Hutang Indonesia Hampir Tembus 4.000 Triliun, Jokowi Diminta Hati-Hati

Hutang Indonesia/Ilustrasi/Istimewa/Blogspot/Nusantaranews

Hutang Indonesia/Ilustrasi/Istimewa/Blogspot/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mengenai evaluasi pengelolaan hutang negara yang terus membengkak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Komisi XI DPR RI (4/9/2017) menggelar rapat kerja bersama. Hutang pemerintah saat ini hampir tembus 4.000 triliun atau tepatnya Rp 3.706,52 triliun perakhir Juni 2017 lalu.

Nominal ini meningkat sebesar Rp 34,9 triliun dari bulan sebelumnya.  Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam APBN Perubahan 2017 sebesar 3.717 triliun, rasio utang pemerintah hingga Juni 2017 sebesar 27,02% dari PDB.

Hingga akhir tahun ini pemerintah menargetkan rasio utang pemerintah pusat sebesar 28,1% terhadap PDB.  Sementara itu, batas aman utang pemerintah yang diperbolehkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sebesar 60% dari PDB.

Pada raker tersebut, anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dalam siaran persnya menyatakan belum adanya strategi pengelolaan utang sebagaimana paparan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

“Saya belum melihat strategi pengelolaan utang.  Menurut saya ini bukan strategi hutang tapi strategi mengelola APBN,” tegas Misbakhun di Gedung Parlemen Senayan, Senin (4/9/2017).

Misbakhun juga memberikan catatan paparan Menkeu Sri Mulyani yang kurang detail. “Sebenarnya saya ingin Ibu Sri Mulyani lebih detail. Strategi ke depan seperti apa?” tanya politisi Golkar itu.

Misbakhun berpendapat bahwa pemerintah tidak bisa membandingkan utang negara Indonesia dengan Jepang atau negara maju lain dan masih ada risiko yang sangat besar walaupun porsi SUN dimiliki oleh 62% investor dalam negeri. Pasalnya, pembandingan hutang yang digunakan oleh Menkeu hanya dengan negara-negara G20.

“Kenapa parameternya hanya PDB semata? Aset negara, cadangan devisa dengan negara-negara tersebut padahal sangat berbeda. Jepang dan Amerika tidak berbicara lagi mengenai PDB, tapi Gross National Product (GNP). Barulah kita berbicara mengenai quality pembangunan ekonomi kita. Jadi pembandingannya tidak sesuai,” kata Misbakhun.

Misbakhun juga menekankan, meskipun Indonesia sudah memiliki investment grade dari pihak pemeringkat internasional, bukan berarti membuat ekonomi dan utang negara menjadi baik. Mengenai investment grade, lanjut dia, walaupun hendak diberikan yield tinggi, pemerintah masih dipandang oleh para pemegang dalam posisi tawar yang lebih lemah.

“Kreativitas ini yang ingin kita butuhkan. Pemegang surat utang Indonesia adalah orang Indonesia tapi kita ada problem tentang likuiditas. Kita tidak ada uang untuk membayar merek,” ujar Misbakhun. Misbakhun mewanti-wanti agar disisa pemerintahan Presiden Jokowi lebih hati-hati dan produktif di dalam mengelola utang negara. (*)

Pewarta/Editor: Romandhon

Exit mobile version