Konsorsium Pembaharuan Agraria Sebut Pembagian Sertifikat Tanah Perlu Dikritisi Bersama

Konsorsium Pembaharuan Agraria Sebut Pembagian Sertifikat Tanah Perlu Dikritisi Bersama. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

Konsorsium Pembaharuan Agraria Sebut Pembagian Sertifikat Tanah Perlu Dikritisi Bersama. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaharuan Agraria menyampaikan bahwa, lahirnya UU Pokok Agraria no 5 tahun 1960 mengandung kesadaran para pendiri bangsa. Dimana, salah satu krisis ketika Indonesia merdeka ialah harus mengatasi krisis agraria.

“Karena pada masa itu pasca masa kolonial Belanda seluruh kekayaan alam terutama sumber-sumber agraria baik sektor kehutanan maupun perkebunan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda waktu VOC,” kata Dewi saat menjadi salah satu narasumber pada acara Coffee Warning bertajuk “Menghadapi Ancaman Keruntuhan Peradaban Bangsa” di Jakarta Media Center, Minggu (9/4/2018) akhir pekan lalu.

Dewi mengingatkan, dalam UU PA para pendiri bangsa mengamanatkan: Tanah mempunyai fungsi sosial, yaitu bukan tanah itu hanya dilihat sebagai bahan properti yang dpat diperjualbelikan bahkan dikuasai secara berlebihan atau melakukan monopoli terhadap sumber-sumber yang ada di Indonesia khususnya tanah. Sehingga negara mempunyai hak mengatur peruntukan, penggunanan, penguasaan, pemeliharaan berkelanjutannya dengan prinsip-prinsip pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

“Sebesar 95,76% tanah di Indonesia dikuasai swasta. Dari 42 juta ha lebih sudah dikeluarkan ijinnya dalam bentuk HPH, sosial forestri, kemudian dalam bentuk pinjam kawasan hutan, termasuk ijin tambang. Sisanya 4% dikuasai oleh rakyat, 1 untuk kepentingan umum,” ungkapnya.

Di Jawa, kata Dewi, memiliki ketimpangan kronis. Dampak dari pertumbuhan ekonomi yang difokuskan di Jawa terhadap masyarakat miskin itu sangat terasa. Hal ini juga dampak dari liberalisasi agraria. Problem perkebunan, pada tahun 2017 Kementrian Tata Ruang mengidentifikasi bahwa ada banyak perusahaan-perusahaan perkebunan menelantarkan lahan seluas 2 juta ha lebih. Diberikan ijin, tetapi secara fisik ditelantarkan. Sedangkan komposisi pengaturan 70% dibawah mentri Kehutanan, 30% dibawah menteri Agraria dan Tata Ruang.

“Pembagian sertifikat itu tidak ngibul, tapi karena diklaim dari target 9 juta ha yang seharusnya ada prioritas penerima manfaat, sehingga ini perlu dikritisi bersama. Dan ini tak dapat dikatakan reforma agraria karena bagi-bagi sertifikat itu adalah tupoksi BPN sudah sewajibnya pemerintah mensertifikatkan seluruh tanah-tanah milik warga negara Indonesia, itu sudah tugas harian rutin, sudah ada di APBN nya bahkan seharusnya gratis. Sertifikasi dalam konteks reforma agraria berbeda, karena yang harus diprioritaskan adalah petani-petani kecil, petani-petani gurem petani-petani yang berada di dalam konflik agraria, yang wilayahnya mengalami situasi ketimpangan,” papar Dewi.

Ia menambahkan, pada tahun 2017 ada 659 konflik agraria, pada tahun 2016 ada 450 konflik agraria di seluruh Indonesia yang tiap tahun terus meningkat. Dalam tahun 2017 ada 592 korban kekerasan dan kriminalisasi konflik agraria, 359 ditangkap karena memperjuangkan hak atas tanah, 224 dianiaya, 13 tewas di lokasi-lokasi konflik, 6 tertembak.

“Cara-cara represif dalam menangani konflik agraria. Hukum pertanahan di Indonesia masih bersifat hukum positif. Kalau tidak pegang sertifikat artinya ilegal. Bayangkan, kalau seluruh warga negara Indonesia yang ada di pedesaan, di pedalaman, masyarakat adat, artinya mayoritas itu semua masyarakat ilegal. Padahal dalam UUPA hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak pemilikan dan penguasaan atas tanah,” ungkapnya.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Exit mobile version