuasai oleh konsesi.

Ironisnya, ketika investasi mengepung Papua, ketika tanah dan sumber daya alamnya dikeruk besar-besaran, justru kehidupan ekonomi masyarakat Papua tidak jauh-jauh dari cerita tentang kemiskinan, gizi buruk dan kelaparan. Yang terjadi, tanah beserta kekayaan alamnya dikeruk, tetapi manusianya terabaikan dan termiskinkan.

Baca Juga:  Tentang Kerancuan Produk Hukum Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

Kedua, negara abai membangun manusia Papua. Lihat saja, hampir setengah abad Papua menjadi bagian Indonesia, tetap saja Papua tertatih-tatih di belakang di banding provinsi-provinsi lain dalam soal pembangunan manusia.

Lihatlah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengukur kualitas pembangunan manusia di Papua. Sepanjang 2010 sampai 2017, Papua menjadi Provinsi penyandang IPM terendah se-Indonesia. Tahun 2017, skornya masih di angka 59,09, sedangkan nasional di angka 70,81.

Rendahnya skor IPM ini menyingkap fakta bahwa pengembangan pendidikan, layanan kesehatan dan pemberdayaan ekonomi di Papua berjalan sangat lambat.

Akibatnya, ketika kapitalisme berkembang pesat di Papua, dengan hukum besi persaingan bebasnya, masyarakat Papua justru terpinggirkan. Persis seperti potongan lagu Edo Kondologit: Kami tidur di atas emas/Berenang di atas minyak/Tapi bukan kami punya/Semua anugerah Itu/Kami hanya berdagang buah-buah pinang.

Ketiga, karena cara pandang nasionalisme sempit itu, negara tidak pernah memperlakukan setiap aspirasi maupun ekspresi politik orang Papua sebagai hak saudara sebangsa yang wajib didengarkan. Yang sering terjadi, negara begitu gampang melemparkan tudingan separatis terhadap setiap aspirasi dan ekspresi politik warga Papua, tanpa berusaha memeriksa duduk persoalan sebenarnya dan jalan keluarnya.

Baca Juga:  Kamala Harris Khawatir Donald Trump Akan Memenangkan Negara Bagian "Tembok Biru"

Akibat cara pandang nasionalisme sempit itu, setelah setengah abad lebih Papua menjadi bagian Indonesia, yang dirasakan bukan kebanggaan sebagai saudara sebangsa dalam rumah Indonesia, melainkan merasa diperlakukan sebagai anak tiri yang hanya ditaruh di teras rumah.

Sayangnya, kekecewaan yang sudah tumpuk-menumpuk itu, bukannya dijawab dengan rangkulan dan dialog yang tulus dan terbuka, tetapi justru dengan pendekatan militer yang memperpanjang rantai kekerasan.

Memang, sejak tahun 2001, berlaku UU nomor 21 tahun 2011 yang memberi otonomi khusus bagi Provinsi Papua, yang menjamin aspirasi dan hak-hak dasar orang Papua. Tetapi, faktanya, Otsus ini kurang berhasil mengangkat partisipasi politik dan kesejahteraan rakyat Papua.

Kemudian, di bawah pemerintahan Jokowi, ada sedikit perhatian ke Papua. Infrastruktur mulai dibangun. Dalam 4,5 tahun, Jokowi 11 kali mengunjungi Papua. Hanya saja, kendati sudah ada perhatian, haluan kebijakan belum berubah sepenuhnya. Investasi asing dan swasta makin gencar menyerbu Papua. Sementara rentetan kekerasan belum juga redup.

Namun, bukan berarti persoalan Papua tak bisa diselesaikan. Selama ada itikad baik, disertai keinginan mengubah pelan-pelan cara pandang terhadap Papua, persoalan-persoalan besar di Papua pelan-pelan bisa diselesaikan.

Oleh: Bin Firman Tresnadi, Pengamat Politik

Related Posts

1 of 3,058