Cerpen: Muliadi G.F.
Lima belas menit lagi jam 6, aku harus mengebut truk ini. “Saya sudah ndak tahan, Bos,” kata Topan. “Saya tahu, Top,” kataku, “tapi di sini ndak ada kloset.” Melihat mulut Tol seratus meter di depan, kuinjak pedal gas kuat-kuat, tapi, lampu kuning sebelum perempatan menyala, dan… lampu merah, aku mengerem mendadak, sial betul. “Bagaimana kalau singgah sebentar, Bos?” kata Topan lagi, “Sebentar saja.” “Kita sudah dua kali singgah,” kataku, “sekali ini tahan saja.” Lampu hijau menyala, kami pun maju menyeberangi perempatan dan memasuki jalan Tol, hanya singgah untuk membayar bea masuk, selebihnya melaju terus. “Cobalah tidur,” kataku, “nanti sa-bangunkan kalau di luar kota.” “Andai pantat bisa tidur,” keluhnya. Ke arah spion-luar, ia berbalik memunggungiku, kedua kakinya terlipat di atas jok, dan perutnya ia peluk erat. Truk belok, uh, dari depan sana mendekatlah ekor Tol, dan, satu menit sebelum jam 6, akhirnya kami lepas dari batas kota, dan, akhirnya juga, lepas pula beban Topan, aku baru tahu ini saat bau busuk tercium, kubuka kaca jendela tanpa bicara. Dongkol? Tentu saja, andai larangan baru itu tidak ada, mungkin Topan bisa bersantai di kloset dan semua ini tidak terjadi—mereka sudah melarang kami melintasi kota antara jam 6 pagi sampai 8 malam, sebenarnya kami sampai di kota ini jelang subuh, masih sempat keluar dari kota tanpa laju gila-gilaan andai perut Topan bisa kompromi, tiap sebentar dia mau ke masjid, dasar aneh, saat sehat dia tak peduli masjid, tapi saat sakit begitu ia cari hanya untuk singgah jongkok di kloset, aku sudah singgah membelikannya obat di warung tapi tak mempan juga, akhirnya, beginilah. “Kau bawa berapa parfum, Top?” tanyaku, ia tak menjawab. Setelah menemukan masjid, ia singgah meneruskan hajatnya dan membersihkan diri, saat kembali, ia menenteng baju basah dan mengelapkannya ke jok, perjalanan pun berlanjut, kunyalakan tape, kudengar Ayu Ting Ting masih mencari Alamat Palsu, dan kudengar Topan mencari alamat di ranselnya sebelum mengeluarkan buku tebal berwarna merah—bukan alamat, ternyata. Calon sarjana ini mengisi libur kuliahnya dengan menggantikan Sudin, kernet tetapku yang kena tifus. Tenggelam di buku, Topan melupakanku, begitu lega ia tampaknya, begitu ringan, begitu cerah, dan begitu terus seolah kami sedang berjemur di pantai saja, padahal baru beberapa menit sebelumnya ia meregang perut di truk. Dua jam setelah drama perut Topan tamat, ia masih membaca, saat kutanya, ia bilang itu buku cerita, aku tahu itu buku cerita, tanpa ia bilang pun aku tahu itu buku cerita, aku tahu hanya buku cerita bagus yang bisa menahan orang seperti Topan mengabaikan dunia yang kami lewati, aku juga pernah membaca cerita, begini-begini, meski cuma sekolah sampai kelas satu STM, aku juga bisa membaca, malah sedikit-sedikit, atau banyak-banyak, aku juga bisa menulis—karena pernah sekolah pula, aku ber-aku-aku dalam benakku, meski tetap saja, dalam percakapan sehari-hari di daerah ini kami tetap ber-saya-saya, tak mungkin ber-aku-aku kecuali kalau kamu sedang melucu, bertingkah seperti makhluk tivi itu, guru teladan zaman sekarang. Begitulah. Bila truk ini cerita, ini pastilah cerita tanpa titik, cuma koma terus-menerus, tiap sebentar melambat, tapi, tentu saja, ini bukan cerita, ini truk, dan truk ini melaju-laju-laju-laju mulus di jalan poros yang telah dilebarkan sampai aku bosan, dan ini bahaya, bisa-bisa aku mengantuk, kawanku La Suka, sopir seangkatanku, yang truknya gampang dikenali dari lukisan khas di pantat truk (seorang lelaki sedang merokok dan menatap tajam ke arahmu, dadanya ditutupi tulisan besar-besar SEKALI BERARTI SUDAH ITU MARI… NGOPI), tiga hari lalu terbangun jam 4 sore dan melihat daun-daun mangga dan burung-burung dan awan-awan dan langit ada di bawahnya, ternyata truknya sudah lebih dulu telentang di atas, ya, di atas, sebuah kios pinggir jalan, bayangkan bahayanya, jadi, sekarang kuhiburlah diriku dengan merokok, atau ikut bersenandung mencari alamat palsu, atau memainkan telolet keras-keras bila melihat seseorang akan menyeberang, jalan lebar membikin kendaraan melaju kencang, para penyeberang mesti punya delapan mata terlebih dulu, sedangkan empat mata Topan (dia berkacamata) terus membaca, aku tak tahu di mana dia sekarang, tapi yang jelas bukan di truk ini, lama didiamkannya, aku tak tahan, melewati satu tikungan, ah-ha, aku mendapat bahan, “Eh, Top, kau tahukah jalan sebelum tikungan tadi? Itu baru sebulan mulusnya.” “Apa bedanya?” kata Topan, matanya masih di buku, “Toh semua jalan juga sudah mulus.” “O, ada bedanya, Top,” kataku, “material jalan itu adalah kisah. Kisah cinta.” “Material…?” ia mengangkat matanya dari buku dan tertawa kecil, “Kisah cinta?” Belalang kurus ini meremehkanku, tunggulah. “Serius,” kataku, “duduk saja tenang-tenang, biar sa-ceritakan.”
***
Semua material pasti punya asal, Top. Tanah dari gunung, batu dari sungai, misalnya. Adapun kisah ini asalnya dekat saja, ia berasal dari salah satu warung di tepi jalan itu, warung berpintu rendah, kalau mau masuk kau harus tunduk biar jidatmu tidak baku tanduk dengan kosen atas, gelap saja, apalagi kalau malam, cahayanya hanya dari pelita dan lilin, dan jendelanya jaring kawat, dengan tali rafia melintang tempat secarik kain tergantung yang bisa ditarik menutupi jendela, dan dindingnya seng, Top, kalau kau terlampau mabuk, kau boleh saja menyikut seng itu untuk mengabari seisi kampung bahwa kau ndak mabuk. Di warung itu, tinggallah seorang gadis cantik, Top, bersama ibunya yang selalu berbaju kensi, memamerkan lengannya yang menggelambir leher sapi, baju gadis itu juga selalu kensi, tapi lengannya bukan leher sapi, lengannya kuning langsat, selalu luwes bergerak kalau ia mengopek-ngopek kuku kakinya di bale-bale depan warung, dia pendukung-garis-keras celana jins seperempat paha, sehingga siapa pun tahu kalau pahanya putih berseri. Waktu itu, seorang pemuda berseragam khaki masih sering datang sore-sore, saya tahu nama aslinya, Top, tapi untuk kepentingan cerita ini kita sebut saja dia Andi Khaki, dia anak pejabat daerah, yang sedang menyusuri jalur lurus untuk menjadi pejabat juga seperti bapaknya. Nama asli si gadis juga saya tahu, tapi dengan alasan yang sama kita sebut saja dia Yukensi. Mereka sudah baku kenal saat SMA, satu sekolah, pernah satu kelas pula, mungkin kamu heran, bisa-bisanya anak pejabat satu sekolah dengan anak tukang warung kecil begitu, jangan heran, Top, jangan, akan saya singgung sedikit soal itu. Karena mamak Yukensi tak mau anaknya mengikuti jejaknya jadi tukang warung, dia merasa perlu menyekolahkan Yukensi di sekolah elite daerah itu, di sana, bersekolah pula anak-anak pejabat dan orang kaya, tapi setelah anaknya lulus, dia angkat tangan, tak cukup uang lagi untuk menguliahkan Yukensi, dia menyuruh anaknya cari kerja di luar, tapi gadis itu menolak karena tak mau jauh-jauh dari sang mamak. Yukensi ini cerdas, dia tahu memanfaatkan keadaan—ini satu ciri kecerdasan, ‘kan? Dia mengganti baju SMA-nya dengan baju kensi dan menyuruh mamaknya melakukan yang sama, dan sore-sore, mereka akan duduk cari kutu atau mengopek-ngopek kuku kaki di depan warung, gaya ini langsung menyebar ke para pemilik warung lain yang menjejali tepi jalan itu, saya sering lihat barisan pencari kutu di depan warung-warung itu, seperti… acara cari kutu massal. Tapi ah, tentu tidak sampai seperti itu. Tapi oh, bayangkan Yukensi mengopek-ngopek kuku kaki, Top, malaikat pun pasti terpukau, bidadari sepertinya menumpukan sebelah kaki di lantai bale-bale sementara kaki lainnya menjuntai, lututnya mulus dan betisnya bersih tanpa cela, semulus dan sebersih jalanan ini sekarang, tapi… kau pasti tahu, Top, waktu adalah unsur penting dalam hidup, iya, tidak? Tentu saja, untuk menikmati pemandangan bidadari mengopek kuku kaki juga butuh waktu, tapi untungnya, jalan di depan warung itu b’geronjal, penuh batu-batu, aspalnya retak parah, tersiah ke mana-mana, itu membikin semua pengemudi melambatkan kendaraan, dan, saat itulah, saat detik-detik juga melambat, sang Waktu memberkati mereka dengan kesempatan untuk menoleh, melihat-lihat pemandangan bidadari depan warung, dan, kalau keberuntungan berlanjut, mereka akan menepi lalu masuk warung, minum barang satu-dua teguk, dan, kalau keberuntungan datang lagi, mereka terus minum sampai mabuk. Waktu seperti itu juga yang bikin Andi Khaki singgah pertama kali, dia—yang saat itu sudah lulus kuliah dan baru saja bekerja ikut bapaknya—langsung terkejut melihat si bidadari ternyata Yukensi, teman sekelasnya dulu. “Kamu di sini?” sapa Andi Khaki. Yukensi tersenyum, menurunkan kaki, berkata malu-malu, “Mari, mari.” Mereka pun masuk warung, Andi Khaki duduk di bangku, Yukensi menghidangkan gorengan dan minuman soda. “Mau kumasakkan mi?” tanya Yukensi. “Duduklah saja,” kata Andi Khaki, “kita mengobrol.” Obrolan perkenalan-ulang mereka rupanya bersambut obrolan-obrolan berikutnya, karena Andi Khaki makin sering datang, pasti saat itulah tunas-tunas cinta tumbuh di hatinya, dan Yukensi pun begitu, dia tambah bersemangat mengopek kuku kakinya sore-sore, menunggu. Dan suatu malam, Andi Khaki, dengan Yukensi yang mulai rajin duduk di pahanya, membocorkan sebuah rencana: jalan poros akan dilebarkan, “Kita akan makin leluasa b’pindah dari satu tempat ke tempat lain, Cinta,” katanya. “Dan truk-truk akan melaju mulus bawa barang-barang lebih cepat sampai tujuan. Bisnis tambah lancar.” Yukensi sontak turun dari pangkuan, matanya membulat curiga, ia sadar, kalau jalan depan warung diperbaiki, sang Waktu takkan berpihak lagi pada usahanya, tapi, seperti sa-bilang tadi, Top, gadis ini cerdas, akalnya bekerja, segera ia mengerahkan segenap pikiran dan kata-katanya untuk mempengaruhi Andi Khaki, agar pemuda itu mempengaruhi bapaknya, dan si bapak mempengaruhi panitia proyek jalan, agar yang terakhir ini tidak mempengaruhi rejeki si gadis, pendek kata, agar sang Waktu tetap berpihak pada warung itu. “Tidak, cinta,” kata Andi Khaki, “perbaikan jalan itu untuk kemajuan daerah ini juga, demi orang-orangnya.” “Yang mana?” kata Yukensi, “Kami? Jelas bukan. Itu untuk orang-orang yang punya mobil.” “Nanti sa-belikan kau mobil, tujuh mobil!” gombal Andi Khaki, “Atau sembilan….” “Saya tidak butuh itu, Andi, lihat ke luar!” Di depan warung-warung, tampak truk-truk dan kendaraan lain terparkir, pengendara dan penumpang menyebar ke warung pilihan mereka. “Kami sudah punya banyak,” kata Yukensi, “di tempat lain, bikin semulus kulit cakalang, tapi jalan depan situ tidak usah, ya, sayang?” Bayangkan kalau kau yang dirayunya, Top, pasti mengerut badanmu seperti tadi. Andi Khaki luluh juga, ia segera bekerja, membisiki pihak-pihak yang dia rasa perlu dibisiki, dan akhirnya, beberapa bulan sesudahnya, meski bagian jalan sebelum dan setelah warung itu sudah lebar dan mulus, jalan di depan warung tetap rusak parah. Usaha Andi Khaki lancar, asmaranya lancar, saking lancarnya, saat orangtuanya menyuruh dia mencari pendamping hidup, dengan lancar pula Andi Khaki bilang, “Saya sudah punya.” Dia pun membawa Yukensi ke rumahnya, tapi, saat orangtuanya tahu kalau gadis itu hanya anak tukang warung, mereka murka. “Bapakmu pejabat terhormat, Andi,” kata mamaknya sesudah pertemuan itu, “beliau juga bangsawan yang ditinggikan, kamu mau mengoplos darah kita sama darah tukang warung?” Andi Khaki sadar ia begitu naif memilih, Top. “Okelah, Mak,” katanya. “Begini saja, Bapak-Mamak carikan saya istri, saya dengar, saya patuh, tapi jangan halangi saya ketemu Yukensi.” Andi Khaki lalu dijodohkan dengan anak kenalan bapaknya, sesama keturunan pejabat dan bangsawan pula, mengetahuinya, giliran Yukensi yang murka, tapi kemurkaannya bukan ledakan kata-kata, Top, melainkan kesenyapan saja, dia usir Andi Khaki dan masuk ke biliknya, lima hari berturut-turut, tiap melihat mobil Andi Khaki, Yukensi segera menutup warungnya. Adakah yang bisa mengukur cinta? Pertanyaan ini pantas dipikirkan kalau kau lihat Andi Khaki waktu itu, Top, meski pupus sudah kesempatan bicara sama Yukensi, dia tetap mencoba datang, tapi ia selalu pulang dengan muka kusut, amat pucat, seolah matahari bisa menembus mukanya, dan akhirnya, pada hari keenam, pemuda itu memilih tikungan paling tajam dalam hidupnya, dia memutuskan membatalkan perjodohan. Bapaknya mengamuk, ibunya meraung-raung sampai-sampai hatinya serasa mau meledak. Pemuda itu tak peduli, ia bergegas ke warung untuk memberitahu kekasihnya, tapi, kau bisa bilang apa, Top, rupa-rupanya Yukensi tidak puas lagi bersenyap-senyap, tekadnya telanjur bulat untuk membalas sakit hati, Andi Khaki mendapatinya bergayut manja di leher seorang sopir truk, pemuda itu pun gelap mata, ia menonjok si sopir, dan baku hantamlah mereka, Top. Si kernet, anak buah sopir itu, mengambil badik dari laci dasbor truknya dan menikam perut Andi Khaki, usus pemuda itu terburai menggelusur ke lantai tanah, tewas di tempat, dan Yukensi pingsan, saat siuman, ia dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, tapi seminggu kemudian ia dipulangkan bersamaan dengan dimulainya perbaikan jalan di depan warungnya. Adapun si sopir dan si kernet, jalan yang mulus menjadi saksi pelarian mereka entah ke mana.
***
“Setelah anaknya tewas, ternyata bapak Andi Khaki melakukan penyelidikan,” kataku. “Rahasia, Top, tentu saja rahasia. Tahu skandal anaknya, ia segera membisiki orang-orang yang perlu dibisiki biar jalan itu juga diperbaiki. Kau lihat kumis itu, Top?” Aku menunjuk baliho di pinggir jalan. “Dia bapak Andi Khaki. Di musim kampanye ini, kalau calon-calon lain bilang ‘kami berpihak pada orang-orang kecil’, teripang busuk, saya takkan percaya, tapi kalau kumis itu yang bilang begitu, saya percaya, bukankah lewat anaknya dia pernah membuktikan kata-katanya? Jalan tadi saksinya.” “Saya jadi penasaran mau lihat warung itu,” kata Topan, “bagaimana sekarang?” Aku terkekeh. “Sayang sekali, Top, sayang sekali,” kataku kemudian, “sang Waktu juga tidak memihakmu, tapi, kalau kau mau, kita bisa putar-balik ke sana.” “Ah, ndak usah!” Topan mendengus, dan, sepertinya, ia sudah lupa bukunya, tapi, ia tak perlu risau, aku masih punya banyak, sangat banyak, stok kisah yang lahir di jalan poros yang panjang dan mengular ini.
“Eh, Top, kau lihat gapura perbatasan itu?”
Gunung Tolong, 2017
Muliadi G.F. lahir di Bojo, Sulawesi Selatan, 1986. Beberapa cerpennya tersiar di sejumlah media. Buku kumpulan ceritanya, Cerita dari Negeri Siput (Sampan Institute, 2017).
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.