NUSANTARANEWS.CO – Market atau pasar ‘benturan ideologi’ yang dimainkan manajemen kolonial sejak Perang Dunia (PD l), PD II dan Perang Dingin dalam koridor penjajahan kuno atau kolonialisme purba ternyata belum berakhir. Konflik sektarian. Ia masih dianggap sebagai menu tepat guna “mengaduk-aduk” negara target kolönialisme di beberapa negara, terutama negara berciri pluralistik, heterogen dan pernah memiliki sejarah kelam konflik ideologi seperti Indonesia, contohnya.
Betapa usai Perang Dingin, sesungguhnya market kolonialisme tak lagi membenturkan antarideologi lagi namun bergeser menjadi ‘benturan peradaban’ sebagaimana rekomendasi Samuel P Huntington dalam buku Clash of Civilization. Inilah era penjajahan gaya baru. Manajemen tidak lagi menghadapkan Kapitalis versus Monarkie seperti pada PD I, atau membenturkan Kapitalis melawan Fasis dalam PD II, ataupun mengadu antara Kapitalis vs Komunis pada Perang Dingin lalu.
Market pada penjajahan gaya baru adalah benturan antara Kapitalis vs Islam (militan). Itulah benturan antarperadaban Barat vs Islam. Kendati secara hakiki, Islam itu rahmat bagi seluruh alam. Itu frase dari Tuhannya. Tetapi ketika dibawa ke ranah (geo) politik, pasar pun terbuka lebar. Berserak bahan-bahan devide et impera.
Mau pilih Islam radikal, Islam modern, Islam fundamental, atau pilih menu Islam tradisional? Seyogyanya umat muslim tidak terpancing dalam skema tersebut. Jangan lagi ditambah fabrikasinya seperti Islam nusantara, Islam sejati, garis lurus, dll. Itu larut pada skema pasar kolonialisme namanya. Cukupi sudah empat golongan Islam sebagaimana rekomendasi Rand Corporation, think tank Pentagon.
Ya, apabila ciri utama penjahan purba itu menduduki lalu merampas geoekonomi sebuah bangsa berpola konvensional ala militer yakni Bombardier – Kavaleri – Infanteri (BKI), maka penjajahan gaya baru berjalan senyap dengan pola nirmiliter. Isu – Tema – Skema (ITS). Tanpa letusan peluru tetapi mampu merampas kehidupan bangsa yang ditarget. Istilahnya “menyerang dari sisi internal,” langsung menukik pada sistem negara (peraturan dan per-UU-an). Sekali lagi, senyap, tanpa letusan peluru.
Pada era ini, peran militer dikurangi namun bukan berarti tak berfungsi, Indonesia contohnya — meski sistem (UU) yang ada telah dan cenderung membawa kekayaan bangsa ini lari keluar, tetapi dari sisi eksternal toh masih dikepung secara simetris. Ada sekitar 13-an pangkalan militer Amerika dan sekutu mengepung Indonesia. Artinya, pola militer dan nonmiliter nantinya bakal dimainkan secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung situasi.
Shock and awe. Kekuatan militer bagi para adidaya kolonial sekarang sepertinya hanya diletak sebagai show of force, modus gertak menakut-nakuti.
Sejarah berulang. Tatkala era penjajahan purba, masyarakat dunia dan/atau negara-negara yang terlibat disibukkan dalam rangka penyiapan dan antisipasi pola BKI – bombardier, kavaleri dan infateri.
Demikian pula di era penjajahan gaya baru. Meski tanpa asap mesiu, publik global digaduhkan oleh pola ITS. Isu, tema dan skema. Ditebar isu konflik antarmazhab, gaduh! Disebar isu flu burung, ramai! Demikian seterusnya. Segenap komponen bangsa di negara target kolonialisme, lazimnya dibuat lupa dan abai – deception – bahwa ujung kegaduhan tersebut adalah mencaplok geoekonomi yang intinya penguasaan food and energy security (pangan dan ketahanan energi). Istilahnya what lies beneath the surface.
Di atas permukaan dibikin lucu-lucuan. Bising. Gaduh. Sedang di bawah permukaan dan tersirat – dirampas secara diam-diam. Pertanyaannya sederhana, “Berapa juta ton emas Papua telah digali, sedang tak sedikit warganya masih memakai koteka? Berapa juta barel minyak dan gas Indonesia disedot, sementara kita malah impor?”
Belum lain-lain di bidang pangan/sembako misalnya, atau kelautan, kehutanan, pertanian, perkebunan, dll. Inilah ironi geoekonomi. Itulah paradoks geopolik bagi Indonesia. Negara dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada namun justru mengimpor garam; negeri agraris beriklim tropis dengan curah hujan tinggi tetapi impor ketela, jagung?
Pertanyaannya sekarang, kenapa semua terjadi di Bumi Pertiwi? (Red)
Penulis: Arif Pranoto