NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Belum hilang ingatan masyarakat soal janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melipatgandakan anggaran riset di Indonesia. Janji itu sempat diucapkan Jokowi saat menjadi pembicara kuliah umum di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 16 Agustus 2014. Jokowi berjanji akan melipatgandakan anggaran riset dua kali lipat dari minimal 1 persen per GDP yang diusulkan LIPI.
Dua tahun kemudian, anggaran riset benar meningkat. Tapi tidak dua kali lipat. Naik hanya sekitar Rp 17 triliun. “Walau ada kenaikan, tetapi tidak signifikan untuk kemajuan. Angka tersebut masih berada di posisi paling rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara,” ujar peneliti NSEAS, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Katanya, untuk mengetahui negara itu maju dapat dengan indikator anggaran riset dan pengembangan (R&D) per GDP. Untuk negara-negara maju pada 2005 persentase R&D per GDP antara 2-4 persen.
Israel 4,5 persen, Swedia 3,9 persen, Finlandia 3,5 persen, Jepang 3,2 persen, Amerika Serikat 2,6 persen, Korsel 2,6 persen, Swis 2,6 persen, Jerman 2,5 persen, Austria 2,3 persen, Taiwan 2,2 persen, Singapura 2,2 persen, Perancis 2,2 persen, Inggris 1,9 persen, Cina 1,4 persen, Rusia 1,3 persen, India 1,0 persen, Turki 0,7 persen, Malaysia 0,7 persen. Sementara Indonesia hanya 0,1persen.
“Apakah ada kemajuan di era Jokowi? Sepertinya tidak ada perubahan berarti. Indonesia tergolong sangat rendah pengeluaran anggaran riset dan pengembangan. Dalam buku Proyeksi Ekonomi Indonesia 2017 bertajuk Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia disebutkan anggaran riset hanya 0,3 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah anggaran riset negara lain,” kata Network for South East Asian Studies.
Namun, jumlah publikasi riset mengalami peningkatan. Pada 2015 tercatat sekitar 5.400 hasil riset terpublikasi. Pada 2016 terhitung ada 6.230 riset terpublikasi. Dan diharapkan pada 2017 publikasi riset terus meningkat dengan bekerjasama dengan industri.
Kemudian Kemenristekdikti sendiri mengakui penguatan riset dan pengembangan memang masih terkendala minimnya dana. Dalam APBN 2017, anggaran riset ini masih 0,2 persen dari PDB Indonesia. Padahal cita-cita Indonesia pada 2045 akan menjadi negara maju. Jumlah dana riset itu masih minim atau kecil sekali. Malaysia saja anggarannya sudah di atas 1 persen, Korea saat ini leading di industri anggaran riset sudah 4,5 persen.
“Dibandingkan 2005 hanya naik menjadi 0,2 persen. Belum juga mampu mencapai di atas 1 persen. Padahal Jokowi di nawacita janji akan menaikkan anggaran riset. Dengan rendahnya anggaran riset, mustahil Indonesia bisa masuk ke tahap negara maju,” kata NSEAS lagi.
Dari sisi jumlah karya ilmiah orang Indonesia di jurnal internasional, secara perbandingan antar negara masih memprihatinkan. Masih sangat minim. Pada 2015 ada 5.421 dan sudah melebih target ditetapkan sebanyak 5.008. Indonesia ada di tangga nomor 52 dari total 229 negara. Dibanding Singapura saja Indonesia kalah telak. Pada 2014, menurut data Scimagojr, Indonesia menerbitkan 5.499 jurnal ilmiah dalam publikasi internasional. Tak hanya kalah dari Singapura, Indonesia juga kalah dari Malaysia dan Thailand. Tiga negara itu menghasilkan angka masing-masing 17.198, 25.330 dan 12.061 jurnal.
Bukan hanya tak menonjol di lingkup ASEAN, Indonesia juga dikalahkan negara-negara tengah mengalami konflik seperti Mesir, Pakistan, dan Ukraina, masing-masing peneliti di negara mereka memproduksi 14.196, 10.541, dan 9.218 jurnal ilmiah.
“Dari indikator anggaran riset, kinerja Jokowi tergolong buruk. Tidak mampu memenuhi anggaran riset untuk menjadi negara maju, atau minimal 1 persen per GDP,” ujar ketua studi NSEAS, Muchtar Efendi Harahap.
Dia mengatakan kebijakan Jokowi mengurus riset dan teknologi, dari indikator anggaran riset, boleh dinilai tidak mempunyai visi strategis bagaimana memajukan suatu negara bangsa di dunia internasional.
“Jokowi sungguh miskin pengetahuan tentang hubungan riset dan teknologi, inovasi, industri, SDM dan pertumbuhan ekonomi dalam perkembangan atau kemajuan suatu negara. Ia masih tingkat pengetahuan pentingnya infrastruktur sekali pun juga masih tergolong gagal mencapai target,” tukasnya. (red)
Editor: Banyu Asqalani