Keluarga Ada-Ada

Keluarga Bahagia. Foto: DOk. Sahabat Gallery

Keluarga Bahagia. Foto: DOk. Sahabat Gallery

Cerpen: Ali Mukoddas

Terdiri dari kehidupan yang rupa-rupa. Satu keluarga banyak beda-beda. Si Dajal sebagai ayah dari Tuhan, Malaikat dan Yakjud Makjud serta suami dari Iblisi. Seluruh tetangga mengenal mereka sebagai keluarga kiamat, dengan alasan memiliki nenek moyang selalu bertengkar walau menyandang gelar kiai dan guru.

Dajal merupakan ayah yang entah-entah. Kesehariannya dihabiskan dengan petuah-petuah. Anak yang paling taat mendengar nasihatnya adalah Yakjud Makjud. Sedang Malaikat adalah anak lelaki yang pemalu tapi sering mengganggu. Tak jarang Malaikat menjaili Yakjud yang sedang takzim mendengar kalimat ayahnya. Yakjud tak pernah mempedulikan ulah jail Malaikat, bagi seorang kakak yang kurang sopan pada adiknya tak perlu digubris, itu menurut Yakjud, sebagai adik dan anak terbungsu dari keluarga kiamat.

Iblisi—sebagai istri yang seakan terlantar, karena tak dianggap penting dalam keluarga—cukup ulet dan telaten merawat keluarga, bahkan tidak hanya pada keluarga yang terdiri dari kepala dan perut yang selalu menggema lapar itu, Iblisi juga merawat pintu, kaca, jendela, atap dan segala hal yang bersangkutan dengan keluarga. Cukup taat walau keberadaannya tak dianggap. Hanya Dajallah yang kadang menganggapnya ada, semata untuk kesenangan di malam hari saja. Selepas itu? Lupa arang.

Tuhan anak tertua sebelum Malaikat lahir. Tapi nama Tuhan berlalu begitu saja. Saat umur dua tahun, anak itu meninggal terkena serangan tawa. Orang tua di sekitar rumah kiamat menyatakan, anak kecil yang belum cukup umur kalau terlalu sering dan bahkan terlalu banyak tertawa akan menyebabkan kematian. Dajal dan Iblisi yang baru memiliki anak pertama tentu ingin selalu membuat bahagia anaknya. Itu sama sekali tak mereka sadari. Sebagai ayah yang memiliki anak pertama bernama Tuhan, otomatis tetangga sekitar memanggil Dajal sebagai Tuhan, atau kadang dengan sebutan ayah Tuhan, namun untuk lebih mudah penyebutan nama Dajal sebagai ayah Tuhan berganti nama anaknya. Tuhan.

Suatu waktu, tepatnya beberapa waktu lalu, anggota sensus masyarakat dari bagian pemerintah pusat mendatangi rumah-rumah warga untuk menghapus warga palsu dari negeri ini. Jadilah cerita keluarga kiamat yang urusannya membuat geger orang dari bagian pemerintah tersebut.

“Benar ini keluarga kiamat? Kepala keluarganya bapak Tuhan, dengan nama tulang bapak…” orang dari pemerintahan menghentikan kalimatnya. Orang itu bernama Jumawa. “Bapak Dajal, betul?” lanjut Jumawa seraya tertawa dan mengernyitkan dahi.

“Iya, Pak. Betul sekali. Bukankah dalam kartu keluarga kami sudah jelas yang didata pemerintah? Mengapa harus ada penyisiran ulang tentang warga negara?” Dajal coba memastikan bahwa kedatangan Jumawa bukan untuk membuat onar. Akan repot kalau orang bernama Jumawa itu menggusur rumah kiamat.

“Iya, benar. Maka dari itu kami melakukan sensus ulang, karena banyak penduduk dari negeri tetangga yang menyusup ke negeri ini, terutama yang dilegalkan suatu gubernur degan cara suap. Sejauh yang kami sisir, keluarga bapak Tuhan inilah yang paling aneh. Dapat dari mana semua nama dari keluarga ini?”

“Nama semua keluarga di sini sudah tertulis di silsilah nenek moyang kami. Bahkan kami, aku dan istriku harus menyesuaikan pembuatan anak. Eh maksudku, untuk mengatur jumlah kelahiran. Menurut kami tidak aneh. Itu sudah biasa. Apanya yang aneh?”

Setelah berbicara ini-itu, akhirnya Jumawa pergi meninggalkan keluarga kiamat. Keluar dari pintu, Jumawa menggidik seraya mempercepat langkah. Bukan karena apa dan bagaimana? Tapi di sana ada si Malaikat yang kadang menyela dan membuat jengkel. Jumawa harus cepat-cepat pergi agar tak terbawa emosi, yang pada akhirnya akan membuat keluarga kiamat terbawa masalah.

“Bapak ini bagaimana, sih. Wong jelas keluarga kami baik-baik begitu. Bapak mau kena tulah dari nenek moyang kami? Ayahku itu memang bernama Dajal, walau di sana tertulis nama Tuhan, itu karena kakakku yang sahit jatuh ke nama ayahku. Lihat baik-baik!” Malaikat membentak seraya menunjuk-tunjuk ke arah kertas yang terhampar di atas meja.

Jumawa terdiam. Dia memang menyalahkan keluarga yang tak jelas alias plinplan namanya. Kalau namanya Dajal, mengapa ditulis Tuhan? Jumawa pusing memikirkan kesinambungan nama-nama itu. Lanjutan dari marah-marah malaikat, Jumawa pergi tanpa pamit. Lupakan tentang keluarga kiamat. Walau sebenarnya Jumawa tak bisa melupakan wajah teduh Dajal, wajah anggun Iblisi, tampang Cantik Yakjud Makjud yang membuat meleleh bibir. Tapi yang membuatnya mual-mual saat mengingat wajah-wajah keluarga kiamat adalah tampang Malaikat, anak lelaki itu tampak terkena kutuk dari nenek moyangnya, itulah pulalah yang membuat Jumawa lari dari rumah itu tanpa pamit.

Selang satu jam, entah dari mana datangnya suatu pesawat yang hilang satu sayapnya menghantam rumah kiamat. Dajal beserta keluarganya tewas seketika. Warga sekitar menganggap pemerintahlah yang sengaja menjatuhkan bom dengan desain pesawat agar kecelakaan rumah itu tampak alami kecelakaan. Jumawa mengetahui berita itu setelah selesai mendatangi lima rumah warga untuk memastikan data kewargaan. Bersamaan dengan tahunya Jumawa akan kecelakaan itu, dia diseret warga untuk dihakimi. Brutal benda tajam, tumpul dan berduri menghantam. Jumawa juga mati seketika setelah dikeroyok tanpa ampun. Penghakiman alam, begitu para warga menyebutnya.

Beberapa hari setelah kejadian itu, keluarga kiamat lahir kembali. Adalah sebuah tradisi di desa itu bahwa harus selalu ada kelurga yang terdiri dari skenario sama, dengan ayah bernama Dajal dan istrinya Iblisi yang punya empat anak tapi satu mati.

“Desa ini harus menghindari kiamat dengan membuat keluarga kiamat, itu adalah sebuah keharusan dari nenek moyang kita,” ucap seorang tua berjenggot putih dengan bebat kepala yang sama putihnya pada seluruh warga yang berkumpul di balai desa.

Jakarta, 29 September 2017

Penulis merupakan pemuda asal Madura yang menulis untuk dirinya sendiri, cukup egoistis memang. Setelah mengakhiri pembelajarannya di Annuqayah, dia pindah ke Jakarta serta kuliah Ilmu Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Bisa berkirim email dengan penulis di alimukoddas@gmail.com.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

 

Exit mobile version