NUSANTARANEWS.CO – Ditemani secangkir kopi hitam yang masih mengepul asapnya, Han dengan serius menyapukan kuasnya di atas kain berwarna putih yang sebagian luasnya sudah ada goresan cat lukis. Tangannya bergerak penuh penghayatan. Penuh kehati-hatian. Gerakannya bagai seorang penari.
Kali ini objek yang dilukis Han adalah seorang perempuan yang memakai pakaian kerajaan alias seorang ratu. Warnanya didominasi oleh warna kuning. Dalam lukisan itu tampak telunjuk sang ratu sedang menuding ke suatu arah. Tapi sayangnya, Han melukiskan sosok ratu dengan telapak kaki yang telanjang. Tidak ada alas kaki yang melindunginya. Entah apa maksudnya. Yang jelas jiwa seni Han sedang menggelegar.
Apa Roro Jonggrang secantik ini? Apa ia sewibawa ini? Apa pernah telunjuknya menuding? Tentu saja Roro Jonggrang itu cantik. Tentu saja Roro Jonggrang berwibawa. Apalagi hanya menuding. Tentu ia pernah melakukannya karena ia seorang anak raja. Han tersenyum sendiri. Menyadari kekonyolannya.
Mau tidak mau ia harus menyelesaikan lukisannya, karena dua minggu lagi lukisan ini akan diambil oleh pemesannya.
Saat sedang asyik memikirkan bagaimana goresan selanjutnya, Yu Tin- pembantunya datang kepada Han. Seperti ada sesuatu hal penting yang akan disampaikan Yu Tin. Han meraih cangkir kopinya. Ia lalu menyeruputnya sembari menikmati aroma dari kopi yang begitu khas.
“Ada apa, Tin?” tanya Han sambil meletakan cangkir kopinya di meja yang ada di sampingnya.
“Ada tamu, Pak. Dia mengaku teman bapak. Dia sekarang sedang menunggu di teras.”
Han bertanya- tanya dalam hati ; siapa gerangannya yang datang diwaktu sore seperti ini? Han beranjak dari duduknya.
“Katakan padanya, sebentar lagi akan menemuinya.”
“Baik, Pak.”
Yu Tin kemudian kembali menemui tamu juragannya.
“Tunggu sebentar ya, Pak. Pak Han baru di dalam sedang menyelesaikan sesuatu. Sebentar lagi beliau akan kemari,” kata Yu Tin dengan penuh sopan. Tamu itu hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Kemudian Yu Tin meninggalkan tamu itu.
Tak lama setelahnya, Han muncul di balik pintu. Ia terkaget ketika tahu siapa yang datang.
“Eh, Toni? Apa kabar?” tanya Han tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Benar. Tamu itu bernama Toni yang notabene adalah teman kuliahnya dulu.
“Baik. Kamu sendiri bagaimana? Lama kita tak bertemu. Aku berusaha menghubungimu lewat telpon. Tapi rupanya nomer telponmu sudah ganti.”
“Keadaanku juga baik,”. Han duduk berhadap-hadapan dengan Toni. “Aku memang ganti nomer telpon.”
“Pantas saja. Oya, Sekarang kamu bekerja dimana?”
“Aku melukis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Kadang aku merasa bosan berjam- jam duduk di depan kain. Juga jenuh, seolah hidupku hanya kucurahkan untuk melukis.”
“Wah, bagus sekali. Hanya dengan melukis saja kamu bisa membangun rumah seindah ini.”
“Tapi akhir- akhir ini aku sedikit kesal.”
“Ada apa?” tanya Toni penuh selidik.
“Ada tetanggaku yang mengira aku ini menganggur. Dia menganggap keberhasilanku ini karena pesugihan.”
“Hanya karena itu? Kuno sekali jalan pikiranmu, Han. Seharusnya tak usah kamu pikir omongan orang yang semacam itu. Tak ada gunanya. Dimana- mana yang namanya hidup selalu ada cercaan dan itu setiap hari. Jadi sekali lagi, jangan kamu pikirkan kata- kata mereka. Anggap angin lalu sajalah.”
“Enteng sekali kamu menanggapinya.”
Toni mengeluarkan bungkus rokok dan korek dari saku celananya. Lalu ia menyulutnya. Bersamaan itu, Yu Tin datang dengan membawa dua gelas yang entah berisi apa—tidak tahu isinya karena gelas itu gelap. Dengan penuh sopan Yu Tin meletakannya di meja yang tersedia.
“Hebat sekali kamu, Han. Punya pembantu,” ujar Toni setelah Yu Tin pergi.
“Itu karena istriku bekerja, rumah jadi tidak ada mengurusi. Maka aku menggunakan jasa pembantu untuk merapikan isi rumah.”
“Istrimu pasti cantik. Sayangnya aku tidak tahu akad nikahmu. Kalau seumpama tahu, tentu saja dengan undangan, aku akan hadir.” seloroh Toni yang tiba- tiba beralih bahan pembicaraan.
“Baru sekitar setahun aku menikah, Ton. Perempuan yang kunikahi itu adalah seorang janda. Dia meminta cerai dengan suaminya yang dulu karena ia telah disia- siakan. Padahal kalau kamu tahu, dia itu perempuan sangat baik. Laki- laki memang tak tahu diri ; mengapa tega sekali menyia- nyiakan perempuan.”
“Apaaa? Jadi kamu adalah suaminya yang kedua?” tanya Toni terkaget.
“kamu benar.”
“Kenapa kamu mau Han, menikahinya? Kamu tidak mau menikmati enaknya sebuah keperawanan?”
Han hanya bisa menyimpulkan senyum. Han kemudian terdiam. Ia mencoba bertanya kepada diri sendiri. Apakah ia salah menikahi seorang janda? Ingatannya pun melayang ke masa lalu, kala ia jatuh cinta denga seorang gadis yang bernama Ning. Parasnya sangat ayu.
Pernah suatu ketika Han mengungkapkan perasaannya kepada Ning. Tapi apa yang ia harapkan tak sesuai kenyataannya. Ning menolaknya mentah- mentah.
“Itu tidak akan pernah terjadi, Han. Toh, orangtuaku akan berpikir dua kali. Di samping itu aku telah bertunangan dengan seorang pemuda yang masih ada keturunan darah biru, seperti aku. Mulai sekarang janganlah berandai- andai memilikiku. Itu bukan karena aku membencimu. Kebaikanku kepadamu selama ini hanya didasari rasa kasihan…”
Begitu pedasnya kata-kata Ning. Benar- benar perempuan tak berperasaan, pikir Han. Sejak itu Han mengerti bahwa cantiknya rupa tidak menjamin kepribadian seseorang berlaku baik. Mulai saat itu pula, Han menaruh sedikit benci dengan perempuan yang berparas cantik.
Sebuah mobil BMW metallic terlihat berjalan memasuki garasi rumah Han. Dari dalamnya keluar seorang perempuan yang mengenakan pakaian kantor. Ia berjalan penuh percaya diri memasuki sebuah pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah. Perempuan itulah istri Han.
Terdengar suara Han yang sedikit berteriak memanggilnya.
“Rin, cepatlah kamu kemari. Berkenalanlah dengan teman seperjuangan kuliahku.”
“Iya, Mas. Sebentar lagi aku akan ke depan.”
Han melanjutkan obrolannya dengan Toni. Keduanya terlihat asyik. Sesekali mereka menyeruput sajian yang ada di hadapan masing-masing.
Alangkah terkejutnya…
“Pergiiii…bajingaaann!!!!”. Mendadak suara istri Han melengking memecah obrolan mereka. Han bergegas mendekati istrinya dengan heran bercampur marah. “Riinnnnn,” teriak Han.
“Jaga ucapanmu! Ini temanku, Riiinnnn!”
Toni terbengong. Tak percaya ini akan terjadi. Mata Rini berkaca-kaca. Kerah bajunya di cekal tangan Han erat sekali.
“Dialah Mas, lelaki yang kuceritakan selama ini. Lelaki yang hidup dengan segala perilaku busuknya kepadaku.”. Han melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya spontan melemas. Dadanya sesak. Rasa benci kepada Toni muncul seketika. Han menoleh ke arah Toni. Tapi lelaki itu sudah menghilang.
Kepala Han terasa berat. Pandangannya mulai kabur. Tiba- tiba ia pun terkulai jatuh ke lantai. Pingsan.
“Mas, Han… Tin tolong, Tin,” teriak Rini cemas.
*Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman pada 29 September 1998. Sedang menuntut ilmu di SMA N 2 Banguntapan. Beberapa karyanya tersiar dibeberapa media cetak dan online. Pelajar yang suka membaca dan menulis cerpen ini tinggal di Bantul, Yogyakarta.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.