NUSANTARANEWS.CO, Yogyakata – Panggung budaya yang diselenggarakan oleh beberapa gabungan aktivis gerakan sosial, gerakan perempuan dan organinasi kedaerahan dalam rangka merespon hari Kartini dan Hari Bumi. Acara ini berlangsung pada Sabtu, 6 Mei 2017 pukul 18.00–22.00 WIB bertempat di parkiran terpadu, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kartini sebagai tonggak awal kebangkitan nalar kesetaraan bagi manusia bumi putera. Ia lebih dikenal melalui korespondensinya dengan perempuan-perempuan Eropa yang berbicara tentang hak asasi perempuan sebagaimana manusia pada umumnya (red: laki-laki). Membaca kembali tulisan-tulisannya, kita diingatkan kembali pada semangat kesetaraan yang diusungnya yaitu pendidikan bagi perempuan, penolakan poligami, pernikahan anak dan spirit keagamaan. Untuk mengingat kembali dan menghidupkan semangatnya, beberapa kelompok masyarakat merayakannya dengan hal-hal yang bersifat simbolik maupun substansial. Namun, merayakan Kartini tidak cukup hanya dengan selebrasi, lebih dari itu mengkontekstualkan dengan keadaan Indonesia saat ini.
Kartini secara historis memang lahir di budaya konstruksi patriarki. Meskipun lahir di lingkungan sistem hirarki kepemimpinan yang menyudutkan posisi perempuan, kartini tetap dengan semangat keseteraan perempuannya. Dilahirkan dari kaum proletar yang berada dibawah kekuasaan borjuis berwajah konstruksi kebudayaan tak menghalangi dia untuk melebarkan sayap melalui tulisan-tulisan yang menjunjung tinggi pengarusdayaan sumber daya perempuan. Mendobrak kultur persepsi bahwa perempuan menjadi second sex di bawah lelaki, dengan karya-karya tak bisa dilihat sebelah mata demi menyadarkan ketimpangan sosial yang terjadi akibat konsruksi yang berpihak pada superioritas kelelakian. Feeling inferior bukan cara dia untuk membedayakan perempuan, dimulai dari dia menjadi main role dalam aspek perekonomian egaliter yang membangun hubungan mutuliasme relation bukan keberpihakan yang timpang terhadap kaum penguasa.
Kartini, di masa sekarang ceritanya membumi dalam benak pemikiran semua kalangan. Perjuanganmu dalam memperjuangkan posisi perempuan dan kaum proletar menjadi role model keadilan dalam sistem kekuasaan. Memberikan inspirasi pada srikandi-srikandi pejuang kesetaraan dalam hal ekonomi, sosial maupun sosio-kultural. Munculnya pemimpin-pemimpin besar perempuan tak lerpas dari cerita kegigihannya dalam memperjuangan sistem masyarakat yang berbasis keadilan, terkhusus pada hal yang bersifat keadilan gender. Perlahan kaum perempuan mulai muncul memberikan peran dalam kebijakan publik, bukan hal yang hanya bersifat dapur dan ketundukkan pada konstruksi budaya yang memojokkan. Bentuk resistensimu memberikan inspirasi pada kartini-kartini baru untuk keluar dari zona nyaman sistem patriarki.
Kasus-kasus di masa sekarang, terkhusus pada kasus pengikisan terhadap ibu bumi Kendeng, Terlalu banyak orang berada dalam zona nyaman yang bersifat sesaat. Tersenyum disaat sang ibu dikeruk tanahnya, diperas airnya dan dirusak sistem ekologinya bukanlah karakter yang mencerminkan kepedihan sang ibu yang memberikan kehidupan. Gerakan-gerakan yang muncul untuk membela, menyadarkan bahkan berteriak atas penderitaan sang ibu bumi adalah bentuk resistensi mereka sebagai anak yang berbakti pada sang ibu. Keberlangsungan hidup mereka tak bisa dilihat dari hanya sisi keuntungan sesaat, tapi kontuinuitas generasi yang mereka perjuangkan.
Yu Patmi, tetes keringat, air mata serta darahmu adalah simbol spirit ibu bumi kartini yang harus tetap diresonansikan. Pengabaian perjuanganmu memberikan kesadaran pada kartini-kartini baru untuk muncul memperjuang keadilan terhadap ibu Bumi. Omah perjuangan dibumi hanguskan tak membuat hati para kartini ciut untuk menggemakan pembelaan terhadap penyiksaan sang ibu. Perlakuan yang dilakukan kaum-kaum penguasa adalah bukti ketakutan mereka terhadap kehadiran spirit perjuangan ibu bumi kita kartini. Kartini, memang kau tak lahir di tanah yang yu patmi perjuangkan. Tapi, jejak-jejak perjuanganmu tetap diingat sebagai salah satu ibu pejuang simbol kesetaraan dan keadilan baik secara gender maupun ekologi ibu bumi.
Demikian dasar pemikiran yang diungkapkan Koordinator Lapangan (Korlap) acara “Panggung Budaya Kartini Menjaga Bumi”, Icha Sulaiman Ahmad.
“Panggung Budaya Kartini Menjaga Bumi ini hanya sekedar secerca keringat kami dalam menumbuhkan kesadaran jiwa kartini dan ibu Bumi. Teatrikal kami hanya menggambarkan bagaimana ibu bumi diperlakukan tidak adil, untuk memberikan kesadaran bahwa ibu bumi kami menderita. Orasi budaya kami hanya melantangkan suara sayup-sayup yang ingin bukan hanya didengarkan, tapi digemakan untuk perang terhadap sistem hirarki yang menyiksa ibu kami. Musik kami hanya melantunkan nada tangisan tetes keringat sisa-sisa perjuangan ibu kartini. Pembacaan puisi dan surat kartini kami hanya bentuk ekspresi kami mengingat jasa kartini terhadap ibu bumi. Tarian kami bukan gecak gempita dalam penderitaan ibu bumi, tapi wujud kepedulian kami dalam gerakan pengingat, penghormatan serta pengabadian perjuangan Ibu Bumi Kita Kartini,” seru Icha dalam keterangannya kepada redaksi Nusantaranews.
“Apresiasi terhadap para pejuang yang hadir dalam panggung budaya ini. Tetes keringat ini tak sia-sia, usapan dari angin adalah bukti kehadiran ibu ekologis yang kalian perjuangkan. Terima Kasih ibu kartini. Terima kasih ibu Bumi,” pungkas aktivis perempuan DIY itu. (usm/tq)
Pewarta/Editor: Romandhon