Cerpen: Anas S. Malo
Jika kau berkunjung ke kota kami, maka kau akan disuguhkan pemandangan bagaimana hujan gerimis turun dengan indah, dibalut hawa dingin bulan November. Kau juga pasti akan menemukan bocah-bocah yang sedang bermain-main dengan air hujan. Seperti menantang dingin, menantang petir. Di kota kami, hujan gerimis adalah bentuk dari keelokan dan kasih sayang Tuhan.
Kau bisa menyaksikan bocah-bocah itu dengan kegembiraan sederhana tetapi tulus dari hati. Apalagi jika Bengawan Solo meluap, sehingga air memenuhi jalan, perumahan, bahkan tempat pendidikan. Aku tidak bohong. Mataku sering melihat bagaimana bocah-bocah itu bermain-main dengan air saat hujan mengguyur. Mungkin, karena mereka tidak pernah berkunjung ke tempat wisata. Tetapi syukurlah, mereka tetap menikmati apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka, yaitu air hujan.
Sementara di luar sana tak banyak orang yang keluar dari rumahnya. Beberapa orang memakai jas hujan. Ada juga yang memakai payung. Orang-orang dewasa banyak yang bersembunyi dari dinginnya cuaca. Aku mengamati bocah-bocah itu dari depan kaca jendela sambil melipat tangan. Kepulan asap tipis berasal dari secangkir kopi yang kuseduh, menebarkan aroma robusta dan ketenangan.
Sementara hujan gerimis ini seperti tak mau berhenti. Waktu seolah enggan menghentikan hujan gerimis ini. Suara rendah mengalun indah, berirama tenang. Jiwa-jiwa yang keruh seperti telah dibasuh oleh air hujan ini. Aku lihat bocah-bocah itu telah menghilang dari pantauanku. Aku menengok ke sana kemari tetapi hanyalah aspal, trotoar dan beberapa tiang lampu, serta pohon-pohon menggigil kedinginan.
Gerimis belum juga berhenti. Aku meneruskan menyesap kopi. Masih gerimis yang sama. Kulihat air gerimis itu beberapa kali menabrak kaca jendela, karena angin berasal dari barat. Dari jendela itu, aku bisa melihat toko-toko atau bangunan-bangunan di seberang jalan tampak terlihat lusuh kehujanan. Dan, bangunan-bangunan tua menghadap rumahku tak pernah berubah sejak aku dilahirkan, hanya saja warna putih cat mulai memudar, menjadi agak gelap karena ditumbuhi lumut. Pohon-pohon sesekali bergoyang, karena desiran angin.
Biasanya akan ada pelangi yang membentang dengan tujuh warna seusai hujan. Dan, bocah-bocah itu selalu akan datang untuk menyaksikan pelangi yang sangat menawan itu. Tetapi anehnya setelah hujan berhenti, pelangi itu tidak muncul. Dan, bocah-bocah itu tak tampak batang hidungnya.
Malam pun menjelang. Hujan turun lagi, bahkan hujan turun dengan intensitas tinggi. Aku gelisah, entah mengapa. Air hujan semakin kasar jatuh ke genting yang menimbulkan bunyi berisik. Bukan cuma itu, suara guntur menggelegar, membentak angkasa, diiringi cahaya kilat. Awalnya aku anggap hujan itu seperti itu sesuatu yang lumrah, tetapi setelah sekian waktu berjalan hujan itu terus mengguyur. Adapun langit mendung tak seperti biasanya. Warna langit menjadi berubah menjadi gumpalan kabut tebal hitam. Listrik pun padam. Aku mendengar suara riakkan air. Kemudian, aku melangkah kembali menuju jendela. Sungguh sangat mengejutkan, jalanan telah menjadi sungai. Air dengan cepat merangsek ke dalam rumah. Perlahan-lahan air masuk lewat celah bawah pintu. Air sudah menggenangi ruang depan, lalu terus mengalir sampai ke dapur dan semua ruang telah tergenang.
Terdengar suara kelak-tawa anak kecil di luar rumah. Aku kembali ke arah jendela. Bocah-bocah itu muncul kembali menaiki sampan. Dada ini terasa menyeruak ingin keluar. Aku membuka pintu lalu keluar berjalan berat, melangkah menyusuri air ke arah jalan memakai jas hujan. Air sudah mencapai betis orang dewasa dan dari menit ke menit air menunjukkan peningkatan. Dan, pada akhirnya air merangkak naik sepaha orang dewasa.
Bocah-bocah itu riang gembira dengan situasi seperti ini. Mereka hanya tahu bagaimana mewarnai hidup mereka dengan bermain. Banjir tahun ini terbilang cukup mendadak dan waktu prosesnya cukup singkat. Hanya saja hujan kali ini terbilang tanpa jeda. Sedangkan air sudah merendam sebagian besar rumah warga. Ada yang bertahan dengan kondisi seperti itu, adapun sebagian warga mengungsi ke tempat yang sudah disediakan petugas penanggulangan bencana.
Mungkin aku hanya ingin bernostalgia atas kejadian itu, ketika aku dan adikku bermain-main dengan banjir. Adikku mati hanyut bersama banjir saat bermain denganku. Ayahku sendiri telah menuduhku membunuh bocah itu. Tetapi, aku hanya ingin melihat ia tersenyum, mendengar gelak-tawanya tetapi pada kenyataannya ia malah membiru, tak bernafas, sekujur badannya kaku. Tetap saja ayah menuduhku, akulah yang menyebabkan adikku mati, padahal bocah empat tahun itu telah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri. Sudah tak ada guna lagi setumpuk kata, ayahku tetap seperti itu, selalu ada kesalahan di matanya saat memandangku.
***
Entah mengapa mataku juga bisa hujan. Hujan terus berlangsung, semakin meruncing tajam. Orang-orang menyingkir dari kepungan air, meninggalkan rumah mereka yang tidak bisa ditempati. Mereka berbodong-bodong pindah ke tempat pengungsian.
“Mengapa hujan bisa mengakibatkan kesusahan seperti ini?” Seorang warga berkata sambil menyibak air banjir saat berjalan. Sementara, orang-orang masih saja berteriak-teriak memanggil-manggil anaknya. Seorang berkata demikian, “Apa mungkin mereka hilang terbawa arus?”
Seorangnya lagi menyahut, “Huss…Jangan ngomong yang tidak-tidak, kasihan mereka yang belum menemukan anaknya.” Warga lain mencoba memarahi.
Memang alam menunjukkan rasa tak bersahabat akhir-akhir ini. Sudah tiga hari banjir menggenang. Hujan pun mengguyur di setiap waktu. Air pun telah menggenang hampir setengah dari ukuran tinggi rumah. Sementara di antara korban yang berada di tenda pengungsian, yang belum menemukan anaknya terus menangis. Mereka memasrahkan pencarian anak mereka kepada tim sar dan badan penanggulangan bencana. Beberapa organisasi kemasyarakatan juga ikut membantu pencarian sekaligus mengurus korban-korban di tempat pengungsian.
Beberapa jam berlalu. Petugas telah berhasil menemukan sekelompok anak-anak itu, tetapi dalam bentuk tak bernyawa. Mereka diajak malaikat bertamasya ke surga. Air mata seperti air hujan yang tak henti untuk menjatuhkan diri. Jangan kau tanya lagi mengapa hujan itu menjelma air mata. Tak ada kata selain isak tangis. Mungkin, benar apa yang aku takutkan terjadi, bahwa banjir telah menghanyutkan kebahagiaan mereka. (*)
Anas S. Malo, lahir Bojonegoro, 16 Juli 1997. Belajar di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta Prodi Teknologi Hasil Pertanian. Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Karya-karyanya sudah tersiar di media lokal maupun nasional. Cerpennya terhimpun dalam antologi Doa Dalam Cinta, Sayembara Cerpen Nasional.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com