NUSANTARANWS.CO – Jangan pernah bersekutu dengan Amerika Serikat (AS). Henry Kissinger pernah menyindir bahwa lebih berbahaya menjadi sekutu AS dari pada menjadi musuhnya. Fakta mutakhir menunjukkan betapa suku Kurdi kini harus menghadapi gempuran militer Turki karena menyatakan kemerdekaannya. Suku Kurdi memproklamirkan kemerdekaannya dari Suriah dengan mendirikan negara Kurdi baru bernama Rojava di atas sepertiga wilayah Suriah yang mereka kuasai berkat dukungan Amerika Serikat (AS) yang ingin menggulingkan Presiden Suriah Bashar al Assad.
Suku Kurdi, bukanlah orang Semit. Mereka adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan yang mendiami gurun pasir Timur Tengah. Mereka mendiami dataran tinggi Suriah, Irak, Armenia, dan Iran. Suku Kurdi juga dikenal karena keberanian bertarung dan suka berperang. Mereka telah lama berperang dengan suku-suku tetangga Arab dan Iran memperebutkan padang rumput dan mata air.
Di Turki, populasi suku Kurdi sekitar 15-20% dari 80 juta penduduknya. Tidak mengherankan bila Turki merasa khawatir dengan gerakan negara Kurdi merdeka sejak akhir 1970-an yang dimotori oleh PKK. Sehingga PKK disebut sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Turki.
Dalam bahasa Kurdi, Partiya Karkerên Kurdistan (PKK) adalah organisasi perjuangan Kurdistan yang didirikan pada tahun 1970-an yang dipimpin oleh Abdullah Öcalan – yang kemudian ditangkap pada tahun 1999. Tujuan PKK adalah mendirikan negara Kurdi merdeka beraliran sosialis dengan wilayah meliputi Turki tenggara, Irak barat laut, Suriah timur laut dan Iran barat laut yang meyoritas penduduknya adalah suku Kurdi.
Disinilah kepentingan AS bertemu dengan keinginan gerakan Kurdi merdeka. Wahington yang ingin menggulingkan Presiden Bahsar al Assad kemudian melatih dan mempersenjatai suku Kurdi yang dikenal dengan SDF dengan dalih untuk memerangi ISIS di Suriah. Dengan dalih ini pula AS mempertahankan kehadiran militernya secara ilegal di Suriah.
Bukan itu saja, upaya AS untuk menggulingkan Presiden Assad telah menciptakan kekacauan di Suriah. Di tambah lagi dengan proklamasi kemerdekaan suku Kurdi dari Suriah yang dikawal oleh SDF dan YPG, di mana hal ini membuat sesak dada Turki.
Namun belakangan, Presiden Trump justru menyatakan bahwa Washington tidak memiliki kepentingan untuk membela SDF – sebagai sekutu utama AS selama bertahun-tahun dalam upaya menggulingkan Presiden Assad.
Ankara sendiri menganggap Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), adalah tulang punggung SDF (Syrian Democratic Forces) yang mendapat dukungan penuh AS, Inggris, dan Prancis. Saat ini SDF setidaknya menguasai lebih dari 25% wilayah Suriah dibagian utara
Di bawah kesepakatan gencatan senjata, Ankara setuju untuk memberikan pasukan Kurdi 120 jam untuk menarik diri dari apa yang disebut “zona aman” yang ingin dibangun Erdogan di sepanjang perbatasan Suriah dengan Turki.
Erdogan pada hari Minggu mengharapkan AS menepati janjinya dan tidak mengulur-ulur waktu. Turki juga memperingatkan bahwa akan melanjutkan operasi militernya jika kesepakatan itu batal. Turki memberi tanggat waktu hingga lima hari sesuai denga perjanjian.
Seperti diketahui, Turki melancarkan agresi militer terhadap Kurdi Suriah pada Rabu 9 Oktober 2019, setelah AS yang menarik pasukannya dari wilayah itu. Turki sangat khawatir dengan prospek negara Kurdi merdeka yang semakin memperluas wilayah kontrolnya di Suriah utara yang membelah kedaulatan Damaskus. Turki dan suku Kurdi telah berkonflik sejak 1978, dan kini konflik semakin berkembang sejak pecah Perang Saudara Suriah. (Agus Setiawan)