Melihat Kehidupan (di Indonesia) Dari Mata Sastra

Emha Ainun Nadjib menyampaikan Orasi Budaya dalam perayaan 50 Tahun Majalah Sastra Horison, TIM, 26 Juli 2016/Foto Selendang/Nusantaranews
Emha Ainun Nadjib menyampaikan Orasi Budaya dalam perayaan 50 Tahun Majalah Sastra Horison, TIM, 26 Juli 2016/Foto Selendang/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – 50 Tahun Majalah Sastra Horison berlangsung khidmad di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (26/7) kemarin. Lebih 300 orang mengahadiri perayaan ulang tahun ke-50 sekaligus acara mengenang H.B Jassih dan Mochtar Lubis yang sama-sama memiliki memontum penting di bulan Jula. Selain itu, bulan Juli juga merupakan Hari Sastra Indonesia yang jatuh pada tanggal 3 Juli.

Para hadirin yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari seniman, budayawan, kaum untelektual, para tokoh nasional, pejabat tinggi negara, bahkan actris kian khusyuk setelah acara orasi budaya oleh Emha Ainun Nadjib dimulai. Orasi Budaya dengan tema “Belajar Manusia kepada Sastra” merupakan acara inti perayaan 50 Tahun Majalah Sastra Horison. Di samping juga sebagai ajang untuk mengabarkan bahwa majalah Horison terbit terakhir kali pada edisi Juli 2016 dan selanjutnya, Horison berganti menjadi majalah online dengan nama horisononline.

(Baca: Taufiq Ismail: Horison Cetak Beralih ke Online Mulai Hari Ini)

Dalam orasi budayanya, Cak Nun nama populer budayawan Emha Ainun Nadjib ini tidak menyampaikan esai panjang yang telah dibagikan kepada hadirin dengan judul “Belajar Manusia kepada Sastra”. Cak Nun membuka orasinya dengan sebuah sikap terhadap keputusan horison tidak lagi cetak dan berganti jadi media sastra online. Awalnya Cak Nun dilema apakah harus sedih atau bahagia.

Menurut Cak Nun, sebagai seniman yang hidup penuh romantisme masa lalu, dimana pada masa kejayaan Horison, ketika salah satu karyanya dimuat Horison, kebahagiaan yang dirasakan seperti baru pulang dari tanah suci alias seperti naik haji. Cak Nun mengungkapkannya dengan nada sedikit bercanda.

“Saya tidak tahu, apakah saya harus sedih atau bahagia dengan tidak terbitnya lagi Horison dalam bentuk cetak,” ujar Cak Nun.

(Baca juga: 50 Tahun Majalah Sastra Horison Dirayakan Penuh Romatisme Masa Lalu)

Namun pada prinsipnya, Cak Nun mengaku bahagia, dengan kehadiran horison online. Walaupun ketika pihaknya, membaca Horison dengan wajah barunya, kebahagiaan yang akan dirasakan tidak akan sebahagia ketia membaca horison dalam bentuk teks di atas kertas sembari menikmati kopi dan rokok.

Kemudian Cak Nun menyampaikan perihal fungsi sastra bagi manusia di dalam kehidupan. Baginya, sastra dibutuhkan oleh setip orang. Dengan kata lain, setiap orang penting membaca karya sastra. Sebab untuk mengetahui bahwa masing-masing manusia memiliki keterbatasan, perlu bacaan sastra untuk mengetahuinya.

“Sastra ada di dalam dirimu sejak engkau belum lahir. Sastra ada sejak engkau berada dalam gendongan ibumu. Pengertian ini saya dapatkan dari (mantan presiden malioboro) Umbu Landu Paranggi,” kata Cak Nun kepada para hadirin.

Cak Nun pun menyampaikan, bahwa sastra terbukti tak bisa mati. Di tengah budaya materialisme, industrialisme, dan kapitalisme, sastra tetap hidup. Belakangan, hal itu ditandai dengan lahirnya generasi millenial, yaitu generasi yang menciptakan ruang-ruang sastra mereka sendiri terutama di dunia digital. “50 tahun Horison ini saya sapa dengan syukur dan rasa kagum, betapa sastra tetap tegak martabatnya di tengah zaman -yang sebagian pelakunya semakin tidak mengenalnya, sebagian lain meremehkannya, serta sebagian yang lain lagi mencampakkannya dan menganggapnya tidak ada,” katanya seperti tersirat pula dalam esai yang tidak jadi disampaikan secara lisan.

Namun demikian, Cak Nun menjelaskan, bahwa apa yang disampaikan di atas podiom merupakan pengantar belaka. Jika ada yang baik untuk diambil oleh audien, maka hal itu akan menjadi prolog untuk masuk pada esai yang telah dibagikan. Adapun naskah esai yang dimaksud bisa dibaca di sini: “Belajar Manusia kepada Sastra“. (Sulaiman)

Lihat artikel terkait: Jamal D. Rahman: Horison Mendedikasikan Diri Bagi Dunia Pendidikan dalam Gerakan Literasi

Exit mobile version