Cerpen

Orang-orang Tanpa Tangan, Sebuah Cerpen

mawar, mawar dinda, setangkai mawar, sebuah cerpen, rina romadona, cerpen indonesia, kumpulan cerpen, nusantaranews
Sang Penulis. (Foto: Ilustrasi/lpmalkalam.com)

Orang-orang Tanpa Tangan, Sebuah Cerpen
Karya: Bagus Sulistio

Sudah genap sepuluh kali kejadian ini terjadi. Kami bingung apa alasan mereka melakukan hal itu. Selama kami menyelidiki belum ada barang bukti sebuah tindakan kejahatan yang bisa kami bawa meja hijau. Apakah memang sudah menjadi tradisi mereka untuk melakukan itu?

Pagi ini kami harus melakukan tugas kami. Seorang pria tua bersimpah darah di tangannya. Ia terkapar di meja kerjanya. Istrinya yang telah melaporkan kepada kami. Wanita itu bercerita ketika ia hendak membangunkan suaminya untuk sembahyang, ia malah mendapatkan pria tua terkapar tanpa nyawa.

“Menurut ibu, bagaimana hal ini terjadi?, tanyaku sembari mencorat-coret di sebuah buku kecil.

“Entah tuan. Yang jelas malamnya ia minta maaf karena sudah tak memberiku uang akhir-akhir ini.” Jawab istrinya dengan wajah tertunduk.

Dari beberapa kasus yang sama kami menemukan suatu bukti yang sama. Sebelum mereka mati pasti selalu meminta maaf kepada kerabat dekat mereka karena telah tak memberikannya uang. Apakah permasalahan utama adalah uang dan kemiskinan? Tapi jika dilihat dari rumah mereka, mereka terlihat seperti orang yang berada. Mana mungkin orang yang mempunyai hiasan guci keramik dikatakan sebagai orang tak mempunyai uang? Entah lah, pertanyaan-pertanyaan itu belum kami temukan jawaban pasti.

“Maukah Ibu ikut ke kantor kami untuk pemeriksaan lebih lanjut?” Ia sempat memberikan alasan-alasan agar tak bisa ikut ajakan kami. Wajahnya penuh keringat. Kami menjadi penasaran dan curiga kepadanya. Kucoba memaksanya dan dia mau pergi dengan kami.

Kami pergi dengan mobil bersirine yang kami bawa. Singkat cerita aku dan kedua temanku sudah siap mengeksekusinya di sebuah ruangan. Salah satu temanku siap dengan pensil dan kertasnya. Sedangkan yang lain hanya berdiri mengawasi. Aku sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaanku sangat luas, tidak seperti ruangan ini yang begitu sempit dan pengap.

Aku segera memulai pertanyaan pertama. “Kapan terakhir Ibu melihat suami sebelum meregang nyawa? Lalu apa yang terakhir ia katakan?” Aku tatap matanya dengan tajam.

“Sebelum tidur pun kami bertemu. Kata terakhirnya, ya seperti yang sudah aku katakan saat di rumah tadi.” Ia menjawab dengan lirih dan gugup. Aku tahu pasti bukan hanya itu jawaban sebenarnya. Bulir keringatnya yang meyakinkanku jika ia menutupi sesuatu.

“Hanya seperti itu? Kami tahu jawaban sebenarnya. Jadi tolong jawab dengan sejujurnya.” Aku berusaha menyudutkannya.
Wanita itu semakin tertunduk dan mencoba membuka mulutnya.

“Sebenarnya malam itu kami cekcok. Aku merajuk perihal uang. Sudah tiga hari aku tak diberinya uang,” jelasnya sembari menatap meja yang berada di depan kami.

Ia tak berani menatap mataku ini. Tetapi dari jawabannya aku dapat sedikit menyimpulkan. Kemungkinan suaminya depresi dengan keadaannya dan membuatnya bunuh diri. Tapi aku tak boleh buru-buru menyudahi kasus ini.

“Apa pekerjaan suami ibu sehingga ia tak dapat memberi nafkah lagi?”

“Ia penulis. Menulis untuk majalah dan koran-koran yang belum tentu memberinya gaji,” jawabnya dengan tatapan yang sudah mulai berani melihat wajahku.

Penulis? Satu hal yang sama aku temukan lagi di kasus-kasus kemarin. Menurut orang terdekat mereka, mereka yang bunuh diri adalah seorang penulis. Dan menulis untuk majalah serta koran-koran. Lalu kenapa para penulis melakukan itu? Apakah itu yang harus dilakukan penulis jika tulisannya tidak menghasilkan uang? Entahlah. Aku harus menahan mengambil kesimpulan.
Otakku sudah penuh dengan pertanyaan-pertanyaan membingungkan. Tak sanggup lagi jika harus membuat pertanyaan lain. Kukira interogasi ini cukup. Kami harus mempersilahkan istri korban meninggalkan kami.

Setelah ia keluar dari ruangan sempit ini. Aku pun ikut keluar, akan tetapi bukan untuk mengawasinya. Otak ini perlu udara luar yang luas. Aku ini berjalan-jalan di pinggir jalan raya untuk membebaskan pikiran yang penat ini. Siapa tahu sebuah kesimpulan bisa kutemui di kedai kopi.

Belum sampai di sebuah kedai kopi, aku melihat seseorang pria bertingkah laku mencurigakan. Ia membawa pisau kecil di tangannya. Walaupun berusaha disembunyikan, aku tetap bisa sedikit melihatnya. Aku ikuti langkahnya. Aku tak tahu akan pergi kemana. Yang terpenting jangan sampai kehilangan jejaknya.

Pria itu seperti tahu bahwa ia sedang dibuntuti. Ia mempercepat jalannya. Aku pun ikut berjalan cukup cepat. Tiba-tiba ia berlari masuk ke dalam sebuah gang yang kecil dan sempit. Aku tak mau kehilangan dirinya.

“Tunggu! Jangan lari!!,” teriakku sambil mengejarnya.

Kami seperti tikus dan kucing. Ia berlari secara liar melibas habis segala sesuatu yang menghalanginya. Jalan yang telah dilewati menjadi kacau balau. Kecuali jalan buntu yang menjadi akhir kejar-kejaran ini.

“Mau kemana lagi? Menyerahlah!” bentakku kepadanya.

“Ampun. Jangan tangkap saya. Saya tak bersalah, rengeknya sambil bersujud menyerah.

“Jika tak bersalah kenapa harus lari, hah?” Pertanyaan tak dijawabnya. Ia masih tersujud sambil mengangkat tangan. “Sudah ayo ikut saya. Nanti bisa dijelaskan di kantor,” ucapku.

Kuseret pria itu ke kantor kami. Kami taruh dia di ruangan sempit tadi seperti istrinya pria tua yang bunuh diri. Teman-temanku yang tadi pun siap membantuku lagi.

Pria yang barusan aku tangkap hanya menunduk. Aku coba menatap matanya tapi ia tak membalasnya.

“Kenapa kau membawa pisau dan kabur setelah melihat saya?,” tanyaku dengan nada sedikit tinggi. Akan tetapi ia hanya melirik sebentar dan kembali menundukkan kepalanya. Ia tak menjawab pertanyaanku walaupun sekata.

“Mau membunuh orang ya? Jawab hah!” Nadaku semakin tinggi hingga ia sedikit tersentak kaget.

Dia hanya hanya menggelengkan kepala. “Aku hanya ingin mengakhiri hidupku,” tambahnya lirih.

Aku pandangan pria itu. Ia terlihat gemetar ketakutan. Keringat dingin keluar dari dahi dan tangannya. Tangannya masih erat menggenggam pisau kecil. Belum sempat aku mengambil pisau itu, dengan cekatan ia langsung menggoreskannya ke pergelangan tangan. Tepatnya di urat nadinya. Ia menjerit kesakitan. Kami kalang kabut. Bingung harus melakukan apa. Kami melihat langsung kasus yang biasa kami tangani.

“Cepat keluar panggil dokter!” Temanku yang bertugas berjaga keluar dari ruangan ini. Ia berlari mencari apa yang kuinginkan. Sedangkan kami berusaha menghentikan laju darahnya dengan kain yang kami punya.

Pria itu menjatuhkan diri dari kursinya. Ia berguling-guling tak karuan. Menjerit tiada henti-hentinya. Kain yang kami ikat di tangannya tak dapat menghentikan laju darahnya. Darahnya terus mengucur keluar. Kami semakin kebingungan.

Akhirnya badannya berhenti bergerak, mulutnya tak lagi berteriak. Bersamaan dengan hal itu teman kami datang membawa seorang dokter. Dokter langsung mengecek denyut nadinya. Dipandang wajah pria itu sambil menghela nafas.
Kali ini kami kehilangan bukti kasus-kasus itu lagi.

“Kertas apa yang ada di sakunya?,” ucap temanku yang dari tadi menjadi juru tulis. Aku ambil kertas itu. Dan kubacakan secara keras isi kertas itu.

“Maaf sayang jika hari ulang tahunmu kemarin aku tak membelikan apa-apa. Itu karena tulisanku sudah tak pernah dimuat lagi dan tak pernah mendapatkan honor lagi. Aku malu kepada tangan ini. Aku harus menjalankan tradisi potong tangan untuk menebus kegagalan ini. Maaf sayang”.

Purwokerto, 2 April 2019

Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Karyanya terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen, di antaranya: Indah Pada Waktunya (Jejak Publisher,2018), Ya Allah Izinkan Kami Menjadi Birrul Walidain (Event 7 Pejuang Antologi,2018) dan Retorik (Ellunar Publisher,2019) . Dan tersiar pada media Negeri Kertas, Kabar Madura dan Solopos.

Related Posts

1 of 3,168