ArtikelEkonomi

Menegakkan Ekonomi Konstitusi Melalui Blok Mahakam

Pada awal bulan dan tahun 2018 ini mudah-mudahan kita sebagai bangsa dapat menemukan momentum baru untuk menegakkan jalannya perekonomian bangsa sesuai konstitusi pasal 33 UUD 1945. Paling tidak, langkah itu kita harapkan dari Badan Usaha Milik Negara, yaitu Pertamina yang secara resmi telah menjadi pengelola atau operator Blok Mahakam setelah setengah abad Blok ini dikelola oleh PT Total E&P Indonesia (TEPI).

Melalui status pengelola dan operator Blok Mahakam ini, maka diharapkan peran penting Pertamina pun akan meningkat menjadi penghasil Minyak dan Gas Bumi (Migas) terbesar di Tanah Air dan juga Asia dengan bahagian produksi (production share) sekitar 40% dari total produksi Migas nasional.

Setelah meraih hak pengelolaan Blok Mahakam tersebut, maka Pertamina akan mampu berperan lebih leluasa dalam menentukan kebijakan harga BBM di dalam negeri dan kita akan menjadi tuan di negeri sendiri dalam mencapai kemandirian di sektor Migas dan Energi.

Namun, ada upaya-upaya dari pihak tertentu yang secara sistematis dan kolutif mau menggagalkan penyerahan pengelolaan Blok Mahakam ini dengan mengotak-atik komposisi saham (share holder) antara BUMN dan swasta asing. Belum lama dalam catatan kita dan berita yang telah beredar luas melalui media yang disampaikan kepada publik bahwa ada perusahaan swasta eceran BBM, yaitu VIVO Energi yang diberi izin oleh Pemerintah cq. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menjual BBB Penugasan dengan melanggar Perpres 191Tahun 2014.

Dengan menjual harga BBM Premiun jenis RON 89 lebih murah dibanding Pertamina, maka perusahaan swasta ini telah mencoba mempengaruhi publik dengan opini harga jual BBM Premium yang dipasarkan oleh Pertamina lebih mahal walaupun itu merupakan jenis BBM yang disubsidi oleh Pemerintah. Ini jelas persaingan usaha tidak sehat dan akan mendiskreditkan Pertamina sebagai BUMN.

Baca Juga:  Kemitraan Jobstreet by SEEK dan APTIKNAS Hadirkan Jutaan Lowongan Pekerjaan

Kinerja Pertamina

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini Pertamina memperoleh penugasan untuk menjalankan kebijakan Bahan Bakar Minyak Satu Harga yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dan merupakan kebijakan politik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang harus dijalankan sejak 1 Januari 2017.

Program BBM satu harga di seluruh Indonesia ini merupakan upaya Presiden Joko Widodo dalam memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah terpencil, terluar dan terjauh serta merupakan penugasan bagi BUMN PT. Pertamina untuk jenis Premium dan bersubsidi untuk jenis minyak tanah dan solar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Perpres 191 Tahun 2014.

Selama setahun pelaksanaan kebijakan BBM Satu Harga ini, tercatat hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) perolehan laba yang berhasil dibukukan Pertamina mengalami penurunan laba sebesar 27 persen atau menjadi Rp 26,8 triliun (US$ 1,99 miliar) dengan patokan kurs dollar USA Rp 13.500 dibanding periode yang sama pada Tahun 2016 yang sebesar Rp 38, 2 triliun.

Sedangkan perolehan laba Pertamina pada Triwulan I (Januari-Maret) 2017 mengalami penurunan sebesar 25 persen, yaitu US $ 760 juta atau Rp 9,88 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 1,01 miliar atau Rp 13,13 triliun, artinya dari Triwulan I ke Triwulan III terdapat selisih kenaikan penurunan laba sebesar 2 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Jika hanya mengacu pada faktor harga, maka kenaikan harga minyak mentah dunia seharusnya berpengaruh pada harga jual eceran BBM dan tanpa ada kenaikan harga jual eceran BBM, maka bisa jadi faktor kenaikan harga ini yang paling signifikan mempengaruhi penurunan laba Pertamina.

Oleh karena itu, komitmen untuk menjaga pertumbuhan laba BUMN tetap perlu dijaga sebagai bentuk penguasaan negara atas sektor strategis ini dan bukan oleh swasta. Lebih lanjut lagi hal ini ditegaskan di dalam pasal konstitusi ekonomi ayat 3 yang menyatakan bahwa: Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penguasaan negara untuk sektor tertentu dalam hal ini jelas bukan hanya sebagai pembuat kebijakan (regulator) tetapi negara melalui BUMN yang dikelola dengan manajemen yang efektif dan efisien serta tenaga-tenaga profesional adalah bertujuan untuk kemakmuran rajyat Indonesia. Penjualan premium jenis RON 89 tidak saja merupakan sebuah persaingan tidak sehat dalam hal harga, namun juga mengganggu eksistensi Pertamina dengan beban produksi dan investasi untuk memandirikan bangsa di sektor energi.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Walaupun saat ini harga jual eceran VIVO untuk premium jenis RON 89 telah menjadi Rp 6.300, maka menurut hukum ekonomi adalah layak bagi VIVO untuk memperoleh penugasan kebijakan BBM satu harga di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali, dan tentu Pertamina akan lebih fokus untuk bersaing dengan BBM jenis RON lebih berkualitas dengan perusahaan swasta asing yang telah beroperasi di Indonesia. Kenaikan harga BBM dunia yang merupakan harga keekonomian sepatutnya juga harus diikuti dengan rasionalisasi harga BBM di Indonesia sesuai dengan aturan yang berlaku.

Tanpa adanya penyesuaian harga BBM yang diperjualbelikan oleh Pertamina dan tidak adanya imbal balik (trade off) bagi Pertamina, maka beban biaya Pertamina akan meningkat dalam melayani BBM penugasan di wilayah-wilayah terpencil, terluar dan terjauh tersebut.

Sementara itu, Pertamina juga dituntut membangun industri hulu migas yang lebih kompetitif dan diwajibkan untuk memberikan kontribusi dalam bentuk pajak dan dividen kepada negara.

Produksi dan Konsumsi

Apabila kita mengabaikan peran BUMN strategis seperti Pertamina dan menyerahkan semua proses ke pasar yang kapitalis-liberalis, maka bangsa Indonesia hanya akan mengandalkan penerimaan negara dari pajak dan itu tak akan signifikan dalam membantu keuangan negara.

Baca Juga:  DBHCHT Sumenep Fasilitasi Jaminan Ketenagakerjaan untuk Petani Tembakau

Untuk itulah perlu segera membenahi sektor hulu migas ini agar kemampuan produksi Pertamina semakin baik dalam memenuhi kebutuhan konsumsi minyak di dalam negeri. Sebagaimana data yang dipublikasikan SKK Migas, produksi minyak pada kuartal I Tahun 2017 mencapai 815,6 ribu barrel per hari, dan hasil ini melampaui target dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang hanya sebesar 815 ribu barrel per hari atau sebesar 600 barrel, ada kenaikan produksi sebesar 0,07 persen.

Walaupun demikian, jumlah produksi migas yang melampaui target ini belum mampu untuk memenuhi jumlah konsumsi minyak dalam negeri yang mencapai 1,6 juta barrel per hari.

Artinya, masih ada kekurangan pasokan dari produksi minyak nasional untuk memenuhi konsumsi masyarakat di dalam negeri dengan jumlah yang sama dengan produksi yang saat ini bisa dicapai atau kekurangan yang harus diimpor sebesar 800 ribu barrel per hari.

Mengandalkan kekurangan konsumsi dalam negeri pada impor tentu saja akan banyak menghadapi tantangan dan permasalahan global, terutama sekali soal harga keekonomian dunia dan posisi tawar Indonesia saat ini yang tidak lagi menjadi negara produsen minyak.

Oleh karena itu, pengelolaan Blok Mahakam dan konsolidasi sektor hulu energi mutlak dikerjakan oleh Pertamina. Perubahan komposisi saham (share dowm) dari 30 menjadi 39 persen jelas merupakan sikap dan tindakan yang tidak berpihak pada Ekonomi Konstitusi dan sangat diragukan rasa nasionalisme para pihak yang berencana melakukannya, terutama Kementerian ESDM.

Presiden harus secara tegas memposisikan diri dalam persoalan ini, sebab jangan sampai justru menjadi subyek yang tidak berperan dalam memutuskan komposisi saham di Blok Mahakam yang misinya sejalan dengan Trisakti dan Nawacita dalam mencapai kemandirian energi nasional.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 42