NUSANTARANEWS.CO – Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) mengatakan bahwa emisi global yang berhubungan dengan energi karbon dioksida (CO2) akan berkurang hingga 70 persen pada tahun 2050 mendatang. Mengutarakan hasil penelitiannya, IRENA optimis emisi global akan mampu terkikis habis pada tahun 2060.
Dipaparkan IRENA, seperti dilansir Reuters, bahwa untuk membantu mencapai hal ini pangsa primer pasokan energi terbarukan akan meningkat ke level 65 persen pada tahun 2050 dari 15 persen pada tahun 2015 lalu.
Dijelaskan, tambahan investasi energi sebesar $29000000000000 yang dibutuhkan untuk 2050 atau setara dengan 0,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Investasi tersebut harus memberikan stimulus dengan kebijakan lain pertumbuhan pendukung, yang akan meningkatkan GDP global sebesar 0,8 persen pada tahun 2050.
Secara global, 32 gigaton CO2 yang berhubungan dengan energi yang dipancarkan pada tahun 2015. Emisi harus turun ke 9,5 gigaton pada tahun 2050 untuk membatasi pemanasan global tidak lebih dari 2 derajat Celsius di atas suhu pra-industri.
Sekadar catatan, pemanasan global kini telah menjadi permaslaahn dunia. Cina dalah negara dengan penyumbang terbesar dunia gas rumah kaca sebesar 24 persen. Diikuti Amerika Serikat (12 %), Uni Eropa (9 %), India (6 %), Brazil (6 %), Rusia (5 %), Jepang (3 %), Kanada (2 %), Kongo dan Indonesia masing-masing (1,5 %).
Traktat Iklim Paris disepakati pada Desember 2015 lalu. Inti kesepakatan ini ialah bertujuan untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat celcius dan emisi karbon diarahkan nol pada 2050 mendatang. Meski beberapa analis optimis dengan target tersebut, nyatanya KTT G20 di Hangzhou, Cina menjadikan pengurangan emisi karbon sebagai salah satu topik utama.
Terlepas dari hal itu, sejumlah perusahaan otomotif sudah mulai mengembangkan pemakaian mobil-mobil berbahan bakar alternatif seperti mobil listrik, mobil hidrogen, fuel cell, tenaga surya dan energi terbarukan lainnya. Ambil contoh misalnya Jerman, mulai serius menindak lanjuti kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh PBB di Paris. Pemerintah Jerman berjanji akan memangkas keluaran karbondioksida 80 hingga 90 persen pada 2050.
Konferensi tentang perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-22 di Marrakech pada pertengahan November tahun lalu menghasilkan deklasari Marrakech Action Proclamation for Our Climate and Sustainable Development. Konferensi ini menindaklanjuti hasil pertemuan yang diselenggarakan di Paris, Prancis. Tercatat ada 100 perwakilan baik dari negara, lembaga swadaya masyarakat, serta institusi perusahaan swasta yang menyepakati hasil COP Ke-21 atau Paris Agreement.
Indonesia sendiri menyampaikan tujuh poin dari perjanjian COP 22.
1. Mendorong pencapaian target penurunan emisi dan agenda adaptasi sebelum tahun 2020 sebagai landasan kuat untuk pelaksanaan komitmen negara-negara pasca 2020. Secara khusus kepada negara-negara maju yang telah meratifikasi “Doha Amendment” untuk menuntaskan kewajiban menurunkan emisinya.
2. Perhatian yang sama terhadap program-program adaptasi, mitigasi dan dukungan pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas harus sama rata. Indonesia juga mendorong agar perlakukan yang sama ini harus berlanjut pada implementasi NDC dengan mempertimbangan kapasitas yang berbeda-beda di masing-masing negara.
3. Mendorong pencapaian target dukungan pendanaan 100 milar USD sampai tahun 2020 dengan memperhatikan antara janji (pledges) dan realisaasi. Indonesia juga mendorong agar target-trget yang dibicarakan bukan hanya pre 2020 tapi juga pasca 2020 termasuk pendanaan adaptasi.
4. Menfasilitasi implementasi dan pemenuhan (Compliance) program mitigasi dan adaptasi sangat penting untuk mendukung pencapaian target Indonesia dan negara berkembang lainnya. Indonesia menekankan agar “Compliance” merupakan kunci dan harus dilanjutkan dengan prinsif facilitative, non punitive dan non adversarial.
5. Peran dari transparency framework tidak ternilai harganya. Indonesia mengajak agar memperhatikan keseimbangan aspek substantive dan pengorganisasian pembahasannya serta keseimbangan pada transparansi aksi dan dukungan pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas. Hal ini sangat penting untuk eveluasi pencapaian melalui global stocktake di tahun 2023 mendatang.
6. Menegaskan pentingnya tindaklanjut semua mandat dari COP-22, CMP-12 dan CMA-1 termasuk submisi negara anggota dan aspek substansi lainnya, dan menyetujui penetapan waktu kelanjutan persidangan CMA-1. Indonesia juga mendukung pelaksanaan Facilitative Dilogue di tahun 2018 untuk menilai kesiapan setiap negara dalam menjalankan NDC-nya masing-masing.
7. Indonesia menegaskan prinsip inklusifnes, transparan, terbuka dan leaving no one behind dalam proses negosiasi mendatang.
Penulis: Eriec Dieda