NUSANTARANEWS.CO – Kekhawatiran umat muslim terhadap kepemimpinan Amerika Serikat di bawah Donald Trump tampaknya cukup beralasan. Lebih-lebih setelah di awal-awal kepemimpinanmya Trump langsung mengeluarkan sebuah kebijakan yang mengejutkan dunia ihwal pelarangan pengungsi dari tujuh negara masuk ke Negeri Paman Sam. Ketujuh negara itu di antaranya Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman.
Kebijakan Trump ini segera menuai protes besar dari sebagian warga Amerika Serikat dan beberapa negara seperti Inggris.
Sama halnya George Walker Bush, Trump tampaknya hendak mengingat kembali memori dunia terhadap peristiwa bersejarah pada 11 September 2001 silam (11/9) yang membuat gedung kebanggaan AS World Trade Center (WTC) luluh lantak akibat serangan sebuah pesawat.
Akibat peristiwa nahas itu, sepuluh hari setelah serangan (11/9), Bush langsung mengeluarkan retorika perang melawan teror. dengan menginvasi Afghanistan untuk menghancurkan Taliban yang dianggap melindungi anggota-anggota Al-Qaeda.
Seperti diketahui bahwa Peristiwa 11 September 2001 (9/11) merupakan puncak fitnah terbesar bagi bagi umat Islam Dunia. Bahkan AS dengan tegas menuduh umat Islam sebagai biang teroris, sekaligus menjadi alasan bagi AS untuk melakukan pembatasan terhadap umat muslim.
Sebagai dampak lebih luas, agenda pemberantasan terorisme tampaknya telah menjadi mega proyek tanpa batas. Bahkan mungkin akan tetap menjadi proyek sepanjang hidup manusia. Tapi hal yang patut disayangkan fakta bahwa negara-negara muslim justru paling menderita akibat serangan terorisme selama ini. Ambil contoh misalnya data yang dirilis National Counter Terrorism Center pada tahun 2011 silam di mana negara-negara muslim adalah yang paling menderita akibat serangan terorisme, antara 80% sampai 90%. Dengan 97% angka kematian terkait dengan serangan terorisme antara tahun 2005 – 2010, di seluruh dunia.
Namun demikian, fakta bahwa serangan terorisme beberapa tahun belakangan sudah mulai terjadi di beberapa negara Eropa patut jadi pertimbangan. Ambil contoh serangan teroris di Prancis dan Belgia pada tahun 2016 lalu.
Trump bisa saja sepemikiran dengan Bush soal terorisme. Apalagi salah satu alasan Trump mengeluarkan kebijakan pelarangan terhadap pengungsi masuk ke AS, terutama muslim, merupakan langkahnya untuk menghindari ancaman kelompok-kelompok teroris macam ISIS.
Sekadar mengingat, bahwa menarik untuk dicemati bahwa setelah invasi AS ke Irak, di mana ada kehadiran besar tentara Barat di sana, pihak afiliasi al-Qaeda justru berperang dengan sesama muslim, bukannya berperang melawan pasukan Barat. Jadi retorika anti-Amerika dan Israel dari al-Qaeda hanya slogan-slogan saja, sedangkan korban yang paling banyak berjatuhan berada di pihak kaum muslim bukan Barat.
Di Eropa, menurut laporan Europol ada 17 korban yang tewas pada tahun 2012, kurang dari setengah dari mereka adalah hasil dari tindakan teroris oleh kelompok-kelompok yang diilhami oleh agama. Europol mengatakan bahwa ada total 219 serangan, terutama dilakukan di Perancis dan Spanyol, tetapi serangan tersebut dilakukan oleh kelompok separatis atau F mo-nationalist group. Anehnya, serangan terorisme di Eropa tersebut tidak dicap sebagai anti-Barat.
Sementara di Amerika Serikat dan Amerika Utara menurut data statistik dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk tahun 2012, tidak ada korban jiwa karena serangan terorisme anti barat.
Jadi, tuduhan AS bahwa pihak Islam sebagai biang keladi teorisme anti Amerika tidaklah terbukti. Bila kita melihat para korban atau target, bahwa relatif sedikit orang Barat yang menjadi korban. Korban terbesar serangan ini adalah negara-negara muslim. Sementara sebagian besar serangan di Barat lebih terkait dengan kelompok separatis, kelompok sayap kanan, kelompok sayap kiri, tetapi bukan oleh kelompok anti-Amerika dan Israel.
Bahwa retorika terorisme anti-Amerika dan Israel, tidaklah benar. Sebab korbannya justru adalah umat muslim, bukan Barat. (Sego)