NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Konsultan Politik, Eep Saefulloh Fatah menyebut Jokowi tengah menghadapi ancaman titik balik. Ketika titik balik itu sudah menggejala, biasanya sulit bagi sang petahana untuk rebound.
“Setiap petahana menghadapi ancaman titik balik. Potensi titik balik itulah yang saat ini dihadapi oleh Presiden Jokowi. Ada setidaknya tiga kemungkinan jalan bagi titik balik Jokowi,” kata Eef dikutip dari keterangan tertulis, Jakarta, Senin (11/2/2019).
Pertama, krisis otensitas. “Ketika mulai menjabat, sosok Jokowi sebagai ‘Presiden’ adalah sebuah mitos, tak terukur. Sekarang ‘Presiden Jokowi’ sudah menjadi sesuatu yang historis. Teraba. Terukur. Bisa dinilai,” jelas Eef.
Menurutnya, publik sudah bisa menilai seberapa otentik Jokowi yang terinterprestasi dari apa yang dikatakan dan dilakukannya, termasuk apa memang Jokowi semerakyat yang dikesankan kepada dirinya selama ini.
“Jika Jokowi makin kehilangan otentisitasnya, maka daya magnet elektoralnya pun bakal meluntur. Ini bahaya yang saat ini sedang mengancam Jokowi,” terang Eef.
Kedua, gagal Kebijakan. Dia menjelaskan, ketika ‘orang-orang’ merasa kebijakan Presiden Jokowi tak membikin hidup mereka lebih baik maka makin sedikit alasan bagi mereka untuk memilih Jokowi kembali.
“Yang saya maksud sebagai ‘orang-orang’ ini adalah mereka yang bergelut penuh keringat dengan hidup mereka, bukan pengamat atau analis yang ‘pintar’ merumuskan keadaan sesuai selera mereka,” paparnya.
Pada Pilpres 2014 Jokowi bisa menjual ‘akan’, ‘hendak’ atau sekadar ‘rencana’. Sekarang, kata Eef, dalam Pilpres 2019 Jokowi hanya punya opsi jualan; ‘sudah’ dan ‘sedang’.
“Dulu Jokowi bisa menghadapi pemilih dengan janji, sekarang hanya bisa dengan bukti,” imbuhnya.
“Sepanjang perjalanan menuju 17 April 2019, Jokowi harus mengadapi orang-orang yang menilainya sebagai pembuat kebijakan yang gagal. Semakin besar himpunannya, semakin tegas titik balik Jokowi,” sambung Eef.
Ketiga, krisis representasi. Ketika orang-orang yang paling dirugikan oleh keadaan merasa tak dipihaki, tak dibela, tak diwakili, maka mereka akan menolak Jokowi secara militan. Ironisnya, semilitan itulah mereka dulu mengelu-elukannya. Kata Eef, inilah krisis representasi.
“Krisis representasi itu berpotensi melahirkan ‘protest voters‘: Pemilih yang marah dan melawan serta mengekspresikannya dalam pilihan mereka pada 17 April 2019,” pungkasnya.
(eda/bya)
Editor: Banyu Asqalani