ISIS, Wahabi, Serangan 9/11 dan Teror Barcelona

Serangan 11 September (disebut September 11, September 11th atau 9/11). (Getty Images)
Serangan 11 September (disebut September 11, September 11th atau 9/11). (Getty Images)

NUSANTARANMEWS.CO, London – Perdana Menteri Inggris, Theresa May dilaporkan telah menolak sebuah seruan dari korban yang selamat dalam serangan 11 September 2001 silam, atau yang dikenal dengan serangan 9/11, untuk menekan Arab Saudi yang dituduh mendanai ekstremisme.

Awal musim panas ini, pemerintah Inggris mengumumkan telah memutuskan untuk tidak mempublikasikan informasinya, dengan alasan keamanan nasional dan sejumlah informasi bersifat rahasia. Demikian laporan yang dikutip Independent.

Di antara mereka yang meminta agar May untuk mengumumkan laporan tersebut, pendahulunya, David Cameron. Cameron adalah seorang korban selamat dari serangan 11 September.

“Inggris sekarang memiliki kesempatan bersejarah unik untuk menghentikan pembunuhan yang dilakukan teroris Wahabisme dengan merilis laporan pemerintah Inggris mengenai pendanaan terorisme di Inggris yang, menurut laporan media, menempatkan Arab Saudi sebagai pusat kesalahan,” kata surat yang ditandatangani oleh 15 orang itu.

Namun, pemerintah Inggris bergeming dan telah menolak permintaan mereka dalam sebuah surat yang oleh kelompok tersebut digambarkan sebagai sesuatu tindakan yang memalukan. Tanggapannya tidak menunjukkan bahwa banyak hal akan berubah di masa depan karena satu alasan sederhana: AS dan Inggris terus melindungi Arab Saudi. Pasalnya, gerakan wahabi internasional yang diduga sengaja dilindungi Amerika dan negara sekutu telah beroperasi luas dan bebas.

Sharon Premoli, yang berada di lantai 80 Menara Utara World Trade Center (WTC) saat serangan pesawat Al-Qaeda mengatakan, ketidaktegasan AS dan Inggris terhadap Arab Saudi membuat bisnis intoleransi mengilhami seluruh dunia.

Brett Eagleson, yang putranya John tewas di lantai 17 Menara Selatan, mengatakan bahwa pemerintah Inggris menahan informasi penting terkait fakta serangan WTC 16 tahun silam itu.

“Ketika pemerintah Inggris memiliki kesempatan untuk menjelaskan pendanaan terorisme dan memiliki kesempatan untuk melakukan terobosan nyata dalam perang global melawan teror, mereka memilih untuk mengambil jalan lain dengan menjalin hubungan yang nyaman dengan Arab Saudi. Ini adalah hari yang memalukan bagi demokrasi,” katanya.

Meskipun 15 dari 19 pembajak yang menyerang New York dan Washington adalah warga negara Arab Saudi, pihak berwenang di Riyadh telah lama menolak kalau memiliki peran dalam serangan tersebut.

Sejumlah sejarawan telah menunjukkan bahwa Inggris dan Amerika Serikat memiliki sejarah panjang untuk mempromosikan dan menggunakan ekstremis Islam ketika sesuai dengan kepentingan. Mark Curtis, sejarawan dan penulis Secret Affairs: Britain’s Collusion with Radical Islam, baru-baru ini menulis bahwa peran Arab Saudi dalam mempromosikan Wahabisme yang telah dikenal selama beberapa dekade.

“Elit Inggris sangat menyadari peran berbahaya yang dimainkan Arab Saudi dalam mengobarkan terorisme,” katanya.

Inggris sebelumnya telah bergerak untuk memastikan hubungan strategis dengan Arab Saudi dan menutupi fakta atas peristiwa teror. Pada tahun 2006 silam, Tony Blair menghentikan penyelidikan kriminal atas tuduhan korupsi oleh perusahaan senjata BAE Systems dan pembayaran kepada pejabat Saudi yang terlibat dalam kesepakatan senjata Al-Yamamah.

Surat yang memberitahukan korban selamat 11 September soal permintaan mereka ditolak untuk dikirim dari kantor Menteri Dalam Negeri Baroness Williams. Meski tak menyebutkan Arab Saudi, tapi laporan tersebut menyimpulkan bahwa ada sejumlah organisasi keci di Inggris yang mendapatkan dukungan termasuk pendanaan dari luar negeri.

Mencermati sepak terjang gerakan teroris di beberapa belahan dunia, terutama Al-Qaeda dan kini ISIS, pernah dipaparkan Hilarry Clinton pada 2013 silam. Clinton yang pada waktu itu sempat menjadi calon presiden AS paling populer membuka mata publik. “Jangan lupa, teroris yang kini kita perangi, kita ikut membiayainya 20 tahun silam. Kita rekrut mujahidin, kita biarkan mereka datang dari Arab Saudi dan negara lainnya untuk mengimpor paham wahabi. Kita gunakan mereka untuk mengalahkan Uni Soviet,” kata Hillary.

Seorang pengamat politik Indonesia, Denny Januar Ali (Denny JA) dalam sebuah catatannya baru-baru ini mengungkapkan bahwa realitas sesungguhnya dari terorisme itu tak lagi sederhana. Betapa kejadian sebuah serangan teroris itu acapkali hanya serpihan dari jejak yang lebih kompleks. Terorisme tak hanya masalah paham radikal. Tapi ia juga warisan pertarungan geopolitik negara besar, bisnis senjata, persaingan di kubu teroris sendiri, tumbuhnya para amatir yang punya akses membuat bom, serta psikologi individu pelaku dengan halusinasi yang berbahaya.

“Setiap kali mendengar terjadi bom meledak, apalagi jika pelakunya dilabel dari Islam garis keras, kita menyadari,” katanya.

Denny JA, dalam catatannya ini mencoba untuk menanggapi peristiwa nahas di Barcelona, tepat di Jl. La Ramblas pada Jumat, 18 Agustus 2017, waktu setempat. Sedikitnya 14 orang tewas dan 50 lainnya luka-luka akibat serangan teror ini. Seperti biasanya, ISIS selalu tampil terdepan mengklaim setiap kali adanya peristiwa penyerangan dan teror. Termasuk insiden penikaman di Kota Turku, Finlandia, Jumat (18/8) waktu setempat yang menewaskan sedikitnya dua orang. Insiden ini juga dikait-kaitkan dengan ISIS.

“Al-Qaeda dan ISIS awalnya juga sebuah proyek politik. Negara besar seperti Amerika Serikat ikut menumbuhkannya, walau kini berbalik ingin menghancurkannya. Yang kini rumit, baik Al Qaeda ataupun ISIS sudah terlanjur mengkader begitu banyak teroris. Mereka terlatih membuat senjata. Mereka terlatih berkerja dengan jaringan. Mereka sudah terdoktrin mendapatkan makna hidup dengan membunuh. Mereka kini seperti anak ayam kehilangan induk. Sebagian dari mereka menyebar pergi ke aneka wilayah dunia, dengan kreativitasnya sendiri. Bahkan antar mereka juga bersaing berebut pengaruh di sebuah teritori. Sementara ideologi kekerasan dengan membajak ajaran Islam sudah pula tersebarkan. Bahkan sudah tumbuh pula individu yang tak terkait langsung dengan ISIS atau Al-Qaeda tapi diromantisasi oleh ideologi kekerasan itu,” kata Denny JA.

Al-Qaeda dan ISIS dikatakan kehilangan induknya karena sudah banyak tekanan kepada AS (juga Inggris) untuk menghentikan keterlibatan mereka dalam menyokong kedua organisasi teroris itu. Kedua, politisi Partai Demokrat AS, Tulsi Galbart mengatakan pihaknya kini tengah memperjuangkan inisiatif berupa sebuah aturan yang disebut the stop arming terorists act (SATA).

Galbart menyatakan: “Kita sudah menghabiskan milyaran dolar untuk membiayai perubahan politik di Timur Tengah. Sementara di Hawai (Amerika Serikat), warga kekurangan rumah, dan infrastruktur yang tak lagi layak. Kita butuh dana untuk pendidikan, kesehatan, dan lainnya,” demikian Denny JA mengutip Independent.

SATA akan melarang (membuat ilegal), praktek politik Amerika serikat sebelumnya. CIA atau lembaga Amerika manapun akan dianggap melanggar hukum jika menggunakan dana Amerika Serikat (tax payer’s money) untuk membiayai aneka gerakan yang bisa diklasifikasikan sebagai terorisme. (ed)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version