NUSANTARANEWS.CO – Tidak ada yang mustahil di dunia ini, semua punya kesempatan. Kira-kira begitulah kalimat sederhana untuk menggambarkan Presiden Amerika Serikat dan pemimpin Korea Utara. Artinya, pertemuan Kim Jong-un dan Donald Trump bukahlah sesuatu yang mustahil terjadi dan sangat memungkinkan. Bahkan bisa sangat bermanfaat, khususnya menjaga perdamaian di kawasan.
Trump dan Kim belakang ramai diperbicangkan di media massa. Mungkin juga telah menjadi buah bibir publik dunia. Uji coba rudal nuklir Korea Utara sebagai pemicunya. Trump dikabarkan oleh sejumlah media geram dengan ulah Kim tersebut. Hingga berencana melakukan invasi militer bersama negara-negara sekutu seperti Jepang dan Korea Selatan.
Media massa memberitakan AS-Korut sudah berada di ambang perang. Perang militer dan fisik. Bala tentara, kapal induk, pesawat tempur, rudal, dan ancam digambarkan telah dipersiapkan dengan sempurna. Perang seperti sudah berada di ubun-ubun AS, Jepang, Korsel dan Korut. Bahkan mungkin juga Cina dan Rusia.
Namun sampai detik ini, perang fisik itu nyatanya tak jua kunjung datang. Malah, Trump belakangan mengaku dirinya merasa terhormat apabila ada kesempatan bertatap muka dengan Kim. Meski banyak yang menilai pertemuan kedua pimpinan mustahil terjadi, yang pasti pernyataan Trump tersebut merupakan sebuah indikasi bahwa perng fisik tak akan pernah meletus di semenanjung Korea.
Bahkan banyak pengamat dalam maupun luar negeri yakin betul perang fisik tidak akan pernah terjadi anatra AS-Sekutu versus Korea Utara. Adapun soal ancaman, hanyalah sebatas retorika belaka. Dan pamer alutsista, tak lebih semata hanyalah unjuk kekuatan saja.
Berkuasa sejak kematian ayahnya, Kim dan negaranya mengisolasi diri dari dunia luar. Hal itu meragukan banyak pihak kalau Kim mengembangkan program rudal nuklir untuk keperluan perang melainkan hanya untuk menunjukkan kekuasaan. Pasalnya, Kim disebut-sebut terpukul dengan kematian ayahnya yang tak terduga. Sehingga, Kim dinilai perlu menunjukkan kekuatannya sebagai penerus sang ayah, memimpin sebuah negara; Korea Utara.
Seorang penulis editorial Independent, Mary Dejevsky mensinyalir bahwa Korea Utara di bawah pimpinan Kim tengah membutuhkan pengakuan dan keamanan. Tak ada perjanjian damai dengan Korea Selatan dan hubungan diplomatik yang tidak merata, disebut Dejevsky sebagai langkah Kim untuk mendapatkan pengakuan internasional soal kepemimpinannya yang melanjutkan kiprah sang ayah. Tanpa perjanjian damai dengan Korea Selatan dan hubungan diplomatik yang jelas-jelas tidak merata, anda dapat mengerti tujuannya adalah keamanan dan pengakuan,” tulis Dejevsky.
Beranjak kepada Trump. Kini, Presiden ke-45 AS tengah berpikir keras dan merenung bagaimana cara agar dirinya bisa bertemu dengan Kim selepas membuat pernyataan dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg News. Pernyataan Trump tersebut menjadi perbincangan hangat sejumlah kalangan. Dejevsky menilai, ada kalanya diplomasi dibuat dengan cara yang tampak tidak masuk akal. Bahkan, bila dilakukan niscaya hal itu akan dinilai sebagai sebuah kesalahan.
Kira-kira begitulah kondisi yang tengah berkecamuk di dalam diri Trump. Sebab, sebagai pebisnis ulung dan realis pasar tak sedikit kalangan menilai perang bukanlah sesuatu yang diinginkannya meski April lalu dirinya mengeluarkan perintah untuk menghujani rudal ke pangkalan udara Suriah dengan alasan tempat tersebut merupakan gudang peluncur senjata kimia yang merenggut nyawa sipil di Khan Sheikhoun, Idlib. Banyak kalangan menilai bahwa serangan rudal AS ini adalah gertakan bagi Bashar Al-Assad yang lebih memilih bermitra dengan Rusia, utamanya terkait dengan perebutan jalur pipa gas. Kalau begitu, berarti serangan rudal AS jelas bermotif ekonomi dan bisnis.
Kembali ke Trump dan Kim. Pernyataan Trump yang dilontarkannya kepada Kim, lalu menuai kritik dari Mantan Sekretaris Negara AS, Madeleine Albright. Menurut dia, pernyataan Trump merupakan sebuah kesalahan dalam menyikapi sosok pemimpin yang telah membuat warganya miskin, kepalaran dan hidup di bawah kontrol penuh pemerintah. Sementara itu, sekretaris pers Gedung Putih, sean Spicer juga ikut angkat bicara mengenai kemungkinan dan peluang Trump dan Kim bertatap muka.
Menurut Spicer, pertemuan Trump dan Kim jelas sangat sulit terjadi. Pasalnya, kata dia, pertemuan antar kedua pimpinan negara bisa saja terjadi tetapi dengan syarat khusus, yakni Korea Utara mau menghentikan program nuklirnya. Dengan syarat tersebut, Spicer hendak mengatakan bahwa pertemuan Trump dan Kim merupakan sesuatu yang sulit terjadi. “Sehingga semua terdengar seperti tak mungkin terjadi; tidak ada pertemuan, tidak sekarang, dan tidak di masa mendatang,” analisa Dejevsky. Jika memang demikian, sebuah pertanyaan patut diajukan; apakah pertemuan Trump-Kim adalah sesuatu yang tidak masuk akal seperti yang tersirat dalam komentar Spicer?
Yang jelas, dalam empat bulan pertamanya, Donald Trump telah menetapkan pola diplomasi pribadi. Pendekatan Trump berdasarkan pada ‘biarkan mereka datang; kita akan saling melihat apakah kita bisa berkompromi”. Bahkan selama masa transisi, Trump berharap segera bertemu dan menjalin hubungan lebih baik lagi dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Pertemuan keduanya diperkirakan Juli mendatang.
Dejevsky menuturkan, biar bagaimana pun Trump adalah sosok yang welcome. Hal ini tampak pada kehadiran sejumlah pejabat negara yang datang silih berganti ke Washington dan Gedung Putih. Trump, kata dia, tampaknya telah menjalin hubungan pribadi dengan sebagian besar orang yang dia temui. Mereka termasuk Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe dan Presiden Cina, Xi Jinping yang tampaknya meninggalkan kesan positif pada diri Trump.
“Trump terbuka untuk bertemu hampir semua orang yang siap menemuinya, mungkin begitulah cara dia mendekati hubungan bisnisnya. anda mulai dengan mengambil ukuran orang tersebut, mempertimbangkan apa yang orang lain katakan, namun mempercayai penilaian anda sendiri mengenai apakah kesepakatan dapat dilakukan. Dan kesepakatan apapun harus sesuai dengan kedua belah pihak, atau tidak akan bertahan,” jelas Dejevsky.
Jika ini adalah polanya, kata dia, maka pertemuan akhirnya dengan Kim Jong-un tidak bisa dikesampingkan. Kesan bahwa pemimpin muda Korea Utara itu kejam dan bengis, lebih merupakan sesuatu yang masih bisa dikompromikan. Dan jika Trump menilai bahwa pertemuan dengan Kim bisa memiliki hasil positif, mungkin dunia akan terasa lebih aman. ‘Maka dia mungkin orang yang akan mencobanya,” imbuh Dejevsky.
Pungkasan, Dejevsky menilai Kim Jong-un kini sudah saatnya untuk memulai percaya bahwa berbicara adalah cara yang lebih efektif untuk didengarkan daripada merencanakan uji coba nuklir berikutnya, atau menembakkan misil ke kawasan laut terotori negara lain.
Penulis: Eriec Dieda
Editor: Achmad Sulaiman