Kasus Korupsi Nur Alam, KPK Tegaskan Masih Hitung Dugaan Kerugian Negara

Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam

NUSANTARANEWS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan masih menghitung dugaan kerugian negara yang ditimbulkan akibat dugaan korupsi dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) guna mendapatkan Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP). Dengan demikian belum diketahui swcara pasti dugaan kerugian yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sebagai tersangka. Demikian ditegaskan Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha.

“Saat ini masih dihitung (kerugian negara yang ditimbulkan), penyidik sedang meminta ahli ke BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) untuk melakukan perhitungan,” kata Harsa, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, (30/8/2016).

Terkait perkara ini, penyidik lembaga antikorupsi telah memeriksa sejumlah saksi. Rabu pekan lalu, penyidik KPK memeriksa saksi-saksi yang terdiri dari pejabat dari dinas terkait di provinsi tersebut, salah satunya Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Burhanuddin.

Tak hanya memeriksa saksi, penyidik juga telah berhasil mengamankan sejumlah dokumen terkait izin usaha pertambangan (IUP) dari penggeledahan yang dilakukan di sejumlah tempat yang berada di Kendari, Sulawesi Tenggara dan Jakarta. Penggeledahan di Kendari dilakukan di kantor Gubernur, Dinas ESDM, hingga ke rumah gubernur tersebut. Sedangkan di Jakarta, penyidik juga menggeledah rumah di Kuningan, Jakarta Selatan dan sebuah perusahaan di kawasan Pluit, Jakarta Utara.

Selain pemeriksaan saksi dan peneggeledahan, Jumat kemarin penyidik KPK juga secara resmi mencegah empat orang dalam perkara itu. Keempat orang itu adalah Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam,  Kepala Dinas ESDM Sultra Burhanuddin, Widdi Aswindi Direktur PT Billy Indonesia, dan Emi Sukiati Lasimon pemilik dari PT Billy Indonesia. Ke-empatnya dicegah jika sewaktu-waktu KPK membutuhkan keterangan yang bersangkutan, yang bersangkutan tidak sedang berada di luar negeri.

“Dari PT Billiy KPK mencoba untuk mendalami perusahaan-perusahaan yang diduga tahu atau terlibat langsung dalm proses pertambangannya, baik itu perusahaan yang diberikan izin maupun perusahaan yang lakukan penambangan,” kata Harsa.

PT Billy merupakan salah satu perusahaan yang pernah di geledah KPK beberapa waktu lalu. PT billy juga memiliki tambang di Bombana dan Konawe Selatan. Menariknya lagi PT Billy juga merupakan salah satu rekan bisnis Richorp International. Jadi perusahaan Richorp yang berbasis di Hongkong itu membeli nikel dari PT Billy.

Perusahaan Richorp itu pernah disebut-sebut namanya saat Kejaksaan Agung mengusut kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Nur Alam. Dimana berdasarkan laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) data transaksi Nur Alam, perusahaan tersebut pernah mentransfer uang sebanyak empat kali ke perusahaan asuransi ternama yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh bank plat merah Nasional. Adapun nilai transfernya  yakni mencapai hingga US$ 4,5 juta. Transaksi tersebut dilakukan lewat salah satu Bank Komersial di Hongkong.

Dalam kasus ini, Nur Alam diduga telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Gubernur Sultra untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan atau korporasi dengan mengeluarkan tiga Surat Keputusan (SK). Ketiga SK tersebut adalah SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT AHB selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

Atas tindakan yang diduga dilakukannya, Nur Alam dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (Restu)

 

 

 

Exit mobile version