Cerpen

Setangkai Mawar Dinda, Sebuah Cerpen

mawar, mawar dinda, setangkai mawar, sebuah cerpen, rina romadona, cerpen indonesia, kumpulan cerpen, nusantaranews
Setangkai Mawar Dinda. (Foto: Ilustrasi/Aliexpress)

Setangkai Mawar Dinda, Sebuah Cerpen
Oleh: Rina Romadona

Di ujung hari terasa olehku kepingan hati yang luka di masa lalu. Tak jarang setiap hari hanya bisa merenungi hari-hari karenamu, Dinda gadis yang telah lama memikat jiwa tak ibakah kau melihat dipenghujung waktuku mengejarmu. Pagi aku hanya bisa melihatnya ditepian halte bis dengan matamu yang layu, tak tahu apa sebabnya semua dunia hanya dipandang sebatas asa.

Inilah aku seorang lelaki dengan tubuh berperawakan kurus, tinggi bak terbawa angin lesu ketika melihatmu. Sepintas mata-mata kututurkan pada mahluk indah lain tak terasa olehku semuanya biasa saja, tapi hanya dengan gadis ini aku bisa membeku kaku seperti patung. Paras wajahmu Dinda seperti tak asing olehku, andai saja aku bisa memutar waktu untuk tahu siapakah kau sebenarnya.

Tepat pukul tujuh pagi kebiasaanku lima bulan ini hanyalah melihat dari kejauhan tubuh gadis semampai tinggi ini hingga membuat mata dewa terbuka lebar. Seperti ada magnet betapa bodohnya aku setiap pagi menyisakan waktu sarapan hanya untuk melihat gadis ini, mungkin menurut lelaki lain gadis ini tak pernah ada artinya tapi untukku betapa berartinya gadis ini ingin menyapa tapi tubuh langsung tak berdaya walaupun hanya ingin tahu siapakah dia gadis yang selalu membuat hatiku menjerit ingin selalu dekat dengannya. Tak jarang aku hanya bisa memotretnya dari kejauhan melihat hingga ribuan kali gambar yang berada dalam layar telepon gengamku, melukis sketsa wajahnya dari kejauhaan, tak jarang menunggu hingga larut malam sampai gadis ini berada di halte bis meskipun hujan petir kualami. Tak mungkin aku menyukainya untuk berkenalan saja sepertinya tak mungkin. Setiap hari hanya belenggu pertanyaan yang begitu hebat sebenarnya apa yang kualami.

Satu peristiwa terhebat dalam hidupku tak sengaja berada sangat dekat dengannya disebuah lift, jatungku berdetak kencang hanya bisa memegang dada yang tak terkontrol dengan jemari, hingga melihatnya keluar dari lift secara spontan aku mengikutinya secara perlahan dalam keramaian aku hanya bisa melihat orang-orang berlalu lalang tetapi mengapa gadis ini begitu cepat menghilang, apa yang sebenarnya terjadi aku hanya sekedar ingin tahu sekilas siapakah gadis itu. Dipekarangan aku masih tertegun dengan semua yang kualami hari ini sambil melihat gambar gadis itu di telpon gengamku,.

“Harus berapa lama lagi aku mengejarmu Dinda?” Tanyaku dengan gemetar.

Dinda hanya itulah nama yang kuberikan kepadanya entah harus berapa tahun lagi aku mengetahui namanya sebenarnya. Tak jarang setiap hari aku memimpikannya dengan senyum manis lebar mengarah padaku, mungkin aku bisa gila dengan kehadiran gadis ini gadis yang membuat fikiranku tersiksa.

Kepalaku masih begitu sakit karena kecelakaan setahun yang lalu sebuah mobil besar menghantam gagah motorku hingga rusak parah aku mengalami koma selama 3 bulan entah mungkin Tuhan masih mengizinkanku hidup mungkin untuk memberikan kesempatan bertemu gadis ini walaupun aku tak mengerti apa alasannya mengapa gadis ini. Satu fikiran dalam benakku dokter sempat memvonis hidupku tak akan lama lagi hanya dengan alat bantu yang begitu canggih dari pihak rumah sakit yang membuatku bisa bertahan, semua keluargaku hanya bisa pasrah mereka sempat menceritakan bahwa mataku sudah tak bisa berfungsi lagi karena begitu banyak menghirup serpihan kaca selepas kecelakaan itu terjadi, miris rasanya betapa Tuhan masih begitu menyayangiku dengan memberi kehidupan baru dan mengirimkan seseorang dengan sukarela mendonorkan kornea matanya untukku entah siapakah orang itu sampai saat ini aku tak mengetahui orang itu siapa aku hanya bisa mendoakannya semoga selalu berbahagia dalam hidupnya.

Pada saat menonton televisi terbayang olehku gadis itu mukaku tiba-tiba memucat, ibu langsung menghampiri.

“Bagaimana keadaanmu sehat?”

“Ya, kenapa ibu tiba-tiba bertanya seperti itu?,” tanyaku heran.

“Jika tiba nanti ibu ingin kau sesekali berziarah keperistirahatan temanmu,” pinta ibu hangat.

“Teman siapa bu?,” ucapku heran, tetapi ibu hanya bisa tersenyum dan langsung meninggalkanku, begitu banyak pertanyaan yang mengelabui langkah sebenarnya apa yang terjadi, aku langsung melupakan ucapan ibu dan membuka album fto di telepon gengamku dan mengamati gambar foto gadis itu begitu cantiknya dengan senyuman begitu manis tak bosannya selalu mengengam mawar putih disela-sela jarinya. Yang ku tahu mawar putih adalah lambang kasih sayang untuk seseorang apakah ia sedang jatuh cinta fikiran ini mengapa tiba-tiba membuatku lesu.

Keesokan harinya pukul enam aku langsung menuju halte bis karena perjalanan cukup jauh dari rumah tak ingin semenit melewatkan kehadiran gadis ini. Tetapi sudah pukul delapan mengapa ia tak nampak, aku hanya meningglkan kecewa pada hari ini.

“Tak mungkin ia tak ada!,” gumamku kesal.

Aku langsung menyalakan mesin motorku dan pergi meninggalkan tempat sejenak dalam fikiran ku ingin mengajak berkenalan dengan gadis itu, aku harus memberanikan diri percuma jika aku seorang lelaki hanya bisa diam saja melihat gadis yang bisa membuatku gila. Sekilas dalam perjalanan aku melewati toko bunga disana terdapat mawar putih yang sama percis dengan bunga yang selalu dibawa oleh Dinda gadisku. Mungkin aku harus membawakan bunga mawar putih ini untuk Dinda.

Malam hari Ibu memasuki kamar dengan hati-hati mungkin karena melihat pekerjaanku yang begitu menumpuk dengan membawakan segelas kopi yang begitu hangat.

“Nak, besok tanggal 20 mungkin sekarang saatnya mengunjungi temanmu besok ia ulang tahun”.

“Siapa bu?”.

“Dinda,” ucap Ibu dengan hati-hati.

“Siapa dia?,”

Ibu langsung menceritakan siapa itu Dinda, aku hanya bisa terkejut mengetahui jawaban dari semua pertanyaan yang berada didalam benakku. Dinda adalah seorang wanita yang telah mengorbankan nyawanya untukku. Dahulu saat kejadian kecelakaan Dinda berada tidak jauh denganku lalu terhempas dengan kuatnya motorku hingga terkulai lemah dirumah sakit. Ibu sempat melihat kondisi Dinda yang terbaring lemah kemudia meminta agar kornea matanya didonorkan untukku dengan kondisi yang memprihatinkan kemungkinan untuk hidup begitu sedikit, Ibu juga mengatakan kepadaku bahwa Dinda begitu mengagumi ku sejak bangku sekolah menegah pertama dan begitu malu sekalipun untuk berpapasan denganku. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepada cerita apa ini aku tak pernah mengenal Dinda. Ibu langsung menunjukan foto Dinda dan benar saja foto gadis itu adalah Dinda yang selama 5 bulan ini aku perhatikan di halte bis setiap pagi dan selalu mengangu fiikiran, aku hanya bisa terdiam mengapa gadis itu telah tiada. Pantas saja aku seperti tak asing dengannya, dahulu sejak masuk sekolah tingkat pertama aku sempat menyukainya walaupun dengan umur yang terbilang muda aku juga sempat mengaguminya tak kusangka sekarang ia secantik ini dan ia telah mendonorkan matanya untu lelaki sepertiku.

Keesokan harinya dengan membawa mawar putih aku bersama Ibu mengunjungi peristirahatan terakhir Dinda, tak terasa air mataku mengalir deras sambil mengingat 5 bulan ini bagaimana aku tak henti untuk bisa menemuinya dari kejauhan di halte bis, hingga sekarang aku berada begitu dekat dengannya dipemakaman ini. Malam hari dipekarangan rumah aku masih tak percaya dengan kisah yang kualami dengan segera aku mengambil telepon gengamku dan foto-foto Dinda yang selama ini kuambil tiba-tiba menghilang dengan sendirinya, hingga sayup-sayup angin berhembus di permukaan kulit terlihat bayangan Dinda berada disampingku sambil tersenyum dengan indah. Dinda mungkin sampai ku mati kau akan terus membuat gila. #

Related Posts

1 of 7,650