Mini Album

Dekorasi dinding ruang tamu bertema karangan album music. Foto: Dok. AliExpress.com

Dekorasi dinding ruang tamu bertema karangan album music. Foto: Dok. AliExpress.com

Cerpen: Fatah Anshori*

“Madeh Mahamit dan Nicolas Maiton ditemukan di perairan laut antara Marabut, Western Samar, Pulau Dio, Kota Tacloban, Leyte, Filipina. Katanya mereka terkatung-katung di laut dengan perahu kecil penangkap ikan selama enam bulan. Bayangkan itu, selama enam bulan!”

Izami kembali meneguk koktailnya yang tinggal seperempat gelas. Pipinya tampak memerah, sementara matanya yang sipit hampir saja tertutup oleh kelopak matanya. Aku rasa Izami sudah mulai mabuk. Aku mengalihkan pandangan ke jalan raya yang berada di bawah. Toko Swalayan itu tampak sepi seperti biasanya. Di sampingnya sebuah konter kecil juga sama, tidak ada pembeli. Penjaga konter itu seperti sedang melamun, atau mungkin ia sedang memikirkan masa depan konternya yang tidak terlalu menjanjikan untuk sebuah masa depan yang gemilang.

“Mungkin itu lebih baik, dari pada terjebak di pulau bersama pekerjaan!” Izami bersendawa, bau minuman itu menyeruak dari mulutnya. Perlu kau tahu Izami adalah perempuan yang mendamba kebebasan. Di tempat asalnya dia tidak pernah mendapat kehangatan atau kenyamanan dari keluarganya, begitu ceritanya ketika pertama kali kami bertemu.

*

Malam itu, aku memutuskan berkunjung ke satu-satunya Kedai Kopi di kota Kabupaten ini yang menyediakan sembilan puluh sembilan macam kopi Nusantara. Aku duduk di meja nomor 20 yang berada di lantai dua, aku suka letaknya yang berada di balkon. Dari meja itu aku bisa mengawasi aktivitas di sekitar jalan utama kota Kabupaten. Melihat kendaraan yang melintas setiap beberapa jam sekali, iya beberapa jam sekali. Ini adalah Kota Kabupaten, kota yang tidak benar-benar kota. Namun suasana disini lebih baik beberapa tingkat dari tempat tinggalku sebelumnya. paling tidak untuk membuat masa depan Band yang ingin ku rintis bersama para bajingan—teman-temanku—itu lebih cemerlang dari pada jika kami harus tinggal di desa yang hanya memiliki satu studio musik, itu pun dengan kondisi yang menyedihkan.

Lagu I Miss You But I Hate You dari Slank telah mencapai chorus yang terakhir. Seorang pelayan kedai berjalan ke arahku. Ia meletakkan sebuah buku daftar menu, nama-nama kopi Nusantara yang bisa dipesan, aku menunjuk sebuah nama. Kopi Mangsi. Kopi yang berasal dari Bali, bukan apa-apa hanya saja, malam itu aku seolah ingin sedikit bisa merasakan suasana Bali, yang barangkali dapat sedikit menenangkan. Aku berharap setelah menyeduh kopi itu, paling tidak aroma pantai bisa kuhirup bersama fantasi turis yang sedang memanggang kulitnya di bibir pantai.

Pelayan itu pergi meninggalkanku setelah mencatat pesananku pada sebuah buku kecil. Di lantai dua ini, tidak ada orang, selain hanya aku seorang. Itu seperti yang ku harapkan. Malam itu aku memang ingin sendiri, menikmati kesendirian bersama secangkir kopi. Itu saja, namun malam itu sepertinya Tuhan berkehendak lain. Suara langkah kaki terdengar sedang menaiki tangga. Beberapa saat kemudian seorang perempuan dengan celana Denim dan berkaos oblong warna putih polos muncul. Aku suka potongan rambutnya yang sebahu, agak mirip lelaki. Tangan kanannya meyampirkan jaket jins ke bahu. Ia berjalan mendekat.

“Ini meja favoritku, boleh aku gabung?”

Aku mengangguk, ia tersenyum sebentar untuk kemudian duduk dan memandangi jalanan yang sepi di bawah sana, tepat di depan kedai kopi ini. Seorang pelayan datang sambil membawa segelas koktail. Aku sedikit terkejut dengan apa yang dibawa pelayan itu. pelayan itu meletakkan minuman itu untuk kemudian segera pergi meninggalkan kami.

“Kau tidak usah heran, kedai ini tidak hanya menjual kopi. Mereka menyimpan minuman-minuman semacam ini, dan hanya dikeluarkan jika ada yang bertanya. Suatu kali aku pernah berpikir kedai ini mungkin juga akan mengeluarkan bom jika ada yang memesannya.” Ia tertawa sebentar, lalu meneguk sedikit minuman itu.

Selanjutnya kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Itulah pertama kali aku mengenal Izami, ternyata ia bukan keturunan Jepang, dugaanku meleset. Ayahnya berdarah Jawa sementara Ibunya berdarah Bali. Nama itu diberikan oleh ibunya setelah membaca Blind Willow, Sleeping Woman. Katanya nama itu terisnpirasi dari nama tokoh di salah satu cerpen yang terkumpul di buku itu. Izami datang dari Jakarta dan telah satu tahun menetap di Kota Kabupaten ini. Ia ingin mencoba suasana baru, dan mencari tempat yang tidak seberisik Jakarta.

Di kota Kabupaten ini, ia bekerja sebagai pramusaji di sebuah rumah makan. Katanya kapan-kapan aku boleh kesana. Indekosnya tidak jauh dari kedai kopi ini, malam itu kami bercerita banyak tentang dirinya. Dan aku lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Aku tahu saat itu ia sedang mabuk. Mulutnya seolah tidak bisa berhenti berbicara, ia menceritakan tentang keluarganya, hubungannya dengan seorang lelaki yang kandas di tengah jalan. Ia pernah kuliah di fakultas pendidikan di salah satu Universitas swasta di Jakarta. Ia akhirnya di keluarkan setelah empat belas semester tidak menunjukkan perkembangan apapun selain penurunan prestasi belajar.

Ayah ibunnya telah lama berpisah beberapa hari sebelum ia masuk perguruan tinggi. Setiap malam ia kerap menemukan ayahnya terkapar di pinggir jalan dalam keadaan mabuk. Sementara ibunya pergi ke luar negeri dan menjadi TKW di Arab. Izami tumbuh diantara perpecahan keluarganya dan keriuhan Jakarta yang beringas.

Beberapa hari kami kerap membuat janji bertemu. Meski Izami tampak berandal dan sedikit maskulin di potongan rambutnya, tapi aku manyukainya. Sebenarnya hidupku juga tidak jauh beda dengan hidupnya sama-sama berantakan. Mungkin karena itulah kami merasa cocok, kami seolah sedang berbagi rasa sakit, berbagi penderitaan, dan semacamnya. Izami memang pernah punya lelaki, namun itu sudah lama. Tapi Izami tak pernah lupa dengan lelaki yang merupakan kekasihnya itu. Ia kelihatannya masih menyimpan perasaan pada si lelaki itu, meski Si lelaki berkali-kali membuat hatinya sakit. Tidak hanya satu dua kali Izami mengetahuinya tidur dengan perempuan lain. Namun entah bagaiamana perasaan di hatinya masih saja bermekaran untuk Si Lelaki.

Saat itu tiba-tiba ia bersandar di dadaku. Seolah ia tidak ingin aku pulang malam itu. sementara jam digital yang berada di sudut layar tv 14 inch menunjukkan pukul 01.14 dini  hari. seharusnya aku sudah pulang. Tapi setelah mengingat kejadian siang tadi aku jadi malas pulang. Sepertinya nasib Band yang mau ku rintis sudah tidak punya harapan lagi. Kami berempat bertengkar, saling menyalahkan tentang siapa yang sebenarnya menjadi penghambat. Aku dan tiga orang temanku saling menyalahkan. Dan selalu saja seperti itu, manusia sering ingin menang sendiri dan tak ada yang mau kalah.

Beberapa saat kemudian aku mendengar suara sesenggukan. Itu seperti tangis yang tertahan, ada yang tidak ingin dilepaskan. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. apa mungkin Izami teringat lelakinya. Atau mungkin kedua orang tuanya, entahlah. Saat itu malam yang menjelang pagi benar-benar hening. Menyisakan suara penyiar berita yang sedang mengabarkan kejadian beberapa hari yang lalu. Dua orang lelaki yang hendak menyeberang pulau menggunakan kapal kecil pencari ikan, di isukan hilang dan tidak ditemukan di perairan Indonesia. Tim pencari telah sudah mencoba mencarinya selama puluhan hari, namun tidak juga menemukan jasadnya jika mereka telah meninggal.

“Kenapa kau menangis?”

“Siapa yang menangis, aku tidak menangis. Aku hanya ingin melepaskan.”

“Air mata?” kataku.

“Lebih dari itu, kadang aku bepikir setiap air mata yang jatuh adalah representasi fisik dari kesedihan dan kebahagiaan. Apa kau setuju?”

Aku diam sesejanak. Mungkin saja ia benar.

“Jika seperti itu, semakin banyak air mata yang menetes, artinya semakin banyak kesedihan dan kebahagian yang tersimpan dalam dirinya. Begitu?”

“Mungkin seperti itu.”

“Tapi, kenapa kau menahannya?” aku mengusap rambut Izami dengan lembut dan penuh kehangatan.

“Itu karena tubuhku sebagian besar tersusun dari kesedihan, jadi aku tak ingin melepas semua dan akhirnya mati. Tapi mungkin mati juga tidak terlalu buruk.” Izami melingkarkan kedua tangannya ke pinggangku. Aku mendengar dengus nafas Izami yang lembut, dan hangat di tubuhnya tiba-tiba menjalar ke tubuhku. Kehangatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya seperti hangat selimut yang dikenakan ketika diluar hujan lebat, sangat nyaman sekali. Ketika aku hendak beranjak, Izami menahanku. “Untuk malam ini saja, tidurlah disini!”

*

Malam ini kami berjanji untuk bertemu lagi. Aku tahu Izami merasa nyaman denganku, dan aku yakin Izami juga tahu aku merasa nyaman bersama dengannya. Kami tidak pernah mengikat hubungan, semacam menjadi pacar atau yang lebih intim lagi. Tidak pernah. Kami hanya saling memahami dan barangkali saling membutuhkan.

“Seharusnya kau menjadi Madeh Mamahit dan aku Nicolas Maiton, kita bisa selalu bersama berdua saja di tengah lautan. Lalu membuat versi cerita yang berbeda.” Izami bersendawa untuk kesekian kalinya. Aku mencium aroma koktail yang sedang ia minum. Kemudian ia menatapku dengan senyum seorang perempuan tengah mabuk berat. Kedua pipinya memerah, dan dua bola matanya seolah sedang menahan rasa kantuk yang teramat.

“Maksudmu apa?” aku sedikit tidak mengerti apa yang dikatakan Izami barusan. Kejadian semacam ini sudah sering ku alami. Bahkan aku hafal tabiat baik dan buruknya ketika sedang mabuk berat seperti sekarang ini. Tabiat baiknya, ia seolah berubah menjadi pendongeng ulung yang cerita-ceritanya kerap tidak masuk akal, itu barangkali semacam cerita-cerita surealis. Dan jujur dari Izami-lah aku sering mendapatkan ide untuk menulis cerpen-cerpen gelap tidak masuk akal dan barangkali kerap membuat yang membacanya mengumpat: sialan, tolol, kampret. Aku tidak peduli. Semntara untuk tabiat buruknya, aku yakin kalian sudah tahu. Ia sangat merepotkan. Aku sering menggendongnya pulang ke indekosnya.

Di depanku Izami menyandarkan kepalanya pada lengan kanannya diatas meja. Matanya sesekali tertutup bagai orang yang sedang mengantuk. Meja nomor 20 yang sedang kami duduki lengang. Tiga gelas besar koktail tandas di tengah-tengah meja. Dan di dekatnya secangkir kopi Mangsi tinggal setengah. Aku mengalihkan pandangan ke jalanan yang berada di bawah. Masih saja sepi. Toko Swalayan itu entah sejak kapan sudah tutup. Kemudian di sampingnya penjaga konter yang mengenakan kaos biru, baru saja menutup konternya. Dan pergi dengan motor bebeknya.

Izami bersendawa lagi. “Kau ini boodoh, atau mungkin lelaki memang selalu tampak bodoh di depan perempuan yang ia sukai. Aku yakin kau juga tak jauh beda dengan mereka.” Izami tertawa lagi, semacam tawa perempuan mabuk. Aku menganggap tawa semacam itu adalah teka-teki paling sulit, lebih sulit dari teka-teki silang yang selalu di muat Koran Nasional pada hari minggu.

“Aku semakin tidak mengerti!” aku yakin Izami telah melihatku sebagai lelaki yang menyedihkan.

“Aku tahu kau suka padaku dan aku pun sama. Entah apa ini namanya, mungkin orang-orang itu sering menyebutnya dengan cinta. Tapi kebanyakan cinta selalu membuat mereka menderita. Aku tidak tahu, apa yang membuat kita harus memiliki apa yang kita sukai. Mungkin karena ego atau mungkin ini semacam representasi dari sifat serakah yang dianugerahkan Tuhan pada manusia. Dan secara tidak sadar membuat kita menderita. Itulah kenapa aku tidak pernah ingin memilikimu, Hans. Andai kita yang ditakdirkan menggantikan dua orang itu, aku akan memilih untuk tidak pernah ditemukan di laut. Lebih dari enam bulan. Dan aku secara tidak langsung telah memilikimu, kita tidak pernah bisa kemana-mana ditengah lautan. Jika kita lapar mungkin aku akan memaksamu mengail ikan. Dan jika kau kedinginan kau tak perlu repot mencari selimut atau menyalakan api sebab akulah yang akan menggantikannya. Dan pada akhirnya aku ingin menjadi orang yang mati lebih dulu, sebab aku tidak ingin merasakan kehilangan dirimu. Dan menjadi sendiri di tengah lautan. Itu menyedihkan. Lalu ketika giliranku mati, mungkin aku akan merasuki tubuh seorang sastrawan, dan memaksanya untuk menuliskan kisahku sebagai satu dari sekian perempuan menyedihkan yang pernah hidup di dunia.”

Besoknya dan besoknya dan seterusnya aku tidak pernah lagi berjumpa dengan Izami. Ketika suatu sore aku memutuskan untuk mengunjungi indekosnya, induk semangnya mengatakan, tidak pernah ada seorangpun yang tinggal di indekos itu selama sepuluh tahun terakhir. Sejak kasus bunuh diri seorang perempuan yang di temukan gantung diri di sebuah kamar. Tidak pernah ada lagi orang yang tinggal di indekos itu.

Saat itu juga aku segera minta izin pada si induk semang. Dan pura-pura salah alamat. Di perjalanan pulang menuju kontrakan, aku memikirkan nasib Band-ku yang tidak jelas dan barangkali semakin mengenaskan.

Tiga tahun kemudian Bandku rekaman di sebuah studio indie kota Kabupaten ini dengan mini album berjudul ‘Izami’.

—Juli 2017

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di media-media online.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version