Indonesia Didesak Bersikap Atas Perbudakan Tiongkok Terhadap Muslim Uighur

Muslim Uighur (Foto ©breakfornews
Muslim Uighur (Foto ©breakfornews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sekjend Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mendesak pemerintah Indonesia bersikap tegas atas tindakan perbudakan negeri Tiongkok terhadap masyarakat muslim Uighur. Anwar Abbas menyadari bahwa masalah Uighur adalah masalah dalam negeri Tiongkok. Tapi menurut dia, bukan berarti pemerintah Tiongkok bisa bebas berbuat semena mena dan menginjak hak asasi rakyat Uighur yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

“Kalau itu terjadi maka pemerintah Indonesia tidak boleh tinggal diam dan harus angkat bicara karena dalam pembukaan UUD 1945 sudah jelas jelas dikatakan bahwa yang namanya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu penjajahan dan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” ungkap Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya dikutip, Rabu (19/12/2018).

Jadi di tengah tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada, Indonesia kata dia, tidak boleh tinggal diam dan tidak peduli terhadap apa yang terjadi di negeri lain.

Baca Juga:
Soal Penindasan Muslim Uighur, JK: Indonesia Menolak Penindasan tak tak Bisa Ikut Campur
Otoritas Cina Siksa Muslim Uighur, Pemerintah Indonesia Masih Tutup Mata

“Kita harus menjadi bangsa yang secara serius dan sungguh sungguh untuk menegakkan dan menghormati nilai nilai kemanusiaan seperti yang terdapat dalam sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan kita jangan takut untuk melakukan itu karena itu merupakan jati diri dan tugas suci kita sebagai bangsa,” jelasnya.

Bahkan para the founding fathers Indonesia ungkap Anwar Abbas, sangat menyadari dan menyatakan bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang berjuang hanya untuk kepentingan dirinya sendiri saja tapi juga untuk bisa memberi arti dan makna bagi bangsa dan negara lain.

“Apalagi kita sudah menyatakan bahwa politik luar negeri kita adalah bebas aktif. Ini artinya kita tidak boleh tinggal diam tapi harus secara bebas dan aktif untuk menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran dan menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan dalam kehidupan ini,” terangnya.

Sebagai informasi dilansir dari Republika.co.id, laporan mengenaskan etnis Uighur yang mengalami perbudakan dan penahanan dalam kamp-kamp reedukasi di Xinjiang terus bermunculan. Sejumlah media internasional mengungkapkan, Pemerintah Cina mempekerjakan paksa para tahanan etnis Uighur dan Kazakhs di kamp-kamp reedukasi tersebut.

Menurut kesaksian-kesaksian yang dikumpulkan the Associated Press dan dilansir pada Selasa (18/12), para tahanan dipaksa bekerja setelah menjalani indoktrinasi Partai Komunis Cina, dilarang menggunakan bahasa etnis mereka, dan tak boleh menjalankan ritual-ritual agama Islam.

Belasan yang sempat ditahan atau memiliki anggota keluarga dalam kamp menuturkan para tahanan tak diberi pilihan lain selain bekerja di pabrik-pabrik di sekitar kamp reedukasi. Sebagian koridor antara kamp tahanan dan pabrik-pabrik itu dilaporkan dipagari kawat duri dan diawasi dari menara.

Seorang saksi mata yang menyaksikan langsung operasional kamp mengungkapkan, pada sebuah kamp reedukasi, sebanyak 10 ribu tahanan atau 10 hingga 20 persen dari pesakitan di lokasi itu dipaksa bekerja di pabrik. Mereka dibayar hanya sekitar sepersepuluh dari yang biasanya mereka dapatkan sebelum ditahan.

“Kamp tak membayar upah sepeser pun,” kata Elyar, seorang pelarian dari Xinjiang.

The Associated Press juga melacak hasil kerja paksa di Xinjiang dikapalkan untuk perusahaan pakaian olahraga Badger Sports wear di Statesville, North Carolina. Pihak Badger Sportswear menyatakan akan menyelidiki temuan tersebut.

Financial Times yang mewawancarai keluarga enam tahanan Uighur dan Kazakh juga melaporkan, para tahanan dipekerjakan tanpa bayaran setelah lulus dari pusat penahanan. Mereka tak boleh meninggalkan pabrik dan hubungan dengan keluarga sangat ketat diawasi.

Media itu juga melaporkan, di dua kamp reedukasi terbesar di Kashgar dan Yuti an, kerja paksa dimulai sejak awal tahun ini. Kamp penahanan Yuti an dikitari delapan pabrik yang bergerak dalam usaha pembuatan sepatu, perakitan telepon genggam, dan pengepakan teh. Para tahanan dibayar dengan upah sekitar Rp 3 juta per bulan, tetapi tak boleh meninggalkan kamp.

Pewarta: Romandhon
Editor: Alya Karen

Exit mobile version