NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan mengatakan pola dan sistem Pilkada langsung patut dikoreksi lantaran acap kali menghasilkan pemimpin daerah jauh dari kata kompeten, kredibel dan berintegritas.
“Rakyat merasakan bahwa Pilkada langsung lebih sering menghadirkan ekses dibanding manfaat,” katanya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (11/4/2018).
Pria yang karib disapa Bamsoet ini menjelaskan, untuk menunjuk fakta tentang ekses Pilkada langsung itu, tidak sulit-sulit amat. Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sudah 77 Kepala daerah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian, sepanjang periode 2004-2017, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersandung kasus hukum. Dari jumlah ini, sebanyak 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Ini fakta dari ekses Pilkada langsung itu. Eksesnya tak terbatas pada korupsi anggaran, tetapi juga terhadap manajemen Pemda secara keseluruhan akibat kepala daerah bersangkutan menyandang status tersangka dan menghuni ruang tahanan di KPK. Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada wakilnya akan menghadirkan sejumlah konsekuensi yang tak mudah diadaptasi seluruh satuan kerja.
“Rangkaian fakta ini rasanya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan faktor pendorong melakukan koreksi terhadap pola dan sistem Pilkada langsung. Potensi masalah dan ancamannya jangan disederhanakan. Pilkada langsung yang sejatinya demokratis itu bisa dipersepsikan buruk jika terus menerus hanya menghadirkan kepala daerah yang inkompeten, tidak kredibel dan tidak berintegritas. Jangan sampai masyarakat memersepsikan Pilkada langsung sebagai batu loncatan bagi para oknum kepala daerah untuk mengorupsi APBD,” jelasnya.
Pilkada langsung, kata dia, sebenarnya sudah ideal karena dia menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat. Sayangnya, kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya belum dilengkapi pola atau mekanisme penyaringan yang ideal. “Praktik money politik atau politik transaksional makin masif dan gesekan antar kelompok, keluarga ataupun individu diakar rumput semakin mengkhawatirkan,” ucapnya.
Lebih lanjut politisi Partai Golkar ini menuturkan benih-benih persepsi negatif terhadap kepala daerah produk dari Pilkada langsung sudah tumbuh subur di banyak kalangan masyarakat luas.
Bahkan sudah tumbuh keyakinan bahwa tidak ada demokrasi dalam praktik Pilkada langsung, karena proses menuju kemenangan lebih ditentukan oleh uang. Publik bahkan tahu bahwa untuk meraih kemenangan, para kontesntan Pilkada langsung dituntut menyediakan pundi-pundi yang jumlahnya tidak kecil.
“Sang pemenang akan mencari kompensasi atas pengeluaran atau belanja Pilkada itu dengan ‘menggoreng’ proyek-proyek dalam APBD. Mau tak mau, pemenang Pilkada langsung akan membuat formasi manajemen birokrasi Pemda yang cenderung korup. Artinya, publik pun sudah tahu betul tentang ekses Pilkada langsung itu,” paparnya.
Bamsoet menambahkan wakat bila berbagai elemen masyarakat mulai apatis terhadap Pilkada langsung. Hal ini setidaknya tercermin dari rendahnya partisipasi pemilih di banyak Pilkada langsung.
Menyikapi apatisme masyarakat itu, negara harus menanggapinya dengan sangat serius dan sungguh-sungguh. Harus ada keberanian dan kemauan moral untuk segera menghentikan ekses Pilkada langsung itu. Tujuannya, untuk menguatkan keyakinan masyarakat terhadap demokrasi. Selain inisiatif dari pemerintah dan DPR, konsep atau proposal dari institusi penyelenggara dan pengawas pemilihan umum pun tak kalah pentingnya.
“Telah mengemuka wacana tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kalau memang ini menjadi opsi terbaik, jangan ragu untuk menyepakatinya. Terpenting, ekses Pilkada langsung harus segera dihentikan,” tuntasnya. (red)
Editor: Eriec Dieda