Lintas Nusa

Kemendikbud dan Padepokan Seni Kirun Meruwat 300 Orang di Malam Purnama Sura

Kemendikbud dan Padepokan Seni Kirun Meruwat 300 Orang di Malam Purnama Sura/Foto: Istimewa
Kemendikbud dan Padepokan Seni Kirun Meruwat 300 Orang di Malam Purnama Sura/Foto: Istimewa

NUSANTARANEWS.CO – Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjenbud Kemendikbud), Sri Hartini, menjelaskan perihal keterkaitan ritual ruwat sebagai rangkaian peringatan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1438 Hijriyah, saat memberikan kata sambutan ritual ruwat di Padepokan Seni Kirun, Madiun, Sabtu (22/10/2016).

“Bagi masyarakat Indonesia, terdapat peringatan tahun baru Hijriyah atau Suro yang sangat berbeda perayaannya dengan tahun baru di tahu masehi,” kata Sri di hadapan 300 orang yang memadati pendopo Padepokan Seni Kirun, Kota Madiun seperti dilansir Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud.

300 orang tersebut merupakan peserta ruwatan massal atau sukerto pada Gelar Budaya Suroan Purnama Sura yang diselenggarakan atas kerja sama Ditjenbud Kemendikbud dengan Padepokan Seni Kirun. Ruwatan merupakan ritual menghilangkan hambatan atau sukerto di dalam diri seseorang.

“Ketika merayakan Tahun Baru Suro, masyarakat Indonesia selalu berusaha merekatkan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Disinilah ruwat hadir sebagai bentuk perenungan agar mencapai penyucian baik di dunia maupun akhirat,” jelas Sri.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Sumbang Hewan Qurban Ke Lapas Nunukan

Menurut Sri, Ruwatan juga dapat menjaga tradisi bangsa Indonesia.  “Ada kekayaan budaya dan kearifan lokal yang mengerucut di dalam kehidupan bangsa, jadi Pancasila dan ideologi negara terakumulasi dalam nilai kehidupan,” ujar dia.

Sementara Pemimpin padepokan seni, Cak Kirun, mengungkapkan bahwa antusiasme masyarakat dalam mengikuti pagelaran budaya Suroan Purnama Sura yang kedelapan ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dia juga mengatakan, pada ritual tahapan pertama, para sukerto melakukan prosesi sungkeman kepada orang tua untuk memohon maaf atas segala kesalahan yang dilakukan.

“Ritual sungkeman untuk mengingatkan ketika kecil dirawat orang tua, bahkan sampai tidak bisa mandi maka dimandikan kembali oleh orang tua,” jelas Kirun.

Menurut Kirun, tahun ini terdapat metode berbeda usai ruwatan. Para peserta menempuh jalur barokah untuk mori dari yang dipakai. Mori merupakan pakaian yang dikenakan para peserta ruwat yang dipercaya memiliki hambatan.

“Sebelumnya, mori itu dibuang, sekarang berbeda, kita cari manfaatnya, bisa kita serahkan ke pesantren yang membutuhkan, sehingga hanya rambut saja yang dipotong yang dibuang,” jelasnya.

Baca Juga:  Gawat, PPP Jatim Langgar Aturan Keluarkan Rekom Untuk Khofifah-Emil Di Pilgub

Kendati demikian, lanjut Kirun, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami kekuatan budaya untuk membangun bangsa. Bahkan, kata dia, semua orang luar negeri tau jika bangsa Indonesia memiliki budaya dan mereka semua mencari budaya ke Indonesia, salah satunya ke Madiun.

“Filosofi di tiap budaya pun mendalam, sangat relevan dengan kondisi sekarang. Misalnya pemberian sesajian pada gelaran ruwatan. Sesajian itu bentuk anugerah dari Sang Pencipta. Semua harus tahu bahwa semua yang ada itu disajikan asalnya dari Allah, dan kamu harus tahu bahwa apa yang kita makan itu anugerah Tuhan, jadi yang disajikan itu untuk yang hidup, bukan untuk Demit atau setan yang diberikan sesajen,” tutupnya. (Maman)

Related Posts

1 of 4