Nobar Film G30S/PKI Lewat Tiga Perspektif

Film Gerakan Kudeta Berdarah 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). (Foto: YouTube/NusantaraNews)

Film Gerakan Kudeta Berdarah 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). (Foto: YouTube/NusantaraNews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tidak ada yang salah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menginstruksikan kepada seluruh jajarannya di daerah untuk mengajak masyarakat menonton bersama film G30S/PKI.

“Saran itu lazim saja karena kini sedang terjadi perseteruan perspektif tentang peristiwa G30S/PKI,” kata pengamat politik dari NSEAS, Muchtar Efendi Harahap saat dihubungi redaksi, Jakarta, Selasa (19/9/2017).

Instruksi Panglima TNI menjadi perbicangan media massa nasional. Namun Gatot menegaskan film G30S/PKI penting untuk ditonton masyarakat Indonesia agar dapat mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu.

Muchtar Efendi mengatakan, secara akademis dalam ilmu politik, terutama di Indonesia ada menang perbedaan perspektif, yakni tiga perspektif. Pertama, menilai G30S itu kerjaan PKI dan misteriusnya.

Kedua, menilai G30S/PKI itu kerjaan AS, CIA dalam konteks perang dingin AS dan Uni Soviet.

Ketiga, G30S itu adalah kerjaan militer karena mereka sdh konflik sesama. Semua perspektif ini masing-masing punya kelemahan dan kelebihan.

“Nah, kelompok militer dan orde baru menegang perspektif pertama. Kalangan kiri memegang perspektif kedua. Kalangan inter-nasionalis memegang perspektif ketiga,” jelasnya.

Panglima TNI mengatakan penting bagi generasi muda sekarang untuk mengetahui sejarah Indonesia di masa lalu. Salah satunya soal sejarah Partai Komunis Indonesia yang tertera di dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Soal nonton bareng, Muchtar Efendi menilai ini merupakan upaya kelompok perspektif pertama untuk mengalihkan pengetahuan dan perspektif mereka terhadap kaum muda. Perseteruan perspektif ini sungguh sudah lama terdapat di dunia akademis.

“Masalahnya kaum kiri dengan perspektif kedua semakin menampakkan durinya di era rezim Jokowi. Menjadi gaduh seperti kasus seminar LBH yang tentu saja punya perspektif kedua,” terangnya. (ed)

(Editor: Eriec Dieda)

Exit mobile version