Konsistensi TNI dan Antisipasi Persaingan Global

Konsistensi TNI di Hari Ulang Tahunnya ke-72 (Ilustrasi) Foto Crop: NNCart

Konsistensi TNI di Hari Ulang Tahunnya ke-72 (Ilustrasi) Foto Crop: NNCart/ NusantaraNews

Oleh: M. Dahrin La Ode*

Pesan Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada TNI dan bangsa Indonesia pada umumnya, bahwa: “Satu-satunya hak milik Nasional Republik yang masih tetap utuh tidak berubah-ubah, meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan, adalah hanya Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia)”. Jenderal A.H. Nasution meneruskan pesan itu bahwa “maka sebenarnya menjadi suatu kewajiban kita sekalian, yang senantiasa hendak tetap mempertahankan tertegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk tetap memelihara, agar satu-satunya milik Nasional Republik yang masih utuh itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimanapun juga”. Jenderal Soeharto membuktikan pesan kedua Jenderal Besar TNI pendahulunya itu dengan menumpas G.30 S/PKI/1965 yang ingin mengubah Negara Pancasila menjadi Negara Komunis.

Soedirman, A.H. Nasution, dan Soeharto ketiganya adalah Jenderal Besar berpangkat Lima Bintang yang pernah ada di TNI sejak kelahirnnya tanggal 5 Oktober 1945 hingga tanggal 5 Oktober 2017. Entah kapan akan menyusul Jenderal Besar yang keempat atau mungkin itu yang terakhir dalam sejarah TNI. Meskipun demikian fokus ulasan berikut ini bukan mencari Jenderal Besar, melainkan hendak mengulas Konsistensi TNI dan Antisipasi Persaingan Global.

Menyebut nama Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar A.H. Nasution, Jenderal Besar Soeharto, imajinasi yang paham, langsung menyentuh konsistensi TNI dalam menegakkan 4 (empat) Konsensus Nasional yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Konsistensi TNI sebagai Benteng Pancasila kembali diperankan oleh Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo pada tgl 30 September 2017. Peran itu melalui perintah resminya agar semua anggota TNI wajib nonton Film G.30 S/PKI/1965 yang telah dilupakan sejak tanggal 21 Mei 1998. Faktor penyebabnya mungkin ada pihak tertentu sengaja mengaburkan bahwa era Reformasi adalah hasil perjuangan kaum Komunisme atau generasi PKI bukan kaum Reformis dibawah advokasi Prof. Dr. Amien Rais. Ilustrasi historis singkat itu, sejarah politik Indonesia hendak pula menegur rasio normal kita bahwa “ragukan Matahari itu gumpalan api raksasa penerang semesta; ragukan Bumi itu berputar; ragukan Bintang itu jauh; namun jangan ragukan konsistensi TNI terhadap Empat Konsensus Nasional”. Sampai di sini mari kita sepakati konsistensi TNI terhadap Empat Konsensus Nasional adalah aksioma.

Antisipasi persaingan global menjadi tantangan TNI terberat setidaknya hingga 33 tahun akan datang. Tantangan persaingan global dihadapi oleh semua negara di Dunia tak kecuali Indonesia. Basis terberat persaingan global ialah persaingan pikiran. Persaingan jenis ini disebut juga “perang pikiran” atau “the war of witz” menurut Brigjen TNI Irawan Soekarno. Konstelasi ini mengajari kita bahwa persaingan global adalah “the war of witz”, maka siapa yang memenangi “the war of witz” niscaya dia tampil sebagai pemenang persaingan global. Tak boleh pula dilupakan bahwa instrumen kemenangan “the war of witz” ialah kekuatan militer tiap-tiap negara peserta “the war of witz” global itu.

Bagaimana cara mengantisipasi agar Indonesia bisa meraih presitise pemenang  “the war of witz” di era global? Sebelum memberikan jawaban yang mendekati ketepatan, marilah lebih dahulu kita perhatikan ancaman dan perubahan strategi pertahanan di Asia Timur dan Asia Pasifik. Ancaman di Asia Timur khususnya yang sedang dialami Jepang dan Korea Selatan (Korsel) adalah Rudal Taepodong 2 dari Korea Utara (Korut) yang telah ditempatkan di perbatasan kedua negara bersaudara itu. Rudal Taepodong 2 yang sangat cepat, dapat menjangkau target hingga jarak 4.000-4.300 kilo meter. Karenanya, Taepodong 2 dapat menghantam Kota Seoul 4 menit sejak diluncurkan. Sedangkan Tokyo, Jepang, dapat dihantam antara 10-15 menit sejak diluncurkan. Namun menurut Amerika Serikat Rudal Korut itu dapat menjangkau target hingga jarak 15.000 kilo meter. Artinya Rudal Korut itu dapat menghantam Guam, wilayah daratan Amerika Serikat, Russia, Indonesia, Australia.

Baik Jepang maupun Korsel telah mempersiapkan antisipasi ancaman Korut melalui cara merubah strategi pertahanan kedua negara Jepang dan Korsel. Perubahan strategi Jepang semula “self defense” ke Collective Self Defence. Strategi  “self defense”  Jepang, dipelihara sejak usai perang dunia ke-II. Tapi kebijakan itu mengalami perubahan sedikit dua tahun yang lalu (2014), karena berubahnya situasi ancaman kawasan, khususnya Asia Timur sangat jauh beda dengan beberapa tahun yang lalu. Pertama, Semenanjung Korea, terutama yang bersumber dari Korut. Sekarang uji coba nuklir Korut hampir setiap bulan meluncurkan misil. Baru-baru ini misil Korut  jatuh di dalam ZEE Jepang. Kedua, Cina setiap tahun expand kekuatan militer dan anggaran militer juga kurang transparan. Kurang transparannya Cina ini, berarti sangat mengkhawatirkan kawasan di Asia Timur, khususnya Jepang. Itu sebabnya strategi Collective Self Defence Jepang ditetapkan. Namun  tetap tidak bisa dilakukan untuk menyerang ke luar negeri misalnya ke Timur Tengah, Indonesia, dan Australia.

RUDAL TAEPODONG 2 KOREA UTARA BISA MENJANGKAU TARGET ANTARA 4.000-4.300 KILO METER

Strategi Korsel semula model “Defence Ambrella”  ke “extended nuclear detterence”.  “Defence Ambrella” selama ini disebut dengan aliansi Amerika-Korsel. Itupun jika dilihat perbandingan pergerakan ancaman antara penggunaan waktu kehadiran “Defence Ambrella” Amerika Serikat yang akan datang dari Guam dan Okinawa, memerlukan waktu lebih lama dari 4 menit. Pasti telat! Dalam pada itu Korsel tidak memiliki legalitas untuk membangun pertahanan dengan persenjataan nuklir seperti yang dilakukan oleh Korut yakni rudal berhulu nuklir sebagaimana yang ditempatkan pada rudal Taepodong 2 seperti pada grafik di atas. Oleh karena itu maka Korsel menggunakan model strategi “extended nuclear detterence”. Wujudnya bahwa Amerika Serikat telah menempatkan dan mengaktifkan sistem anti rudal bernama Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korsel untuk menangkis serangan Rudal dari Korut. Dengan perubahan model strategi itu maka Korsel bisa “head to head” dengan Korut. Cina juga telah merubah strategi yang semula “Continental Defence System” ke “Blue Sea Defence System” untk mencapai China Imperium melalui taktik ekspansionisme. Satu di antara indikatornya ialah Peta buatan Cina “Nine Dash Line” atau Ten Dash Line menurut temuan Australian Strategic Policy Institute (ASPI). Dalam Peta  “Nine Dash Line” itu juga memasukkan perairan Natuna menjadi bagian wilayah Laut Cina. Bahkan Cina di bawah Pemerintahan Xi Jinping tidak menghiraukan putusan Mahkamah Arbitrase Persrikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag pada tanggal 12 Juli 2016 “bahwa Cina tidak memiliki dasar hukum mengklaim wilayah perairan Laut Cina Selatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah Arbitrase juga menyatakan Cina telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina”. Bagi Cina, “perairan Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan perairan Natuna adalah miliknya”. Meskipun sebenarnya “Nine Dash Line” pasca putusan Mahkamah Arbitrase itu sudah tidak berlaku lagi.  Peta “Nine Dash Line” dimaksud adalah sebagai berikut ini.

Sedangkan ancaman di Asia Pasifik adalah keterlibatan konflik tradisional militer antara Amerika Serikat bersama sekutunya dengan sekutu tradsional Cina, Korut, dan Russia. Sementara ancaman untuk Indonesia serba “abu-abu” yaitu dikelilingi teman dan musuh karena kebijakan politik luar negeri “bebas aktif” dan Gerakan Non Blok (GNB). Kedua kebijakan ini tidak bisa memenuhi kepentingan negara-negara lingkungan strategis Indonesia yakni menjadi “teman abadi” mereka. Untuk itu dapat ditunjukkan pada diagram berikut ini.

PETA NINE DASH LINE YANG DIINVASI CINA DI LCS

Perubahan straegi Jepang dan Korsel di Asia Timur serta ancaman nyata Korut dan Cina Komunis di Asia Timur, keduanya menjadi ancaman nyata lingstra bagi Indonesia. Simpulan itu dapat dilihat dari hasil penelitian 2014 pada diagram Indonesia di antara teman dan musuh. Meskipun konsistensi TNI untuk menegakkan dan membentengi empat konsensus nasional sudah aksioma sifatnya. Namun konsistensi itu masih bersifat soft power sedangkan ancmannya sangat tangguh baik yang bersifat soft power maupun yang bersifat hard power.

Diagram: INDONESIA DI ANTARA TEMAN DAN MUSUH

Nah, dalam rangka antisipasi persaingan global yang ditandai dengan “the war of witz” yang eksis atau disalurkan  pada hard power Cina dan Korut Komunis, Indonesia perlu mempersiapkan kemampuan hard power untuk kepentingan membentengi diri agar bisa selamat dari ancaman itu. Pertama, membangun ketangguhan soft power yakni pembentukan 100 juta kader Bela Negara sesuai dengan kebijakan Mentreri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu. Landasan ketangguhannya lima nilai tataran dasar Bela Negara yakni: cinta tanah air; sadar berbangsa dan bernegara; yakin pada Pancasila sebagai ideologi negara; rela berkorban untuk bangsa dan negara; memiliki kemampuan awal Bela Negara. Bandingkan dengan Israel yang hanya memiliki 8,9 juta kader Bela Negara tidak pernah kalah dalam perang dari tahun 1967 hingga terakhir melawan Hizbollah pimpinan Nasrallah beberapa tahun belakangan. Kedua, Indonesia harus meningkatkan anggaran Pertahanan Negara antara 2,5% -3,5% dari GDP. Anggaran itu untuk pengadaan Alutsista antara lain 12 buah kapal selam; 16 buah Destroyer, 16 buah Frigate, 100 buah pesawat tempur; 3.000 buah Main Bettle Tank (MBT), dan 10 buah THAAD untuk ditempatkan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara. Ketiga, pembangunan kesejahteraan prajurit TNI berupa sandang, pangan, dan papan serta rekreasi. Keempat, membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebagai perwujudan amanat pembukaan UUD 1945 dan diplomasi percepatan kemerdekaan Palestina. Kelima, meminta kerelaan 100 juta kader Bela Negara untuk menyisihkan penghasilannya Rp. 5.000/hari selama 36 bulan melalui pembelian BBM sesuai jumlah konsumsi BBM nasional 1,25 juta barel perhari. Ini sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan perang antara Aliansi suci (Holy Alliance) dari Amerika Serikat dengan Aliansi Iblis (Devil Alliance) Cina Komunis. Dengan begitu maka konsistensi TNI dan antisipasi persaingan global dapat diatasi secara maksimal oleh Indonesia.

Bogor, 3 Oktober 2017

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS)

Exit mobile version