NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Masih ingat Santoso alias Abu Wardah? Mujahidin Indonesia Timur (MIT)? Tentu ingatan tentang mereka masih hangat di benak publik negeri. Pasalnya, Santoso merupakan sosok teroris yang sempat dicari-cari polisi beberapa tahun silam sebelum akhirnya tewas pada awal 2016 lalu.
Tepat pada 25 Mei 2011, Santoso dan kelompoknya menembak anggota kepolisian di kantor BCA Palu, Sulawesi Tengah. Kemudian pada 2012, tepatnya 16 November kelompok Santoso diketahui juga membunuh dua anggota Polri Andi Sapa dan Sudirman. Satu bulan kemudian, kelompok Santoso dengan berani melakukan penyerangan terhadap Patroli Brimob di Kalora.
Teror terhadap polisi terus berlanjut. Catatan redaksi, pada 2013 Santoso dkk melakukan tiga kali aksi serangan terhadap polisi. Di antaranya bom bunuh diri di Polres Poso, bom di Mapolres Palu dan bom di Mapolsek Palu Timur.
Dua tahun berikutnya, aksi serupa terus terjadi dan polisi tercatat paling banyak menjadi target serangan. Aksi terakhir pada 2016 silam, di mana kelompok Santoso menembak Brigadir Wahyudi Saputra di Sanginora.
Baru setelah TNI dilibatkan untuk menumpas Santoso dkk yang terbilang sudah kelewat batas, kasus penembakan terhadap polisi khususnya di Sulawesi Tengah perlahan mulai padam. Seperti diketahui, Tim 29 Bravo Batalyon 515 Kostrad yang tergabung dalam Operasi Satgas Tinombala berhasil menembak mati Santoso setelah insiden baku tembak di pegunungan Desa Tambrana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah pada Senin (18/7) lalu.
Teror bom di Sarinah, Jakarta pada awal 2016 lalu juga diketahui mengorbankan polisi. April 2017 lalu di Tuban, polisi kembali menjadi target serangan sebelum akhirnya keenam pelaku berhasil dilumpuhkan. Begitu pula peristiwa nahas terbaru di Kampung Melayu, Jakarta, Rabu (24/5) malam diketahui mengorbankan tiga orang anggota kepolisian, yakni Bripda Imam Gilang Adinata, Bripda Taufan Tsunami dan Bripda Ridho Setiawan.
Pihak kepolisian sendiri tidak menampik kalau kelompok teroris berusaha menyerang aparat kepolisian. Kabag Mitra Divisi Humas Polri, Awi Setiyono misalnya menyebutkan bahwa jaringan teror adalah mereka mengincar polisi yang sedang bertugas. “Pak Kapolri (Tito Karnavian) sudah bilang bahwasanya polisi jadi target operasi mereka dan kita sudah dikasih warning dari dulu,” aku Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (25/5/2017).
Mengingat sejumlah kejadian itu, polisi pun diminta untuk menjadikannya sebagai bahan refleksi dan catatan penting. “Polri perlu mencermati fenomena ini agar polisi di jajaran bawah tidak terus menerus menjadi korban serangan balasan dendam para teroris,” ujar Ketua Presidium Indo Police Watch, Neta S Pane di Jakarta, Ahad (10/4).
Dikatakan, balas dendam boleh jadi salah satu alasan mengapa polisi kerap diserang. Pasalnya, kelompok teroris kerap kali merasa dendam akibat teman-temannya ditangkap polisi. Artinya, pendekatan hard power dalam menanggulangi terorisme di Indonesia justru membuat polisi semakin terancam keberadaannya karena para anggota teroris telah terlanjur menyimpan dendam.
Menurutnya aksi teror bom di Kampung Melayu kian membuktikan bahwa perang terorisme melawan polri semakin nyata. Serangan teror di Kampung Melayu, kata dia, adalah serangan terbesar yang pernah dialami Polri dalam sejarah terorisme di Indonesia. Neta memandang, dari kasus Kampung Melayu terlihat bahwa para teroris semakin agresif dan nekat melakukan perang terbuka terhadap Polri. Dan kalau anggota polisi tidak segera mulai melindungi diri, maka akan terus-menerus menjadi korban dari kejahatan teror yang berujung pembunuhan.
Terakhir, polisi sudah seharusnya memberikan perlindungan para anggotanya yang sedang bertugas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tentu kita tidak ingin anggota polisi terus-menerus jadi korban dari tindakan kejahatan teror mengingat polisi merupakan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kalau polisi terus-menerus menjadi korban, lalu bagaimana dengan masyarkaat? (ed)
Editor: Eriec Dieda