Muhasabah Kebangsaan: Infantil Islamism (Islam Kekanak-Kanakan)

Zastrouw Al Ngatawi/Foto: Dok. ikhac.ac.id

Zastrouw Al Ngatawi. (Foto: Dok. ikhac.ac.id)

Kolom: Al-Zastrouw*

Akhir-akhir ini suasana keluarga kami menjadi agak bising dan gaduh karena ulah anak-anak yang selalu merajuk sambil marah-marah. Mereka memaksa agar semua keinginannya dipenuhi. Beberapa orang tua di antara keluarga kami sudah berusaha memenuhi keinginan mereka. Tapi anak-anak terus saja merajuk dan marah-marah.

Alih-alih mau diem, mereka justru makin berisik dan gaduh. Anak-anak itu mengajak teman-temannya memasuki kamar kekuarga, ruang tamu, dapur bahkan kamar pribadi yang sakralpun diobrak-abrik dijadikan tempat menumpahkan sumpah serapah yang penuh caci-maki dan kebencian. Padahal menurut kami, apapun permintaan mereka sudah terkabulkan. Namun mereka tetep saja belum puas sehingga terus saja berisik dan merasa kurang.

Mereka ini menuntut agar diberi perhatian dan posisi lebih dibanding yang lain, karena merasa lebih punya hak dibanding yang lain. Padahal di keluarga kami memiliki aturan. Semua anggota keluarga memiliki posisi sama dan setara. Namun demkian, selama ini mereka sedah mendapat perhatian, perlakuan dan posisi yang lebih dibanding yang lain. Mereka lebih disayang, lebih diutamakan. Bahkan sudah diberi segalanya melebihi saudara-saudari yang lain. Uang saku, uang belanja sampai memegang palu aturan rumah tangga mulai tingkat pembantu sampai kepala sudah diberikan pada mereka. Sejak rumah kami berdiri semua kendali sudah diberikan dan ada di tangan mereka.

Tapi dasar anak kecil, semua itu tak bisa ditasarrufkan dengan baik. Malah harta dan kekuasaan yang besar itu dia gadai dan sebagian ditukar dengan permen dan alat-alat mainan sederhana berharga murah. Mereka menukar semua itu pada teman-teman dan saudara kami lainnya. Setelah uang mereka habis dan bosen dengan mainan yang ada, anak-anak kecil ini merasa didholimi, bahkan menuduh orang lain merampas kekuasaan dan kekayaanya. Kemudian menghasut dan menghembuskan kecurigaan berlebihan pada sesama saudara. Padahal semua itu terjadi karena ulahnya sendiri yang tidak hati-hati memegang harta dan amanah. Malas belajar dan mengembangkan nalar agar bisa memahami tuntunan secara tepat dan akurat.

Kini anak-anak yang merasa didhalimi itu mulai mengembangkan sikap curiga dengan menghembuskan fitnah dan sentimen pada sesama saudara. Bahkan mereka mengajak teman-temannya yang ada di tempat lain untuk merusak rumah kami, ada yang melempari atap, menjebol tembok bahkan sebagian diantara mereka ada yang sudah berani mencongkel fondasi rumah. Mereka seolah tidak peduli rumah kami hancur dan roboh karena jika rumah kami roboh mereka bisa pindah ke rumah lain yang sudah disediakan untuknya. Syukur-syukur bisa bangun rumah baru sesuai keinginan mereka di atas puing-puing rumah kami yang sudah hancur.

Kelihatannya ini pikiran cerdas tapi sesungguhnya ini nalar emosional anak-anak yang masih tergiur pada tampilan dan silau pada kulit luar yang terlihat menawan. Seorang anak TK tak akan pernah bisa melihat dan merasakan indahnya kilau berlian dan mahalnya sebongkah intan. Mereka lebih tertarik mobil-mobilan kaleng atau sepotong kue manisan. Inilah yang membuat mereka tega merusak rumah dan membuang intan berlian warisan para ulama dan leluhurnya demi sekerat ideologi yang belum dia pahami. Mereka tidak sadar bahwa sikap mereka merusak rumah sendiri agar bisa bangun rumah baru itu seperti keluar dari mulut singa masuk mulut buaya.

Anak-anak kecil yang gaduh dengan ulahnya yang heroik itu tidak sadar bahwa akibat ulahnya yang terus berisik dan bikin kisruh ini, telah membuat beberapa saudara kami merasa risih dan resah. Bahkan ada diantara saudara kami yang mulai merasa ketakutan akibat intimidasi dan provokasi yang mencekam dari anak-anak kecil ini terhadap mereka.

Seperti halnya anak-anak lain, jika diingatkan, mereka akan marah, layaknya pemabuk yang diajak meninggalkan minuman keras. Jika dinasehati mereka akan balas memaki karena merasa lebih benar dari siapapun. Etika dan akhlak ditinggalkan, moral diabaikan sehingga mereka tega dan berani menghujat dan melecehkan ulama-ulama yang jaid panutan. Jika dibalas dengan sikap kasar, mereka membalas dengan protes dan tudingan balik melalui khotbah moral dan etika seperti layakya seorang moralis.

Anak-anak kecil ini tidak pernah tahu bahwa sikap keras dan marah-marah itu justru menjauhkan dirinya dari rasa simpatik dan membuat orang lain muak pada pesan yang mereka sampaikan. Melihat ulah dan kelakuan anak-anak kecil yang selalu merajuk ini saya jadi teringat pernyataan Lenin tentang “infantil leftitism” (kiri kekanak-kanakan). Suatu istilah untuk menyebut orang-orang kiri yang sok revolusioner. Merasa diri paling kiri, paling benar dan paling progresif, padahal mereka sama sekali tidak mengetahui peta politik, ideologi dan realitas sosial masyarakatnya. Jangan orang-orang yang merasa paling benar, paling berani, paling revolusioner dan paling islami ini sebenarnya orang-orang yang terkena syndrom kekanak-kanakan sehingan layak disebut kelompok “infantil islamism” (Islam kekanak-kanakanan)

Saatnya menep, sareh dan belajar pada kehidupan agar tidak terbelenggu teks dan terpenjara oleh simbol. Teks dan simbol hanya klotokan, wadah dan kulit. Dia akan bermakna jika diisi dan dimaknai. Hanya dengan belajar mengisi dan memaknai teks dan simbol dengan laku utama dan akhlak mulia, seseorang bisa bergerak dari dunia anak-anak menjadi manusia dewasa.

*Al-Zastrouw, Budayawan Indonesia yang populer dengan Zastrouw Al Ngatawi. Pernah menjadi ajudan pribadi mantan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid alias Gusdur. Mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009. Al-Zastrouw ini terkenal dengan blangkon dan baju ‘surjan’nya.

Exit mobile version