NUSANTARANEWS.CO – Di salah satu kolom opini harian kompas 7 september 2016, ada sebuah essai menarik yang dutulis oleh Nirwan Arsuka penggagas Pustaka Bergerak. Sebuah ungkapan tentang perjuangan seorang aktifis literasi atau penggerak keberaksaraan dengan inovasi kegiatan yang mampu menarik kelompok-kelompok kecil masyarakat. Dimana selama ini cukup terasing dengan budaya literasi. Para pencipta peristiwa itulah garis besar dari sebuah pemikiran atas keprihatinan kondisi sosial yang tidak ada perkembangan untuk urusan keberaksaraan.
Mengesampingkan minat baca itu rendah atau tidak, yang pasti budaya membaca, khususnya buku, itu kurang popular di sebagian besar masyarakat Indonesia. Perkembangan teknologi lebih dipilih dan orang cenderung beralih (menjadi budaya?) melakukan aktifitas serba cepat, instan dan berbau moderen. Teknologi digital mampu menjawab itu. Dan seperti yang dikatakan Nirwan, teknologi digital mampu menciptakan sebuah peristiwa. Dan kini teknologi digital mampu mengubah mindset masyarakat tentang kebutuhan hidup yang harus terpenuhi secara cepat dan instant. Bahkan, nyaris teknologi digital telah menjadi sebuah kebutuhan hidup yang membudaya.
Berbicara tentang literasi tentu tidak lepas dari sebuah obyek yang bernama perpustakaan. Perpustakaan merupakan salah satu simbol peradaban umat manusia. Sehingga masyarakat yang telah memiliki perpustakaan yang berkembang baik dan maju. Maka masyarakat itulah yang diindikasikan sebagai masyarakat yang berperadaban tinggi. (Sutarno, Perpustakaan dan Masyarakat, (Jakarta: YOI, 2003), hlm. 14-15). Adapun di dalam Undang-Undang no 43 tahun 2007 (2010:75) perpustakaan memiliki pengertian yaitu institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, atau karya rekam secara profesional dengan sistem baku memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.
Namun pada kenyataannya perpustakaan yang saat ini berdiri di Indonesia tidak mampu menjawab tantangan kecepatan perubahan teknologi. Sehingga kesan kuno, membosankan dan tidak menarik selalu tertanam di fikiran sebagian masyarakat. Meskipun kebanyakan perpustakaan sekarang sudah dilengkapi teknologi. Akan tapi rata-rata perpustakaan tidak mampu menghadirkan peristiwa. Sehingga untuk sekedar menarik perhatian pun tidak mampu.
Perbandingan perpustakaan yang dikunjungi rata-rata perhari dengan cakupan target wilayah masih sangat kecil. Ini bisa dilihat dari rata-rata pengunjung perpustakaan sekolah, perpustakaan daerah, perpustakaan kampus ataupun perpustakaan desa sekalipun. Masih sangat sedikit masyarakat yang menggunakan fungsi perpustakaan untuk mencari sumber informasi bahkan fungsi rekreasi sekalipun.
Hal tersebut disebabakan oleh seringnya para pustakawan dan penggiat literasi di kawasan formal berbenturan dengan regulasi yang kadang menghambat perkembangan. Dimana birokrasi lebih menjadi alasan untuk sering terhambatnya membuat konsep menarik yang mampu menciptakan peristiwa bagi perpustakaan formal. Hanya perpustakaan yang berani berisiko menabrak aturan dalam mengembangkan konsep inovatif yang mampu mempertahankan rata-rata pengunjung dan penikmat literasi.
Berdasar fakta itu, para penggiat literasi memutar otak untuk mengembangkan konsep perpustakaan konvensional. Mereka bergerak lebih bebas sesuai kemampuan tanpa takut berbenturan aturan-aturan formal secara kelembagaan. Seperti kita tahu, bagaimana keberhasilan pustaka bergerak yang mampu menarik perhatian berbagai fihak untuk lebih dekat dengan literasi.
Misalnya, ada Nirwan Arsuka sebagai penggagas pustaka bergerak. Kehadirannya mampu membuat massa berkumpul dan merasa dekat dengan buku-buku yang dia bawa seolah mereka menyatakan kehausan rasa ingin tahu mereka. Di lain daerah ada Ridwan Suuri yang mampu memunculkan sebuah peristiwa dengan kehadirannya bersama Luna sang kuda kesayangan. Keunikan itu timbul karena hal yang tidak biasa sehingga mampu mendapat sambutan dari berbagai kalangan terutama anak-anak. Kuda sebagai daya tarik tersendiri untuk memunculkan peristiwa berkumpulnya masa dan menumbuhkan keingintahuan dan akhirnya seperti lingkaran mata rantai semua saling berkaitan.
Mungkin akan menjadi hal biasa bila yang berkeliling adalah mobil perpustakaan dengan personil berbaju resmi ala pegawai dan sedikit kaku atau canggung menghadapi sosok-sosok lugu anak-anak. Sugeng Haryono mampu menggembangkan konsep konvensional itu dengan kelincahannya berinteraksi. Dan yang perlu diingat, mereka juga mengimbangi kegiatan mereka dengan menyampaikan keberadaan mereka dan kegiatannya menggunakan teknologi digital. Media sosial yang selalu mendampingi mereka menyampaikan informasi keluar dari komunitas mereka. Tidak mudah untuk menjadikannya besar. Orang-orang bermental tebal seperti mereka yang mampu terus berjalan.
Sedang perpustakaan formal? Kini tertinggal oleh kreatifitas mereka sebagai pencetus ide dengan pemikiran-pemikiran cerdas. Butuh proses panjang untuk mendapat pengakuan perjuangan mereka. Penggiat literasi yang kadang dalam perjalanannya mendapat perlakuan dipinggirkan oleh kekakuan birokrasi.
Untuk menumbuhkan literasi sebagai bagian dari budaya perlu menghadirkan pengembangan konsep mendekatkan berbagai lapisan masyarakat ke sumber kegiatan literasi. Perpustakaan yang memiliki konsep dasar dari, oleh, dan untuk masyarakat lah yang mampu berkembang. Rumah baca, taman bacaan, taman pintar, komunitas baca apapun namanya akan lebih cepat diterima dengan konsep Menarik, Unik, Kreatif,Inovatif, Demokratis dan Inspiratif atau yang di namakan konsep MUKIDI. Seperti halnya para pelaku Pustaka Bergerak yang telah memenuhi aspek-aspek tersebut. Mereka lebih diterima dan terbukti pengakuan luas telah mereka peroleh sebagai wujud hasil perjuangan mereka.
Sekarang tinggal penggiat literasi menumbuhkan ide-ide cerdas mereka, sembari memperhatikan culture sosial dilingkungan mereka agar lebih mudah diterima.
Untuk itu refleksi di Hari Aksara Internasional ke 51ini marilah kita jadikan literasi sebagai budaya yang mampu membawa peningkatan nilai sosial dan ekonomi masyarakat. Kreatifitas kita perlu dikembangkan agar mindset masyarakat tentang membaca adalah membosankan dapat dirubah. Dan buku adalah sebuah kebutuhan akan menjadi tolak ukur kemajuan budaya literasi. (Onok Slastiyan, Pengelola Rumah Baca Tirai Ilmu)