Tak ada yang meragukan arti penting pemuda sebagai elemen penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam satu kesempatan, Bung Karno mengucapkan kata-katanya yang masyhur, “berikan aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Pada kesempatan yang lain Bung Karno juga mengucapkan, “jangan kita mewarisi abunya sumpah pemuda, yang harus kita warisi adalah apinya sumpah pemuda”. Dua nasehat Bung Besar tersebut seyogianya menjadi renungan bersama bahwa pemuda memainkan peranan strategik dalam setiap gerak langkah RI, sejak dulu hingga kini.
Begitu pentingnya peran pemuda dapat kita telusuri dari setiap pembabakan sejarah republik ini. Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 tak lepas dari sekelompok pemuda yang berhasil menekan Soekarno untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu komando Jepang terlebih dahulu. Keberhasilan pembangunan pada zaman Pak Harto melalui swasembada beras dekade 80-an sedikit banyak merupakan kontribusi para pemuda yang bekerja di sektor agraris dengan menggarap lahan pertanian dan perkebunan.
Pada era reformasi tahun 1998, para pemuda yang tergabung dalam berbagai gerakan ekstra parlementer dan organisasi kampus (intra dan ekstra) mampu memaksa pemerintah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat. Pada masa itu, menyitir bahasa Soe Hoek Gie, para pemuda tampil bak resi turun gunung menggulingkan pemerintah yang tak sesuai lagi dengan khitahnya sebagai pelayan rakyat.
Pada masa pasca reformasi, kaum muda bergegas mengisi pembangunan dengan memasuki setiap lini kehidupan. Partai politik mulai mengarusutamakan kader-kader mudanya dalam pemilihan kepala daerah, para siswa Indonesia berjaya dalam pentas Olimpiade Sains Internasional, maraknya industri kreatif yang menggerakkan perekonomian kecil di berbagai daerah di Indonesia juga muncul dari jiwa enerjik para pemuda.
Eksistensi pemuda Indonesia dijamin secara hukum oleh pemerintah. Lahirnya UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan dilatarbelakangi oleh pendekatan sejarah yang panjang bahwa pemuda Indonesia memainkan peran yang strategik dalam mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Sukses tidaknya pembangunan nasional juga ditentukan oleh seberapa besar kontribusi pemuda kepada negeri.
Jaminan hukum yang diberikan pemerintah dalam pengelolaan pemuda di Indonesia patut kita apresiasi. Namun demikian, menilik peran strategik pemuda sebagai katalisator kemajuan berbangsa dan bernegara, penekanan pengelolaan pemuda saat ini seharusnya tidak hanya bertumpu pada pembangunan nasional semata, tapi juga berbasis ketahanan nasional.
Jika diibaratkan mobil yang melaju kencang, pengelolaan pemuda tidak boleh selalu menekan gas (pembangunan nasional), tapi juga harus peduli pada rem dan indikator pada dashboard (ketahanan nasional). Oleh sebab itulah pengelolaan pemuda dalam konteks kekinian perlu memasukkan unsur ketahanan nasional agar tujuan pembangunan nasional dapat tercapai secara optimal tanpa gangguan dan hambatan yang berarti. Pembangunan nasional tanpa mengacu pada konsepsi ketahanan nasional dapat berakibat pada hasil pembangunan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pengelolaan pemuda berbasis ketahanan nasional memiliki urgensi tinggi apabila dikaitkan dengan tantangan dan kondisi kekinian Indonesia. Indonesia sedang bersiap memasuki periode yang oleh banyak kalangan disebut sebagai bonus demografi (diramalkan akan terjadi pada tahun 2020), suatu kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari penduduk dengan usia yang tidak produktif. Proporsi penduduk usia produktif yang didominasi oleh kalangan pemuda ini berkisar 70 persen, atau sekitar lebih kurang 180 juta jiwa. Pemerintah selaiknya melihat momen ini sebagai momentum untuk memaksimalkan peran pemuda dalam pembangunan nasional.
Kapitalisasi peran pemuda dalam pembangunan nasional wajib memperhatikan aspek ketahanan nasional agar kondisi ini benar-benar menjadi bonus demografi, bukan sebaliknya sebagai buntung demografi. Aspek ketahanan nasional diperlukan agar strategi dan perencanaan yang disusun bersifat integral, holistik, dan jangka panjang, sehingga potensi hambatan yang muncul di depan bisa diatasi dengan segera. Secara ril, hal ini dapat diwujudkan dengan kebijakan pendidikan yang bertumpu pada empat konsensus bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) untuk mereka yang masih berada pada usia belajar, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pengelolaan sumber kekayaan alam nasional secara mandiri bagi mereka yang berada pada usia bekerja.
Indonesia sebagai negara berkembang juga memiliki masalah baru seperti halnya banyak negara berkembang lainnya, yakni fenomena brain-drain di mana banyak tenaga terdidik dan terlatih lebih memilih bekerja di luar negeri dibandingkan di dalam negeri. Fenomena ini memang tak sepenuhnya negatif karena di sisi lain menciptakan jejaring global yang bermanfaat pada kepentingan nasional, namun demikian sedikit banyak menjadi autokritik bagi pemerintah karena pola pendidikan yang mereka enyam miskin nasionalisme sehingga mereka tak tertarik untuk mengabdi di dalam negeri.
Pendidikan berbasis ketahanan nasional menjadi solusi. Internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila mutlak diberikan sejak mereka masih berstatus siswa Taman Kanak-Kanak (TK). Jikapun pada akhirnya mereka memutuskan menempuh pendidikan di luar negeri pada jenjang yang lebih tinggi, muaranya tetap satu, mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia. Kita tentu tak hendak aset nasional Indonesia dibajak untuk kebermanfaatan negara lain.
Pengelolaan pemuda berbasis ketahanan nasional sebagai bentuk pembelajaran sejarah menjadi kebutuhan yang mendesak. Konsep ketahanan nasional menurut filsuf Perancis, Rene Thom memiliki dua komponen, yakni stabilitas struktural dan faktor kontrol. Faktor kontrol menjadi kata kunci karena menentukan perubahan yang dihadapi oleh negara, apakah berlangsung mulus atau terjadi secara mendadak (katastrofi).
Dua kali Indonesia menghadapi katastrofi yakni jatuhnya Soekarno pada tahun 1960-an dan runtuhnya rezim otoriter Soeharto pada medio 1998. Keduanya memiliki persamaan yakni instabilitas politik dan ekonomi karena lemahnya faktor kontrol, baik dari dalam maupun luar sistem pemerintahan. Tak berlebihan apabila kita menganggap hal ini terjadi karena faktor kontrol tak melibatkan peran pemuda sehingga mereka berdiri di luar garis kekuasaan menjadi pembangkang pemerintah yang dianggap tak mewakili kepentingan rakyat. Tak lekang dalam ingatan kita hingga hari ini mengenai kebijakan NKK/BKK Soeharto yang mengerdilkan semangat dan idealisme mahasiswa di kampus yang mengkritik kebijakannya. Mahasiswa jugalah yang pada akhirnya membuat Soeharto lengser keprabon.
Belajar dari sejarah, kebijakan yang ditelurkan pemerintah dalam konteks pembangunan nasional harus menjadikan pemuda sebagai bagian yang melekat di dalamnya, dikelola dan dilibatkan secara aktif dalam menjalankan, mengawasi, hingga mengoreksi derap langkah pembangunan nasional, semata-mata untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
Melalui pengelolaan pemuda berbasis ketahanan nasional, peran, tanggung jawab, dan hak segenap pemuda Indonesia sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan seperti yang termaktub dalam beberapa regulasi pemerintah terkait kepemudaan dapat membantu mewujudkan akselerasi pembangunan di segala lini, dan tentu saja Indonesia yang ulet dan tangguh, serta berdaya tahan.
Penulis: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, Pemerhati Isu-isu Kepemudaan