Cerpen: Agus Hiplunudin
NUSANTARANEWS.CO – Aku tahu, ini bukanlah sekedar mimpi. Dan kau; pasti akan berdecak kagum setelah kau mendengar cerita mimpiku ini. Siapa hari ini yang tidak ingin menjadi kaya raya? Dan mimpiku dapat mengubah hidupmu—mengantarkanmu menjadi seorang yang kaya raya, tiada bandingnya. Karenanya, simaklah baik-baik hal yang hendak aku ceritakan, siapa tahu mimpiku akan menjadi milikmu.
Dalam mimpi itu. Pada suatu malam, aku berjalan gontai sendirian, menuju sebuah hutan yang terdapat di belakang rumahku. Keadaan hutan sedemikian angkernya, hanya bunyi-bunyi burung yang aku dengar. Pada suatu titik langkahku terhenti. Aku terpesona hingga terbelalak melihat sebuah bukit kecil, anehnya bukit tersebut menyala, aku yakin jika ia terbuat dari kerikil tentunya kerikil itu merupakan intan berlian. Dan jika bukit itu terbuat dari logam, logam itu merupakan emas dua puluh empat karat.
Aku ingin menghampiri bukit tersebut, namun langkahku terhenti, sebab sepasang mata biru menyala dengan auman yang berat membuat aku kehilangan nyali, sosok makhluk tersebut, yakni; seekor raja hutan, harimau.
Aku yakin, bukit tersebut betul-betul nyata, dan jika kau dapat menjangkaunya kau akan berubah menjadi seorang kaya raya. Namun, nyalimu harus diuji; takutkah engkau pada harimau? Jika, kau jawab takut, maka keinginanmu untuk menyentuh bukit bertuah tersebut segera kubur dalam-dalam. Tetapi, jika kau mengatakan bahwa kau tak takut pada harimau, ada kemungkinan kau dapat menjangkau bukit—yang betul-betul akan membuat hidupmu kaya raya, bahkan saking banyaknya hartamu—tak akan habis hingga tujuh turunanmu. Sekarang nasib ada di tanganmu, tinggal kau yang menentukan.
***
Mengenai apa yang dimimpikan Abah Sarkasim dua tahun yang lalu, aku tak banyak berharap. Yang jelas aku dan keempat temanku memang dihidupi oleh hutan yang terdapat di belakang rumahnya. Sebagai orang kampung, bagi kami hutan merupakan sumber kehidupan kami, di dalam hutan terdapat rotan dan kayu yang dapat kami ubah menjadi aneka kursi dan meja, yang kami jual kepada siapa saja yang membutuhkannya. Di dalam hutan pula terdapat aneka burung yang dapat kami tangkap dan dapat dijual pula. Daging rusa dan sejenisnya yang terdapat di dalam hutan merupakan daging-daging lezat yang dapat kami santap.
Tiga hari tiga malam sudah aku dan keempat kawanku berada di dalam hutan, hati kami gembira sebab rotan yang kami cari sudah didapatkan, itu artinya kami pulang dengan membawa hasil, bedil locok yang selalu aku tenteng pun pelurunya tak pernah meleset, rusa yang menjadi bidikanku selalu didapat. Walhasil kami tidak pernah kelaparan selama di dalam hutan.
Pada tengah hari, kami merahatkan diri, kami membuat sebuah saung dengan empat penyangga—terbuat dari semak-semak yang kering. Sinar matahari menelisik masuk melalui celah-celah dedaunan. Terdengar kicau aneka burung, dan suara beruk yang bertalu-talu, nampaknya mereka sedang saling berkejaran dari satu pohon ke pohon lainnya.
Haji Kemed, menyalakan perapian. Dengan segera api itu menyala. Aku dengan segera menyiapkan daging rusa yang sudah dibaluri garam, untuk dibakar dijadikan santapan siang. Wangi daging rusa dengan segera memberangus indera penciuman kami, dengan lahap kami pun makan siang.
Haji Kemed memegang perutnya, kemudian ia undur diri, “aku buang air besar dulu,” katanya. Tak lama berselang. Samar-samar terdengar suara auman harimau, berbarengan dengan teriakan orang yang meminta tolong. Aku dan ketiga yang lainnya memburu sumber suara, namun tak ada apa-apa, yang tersisa hanya peci putih Haji Kemed dan ceceran darah, menuju ke arah utara. “Haji Kemed diterkam Si Nenek,” desah Warsita dengan muka pucat pasi, kami tercenung—muka kami pucat pasi, tiba-tiba hatiku seperti diremas rasa takut yang tak terperikan.
***
Semuanya terjadi begitu singkat, keempat temanku telah mati diterkam harimau. Tinggal-lah aku yang kebingungan, jika aku pulang bagaimana caranya aku menjelaskan pada orang-orang kampung itu. Mereka pastinya akan memburuku dengan aneka pertanyaan; kenapa hanya aku yang selamat dari terkaman harimau? Bahkan di antara mereka ada pula yang mengira, sesungguhnya keempat orang kampungku itu bukannya mati diterkam harimau, melainkan mereka mati karena dibunuh olehku.
Untuk menyelamatkan nama baikku, hanya ada satu cara, yakni; aku harus membunuh harimau keparat itu, sebagai bukti bahwa keempat temanku bukan mati lantaran dibunuh olehku. Namun, bagaimana caranya aku membunuhnya, yang paling mungkin justru aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Aku baru sadar, selama aku dan keempat kawanku di dalam hutan, kami telah diburu oleh harimau, betapa tidak enak dan tidak nyamannya hidup diburu. Apalagi aku, sebagai manusia biasanya kami yang memburu, tetapi kali ini justru kami yang diburu. Sekarang, saatnya aku melakukan perlawanan, kini telah tiba saatnya aku yang akan memburu harimau, bukannya aku yang diburu harimau.
Udara malam begitu dingin, membacok kulitku hingga tembus ke tulang. Perapian di depanku cukup membantu, menghangatkan tubuhku. Adapun bedil locok selalu aku sandang. Untuk melindungiku—jika tiba-tiba sang harimau menyerangku. Namun, malam ini harimau itu seperti ditelan alam, kemunculannya tiada tanda-tanda.
Dalam kesendirian aku tercenung, mengingat-ngat kembali keempat temanku yang telah tiada.
Haji Kemed, di kampung, ia terkenal karena kesalehannya, seorang yang dermawan lagi taat beribadah. Namun, dibalik masa lalunya ketika ia hidup dalam perantauan; dahulunya ia seorang perampok, bahkan ia bilang dalam aksinya ia tak segan-segan melukai dan membunuh korbannya. Demikianlah pengakuannya, sebelum ia diterkam harimau.
Warsita lelaki tinggi besar beranak dua, di kampung terkenal karena kebaikannya, ia begitu sopan dan tak segan-segan membantu orang lain. Namun, dibalik kebaikannya itu tersimpan dosa yang selama ini ia rahasiakan, ia bilang padaku; ia pernah menipu, mencuri, dan memperkosa, ketika ia merantau ke Ibukota. Demikian pengakuannya padaku.
Rojik, ia masih muda, bujangan. Di kampung ia tidak banyak tingkah, ia menghormati orangtua, sopan-santunnya baik. Namun, ternyata ia seorang pembunuh sekaligus pemerkosa. Satu tahun yang lalu, di kampung sebelahku diketemukan mayat seorang anak perempuan, yang ternyata Kinem—disangka kuat ia korban pelecehan seksual dan pembunuhan. Dan ternyata pelakunya Rojik. Demikian, pengakuannya menjelang satu hari kematannya padaku.
Pak Danu, seorang ayah tiga orang anak. Di kampung; ia terkenal karena tanggung jawabnya, karena kejujurannya ia dipercaya sebagai bendahara mesjid. Segala urusan keuangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak di kampungku semuanya diserahkan pada Pak Danu. Namun, siapa sangka, dahulunya sebelum ia pindah ke kampungku, ia pernah menggelapkan uang tanah gusuran milik warga kampung asalnya, karena itulah ia dan keluarganya melarikan diri ke kampungku. Demikian katanya, sebelum ia menghembuskan napas terakhir, setelah diterkam harimau.
Aku menghela napas. Keempat temanku, ternyata para pemangsa—mereka sekejam harimau. Bahkan, mereka tak lebih mulia dari harimau yang menerkam mereka. Terpikirkan olehku, jangan-jangan harimau itu bukanlah harimau biasa, namun harimau tersebut merupakan jelmaan dari jiwa-jiwa hitam keempat temanku itu.
Akupun mulai mengingat-ingat dosa yang telah aku perbuat, tidak ada dosa besar yang aku lakukan. Aku hanya melakukan dosa-dosa kecil yang semakin lama semakin besar. Aku kembali menghela napas, dan menghempaskannya kuat-kuat, agar beban dalam dadaku sedikit mengurang.
***
Tiga hari tiga malam sudah, aku memburu harimau, namun yang diburu tak aku jumpai. Harimau itu seakan telah menghilang, seperti ditelan oleh perut bumi. Malam menjelang rembulan tampak bersinar. Tubuhku bukan main letihnya, aku membuat sebuah saung, dan aku nyalakan api unggun agak besar, kata Haji Kemed harimau takut pada api. Aku khawatir saat aku lengah harimau itu datang, namun dengan kobar api yang agak besar, mungkin harimau tak akan gegabah mendekatiku. Dan aku masih ada napas buat melakukan perlawanan atau melarikan diri.
Dengan ditemani api unggun, ketika aku hendak merebahkan diri, samar aku melihat, seperti sebuah bukit kecil yang bercahaya. Kemudian aku perhatikan bukit kecil itu, kini semakin jelas terlihat; jika ia tumpukkan kerikil pastinya kerikil tersebut, yakni; intan berlian. Namun, jika ia terbuat dari logam, pastinya logam tersebut, yakni; emas duapuluh empat karat.
Akal warasku seketika hilang, hasratku untuk menjadi orang kaya berkobar dalam dadaku. Terbayang saja olehku, aku pulang dengan membawa berkintal-kintal emas atau intan berlian. Ketakutanku pada harimau seketika sirna.
Perlahan tubuhku mendekati bukit bercahaya itu, semakin dekat semakin jelas terlihat, bahwa bukit itu adalah tumpukan intan berlian. Hingga jarakku dengan bukit berkilau tersebut hanya kurang lebih satu meteran lagi. Di antara kilau intan permata yang putih—tersinari cahaya rembulan, ada kilauan warna yang berbeda, warnanya biru menyala, dibarengi suara auman harimau.
***
Aku yakin, bukit tersebut betul-betul nyata, dan jika kau dapat menjangkaunya kau akan berubah menjadi seorang kaya raya. Namun, nyalimu harus diuji; takutkah engkau pada harimau? Jika, kau jawab takut, maka keinginanmu untuk menyentuh bukit bertuah tersebut segera kubur dalam-dalam. Tetapi, jika kau mengatakan bahwa kau tak takut pada harimau, ada kemungkinan kau dapat menjangkau bukit—yang betul-betul akan membuat hidupmu kaya raya, bahkan saking banyaknya harta—tak akan habis hingga tujuh turunan. Sekarang nasib ada di tanganmu, tinggal kau yang menentukan.
Panggarangan, 1 Juli 2017
Agus Hiplunudin, lahir di Lebak-Banten, 1986. Ia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Etika Administrasi Negara di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung. Sekaligus sebagai Direktur Eksekutif SAF (Suwaib Amiruddin Foundation) periode 2017-2019. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan: yakni: Politik Gender (2017) Politik Identitas dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi (2017), Politik Era Digital (2017), Kebijakan, Birokras, dan Pelayanan Publik (2017), Filsafat Eksistensialisme (2017)—diterbitkan oleh Grahaliterata Yogyakarta. Adapun karya sastra dalam bentuk cerpen yang telah diterbitkan di antaranya: Yang Hina dan Teraniaya (2015 Koran Madura), Perempuan Ros (2015 Jogja Review), Peri Bermata Biru (2015 Majalah Sagang), Audi (2015 SatelitePost) Demi Suap Nasi (2015 Koran Madura), Filosofi Cinta Kakek (2017, Biem.co), Ustadz dan Kupu-kupu Malam (2017, Biem.Co). Aroma Kopi dan Asap Rokok (NusantaraNews, 2017) tercecer pula dalam buku antologi kumcer.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.