NUSANTARANEWS.CO – Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan non-OPEC bersepakat mengekang produksi minyak dan mengurangi kelebihan pasokan global. Kesepakatan ini menurut Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih adalah peristiwa bersejarah karena merupakan aksi bersama pertama sejak 2001 silam.
“Perjanjian ini merupakan langkah kerjasama jangka panjang,” kata al-Falih di Viena seperti dilansir Reuters.
Pada Senin (12/12/2016), harga minyak mentah pun melonjak lebih dari 5 persen setelah kesepakatan tersebut dicapai OPEC dan non-OPEC.
Aksi bersama ini merupakan langkah jangka panjang setelah lebih dari dua tahun harga minyak menekan anggaran serta memicu meletusnya kerusuhan di sejumlah negara Timur Tengah, bahkan hingga Amerika Latin. Patokan global, minyak mentah Brent, untuk pengiriman Februari harganya naik 5,0 persen menjadi 56,94 dolar AS per barel, dan patokan Amerika Serikat, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), naik dalam jumlah yang sama menjadi 54,07 dolar AS per barel.
Sementara itu, Menteri Energi Rusia, Alexander Novak menyambut baik kesepakatan dan perjanjian ini. Menurutnya, kesepakatan ini akan mempercepat stabilitas pasar minyak, mengurangi volatilitas dan menarik investasi baru.
Lain hal pengamat senior OPEC dan pendiri Konsultas Pira Energy, Gary Ross. “Mereka semua menikmati harga yang lebih tinggi dan pada tahap awal semua akan patuh. Tetapi, jika harga terus meningkat, perlahan tapi pasti kepatuhan tersebut akan terkikis,” analisa Ross.
Komentar Ross ini juga diamini Konsultas Energy lainnya, Amrita Sen. “Ini adalah perubahan besar. Tapi kita kurang begitu yakin, bahkan akan terjadi perdebatan tentang kepatuhan. Sebab, perjanjian bersama ini tampak seperti simbolisme belaka,” kritik dia. (Sego/Er)