NUSANTARANEWS.CO – Krisis energi di masa depan merupakan tantangan besar bagi dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Bahkan, disebutkan dengan tanpa adanya solusi konkret dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia benar-benar akan mengalami kirisis energi.
Seperti dilansir detik.com Dewan Energi Nasional (DEN) memproyeksikan, kebutuhan energi primer nasional pada 2025 mencapai 7,496 juta barel setara minyak per hari. Perkiraan tersebut melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding kebutuhan pada 2013 yang mencapai 3,636 juta barel setara minyak per hari. Sementara pada 2050, kebutuhan energi primer nasional diperkirakan meningkat menjadi 18,740 juta barel setara minyak per hari.
Dari proyeksi tersebut, minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi sumber energi utama. Proporsi migas mencapai 47% dari total kebutuhan energi nasional. Hanya saja, besaran permintaan tersebut belum sebanding dengan jumlah produksi migas nasional, terutama untuk minyak. Tahun ini saja, kebutuhan minyak mencapai 1,5 juta barel per hari, sementara produksi minyak hanya berkisar 800 ribu barel per hari.
Kesenjangan antara produksi dan konsumsi minyak kian melebar sejak Indonesia menjadi net importer minyak pada 2004. Dalam beberapa tahun ke depan, kesenjangan ini diperkirakan akan semakin lebar. Pasalnya, cadangan migas yang dimiliki Indonesia sekarang diperkirakan belum bisa memenuhi kebutuhan migas pada 2025. Apalagi sejak 1995, produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan.
Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi migas tidak segera diperkecil, ketahanan energi nasional bakal terancam. Indonesia harus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan energi yang bersumber dari migas. Peningkatan produksi migas pun mutlak dilakukan untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman krisis energi.
“Tanpa adanya peningkatan produksi, baik minyak maupun gas bumi, Indonesia akan sangat tergantung pada impor,” kata Kepala Bagian Humas SKK Migas, Taslim Z. Yunus.
Penemuan cadangan migas baru juga perlu diperbanyak agar stabilitas produksi migas terjaga. Menurut Taslim, upaya ini sangat vital karena 86% dari total produksi minyak nasional sekarang berasal dari lapangan-lapangan migas yang sudah tua. “Jika tidak diimbangi dengan penemuan baru yang signifikan, cadangan migas yang ada sekarang lama-kelamaan akan habis,” katanya.
Selain itu, kata Taslim, produksi migas perlu dipercepat setelah kegiatan eksplorasi berhasil menemukan cadangan baru. Saat ini, rentang waktu sejak eksplorasi hingga produksi relatif lama, yakni 10-15 tahun. Imbasnya, kesenjangan antara kebutuhan dan suplai makin lebar karena produksi minyak tidak mengalami peningkatan, sementara konsumsi terus bertambah.
“Ketergantungan terhadap impor pun semakin besar,” katanya.
Karena itu, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja bersama-sama mencari solusi dalam mencegah defisit energi di masa depan. Berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi sektor hulu migas perlu segera diselesaikan agar iklim investasi di Indonesia kembali menarik bagi investor. (kiana/dtk)