Gara-Gara Aku, Ibuku Mati

What My Mom Told Me Before She Died (Ilustrasi). Foto: Dok. Salon

What My Mom Told Me Before She Died (Ilustrasi). Foto: Dok. Salon

Cerpen Robiatul Adawiyah

NusantaraNews.co – Dewi tahu, ia tak punya ibu sejak ia dilahirkan. Mengapa orang-orang sekitar berulang kali menanyakan perihal ibunya? Bedebah, mereka terlalu usil mengungkit riwayatnya. Bukankah itu sudah takdir, yang tak mungkin terulang kembali seperti waktu yang tak mungkin mundur ke belakang walau hanya sepersekian detik saja? Dewi yang piatu tak pernah menyusu pada siapa pun. Ia di asuh bapaknya dan neneknya, serta kasih sayang tiga saudara laki-lakinya. Dewi anak terakhir dari empat besaudara. Ketiga saudaranya laki-laki. Namun demikian, perasaan-perasaan sebagai anak terkasih teramat perih, berawal dari peristiwa itu.

Peristiwa? Kejadian? Kenyataan itu harus ia alami hingga kini, sampai detik ini, bahkan sejak ia berusia 3 bulan, tinggal dirumah kecil penuh kasih yang membuatnya tak mengenal perasaan kehilangan. Ketiga saudara laki-lakinya, Faisal, Aldi dan Aldo si kembar, berlomba-lomba saling membahagiakannya. Begitupun neneknya yang sangat setia menimangnya, mengasuh, mendidik, mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Dewi.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan, wi?

“Nek, bapak kemana?” Ia sesekali mempertanyakan keadaan bapaknya yang entah dimana adanya. Nek Sopiyah hanya mampu menahan air mata yang hendak tumpak ke wajah keriputnya, menjelang usia 95 tahun ia sangat tegar menghadapi peristiwa itu.

Dewi melamun di pojok warung kopi. Hari masih sangat dini. Musik pop mengalun seirama perasaannya, menggetarkan secangkir kopi di atas meja. Menurut Bu Inah, pemilik warung kopi, lidahnya mengenal rasa kopi dari kebiasaan bapaknya yang suka ngopi. Padahal ketiga saudara laki-lakinya hampir tak suka ngopi, hanya sesekali mersakan harumnya kopi saat ibunya menyodorkan kopi untuk bapaknya sesaat sebelum berangkat kerja.

Pak Madi, bapaknya sudah mengenal kafein cair itu sejak masih Sekolah Dasar. Kebiasaannya mengopi tertular pada anak bungsunya. Kini ia menggemari kopi. Padahal Ibunya pun tidak suka kopi. Bahkan Nenek tak pernah menyiapkan kopi, kecuali untuk kakek yang tak pernah dikenalnya. Kakek meninggal sejak kakak pertam Dewi berusia 2 tahun.

Mata Dewi menerawang. Wajahnya muram, berbeda dengan foto-foto sumringah saat ia masih mengenakan seragam SMP dan SMA di Pondok Pesantren Al-Azzamiyah dengan teman-temannya. Dewi termasuk gadis genius, ia menjurai ranking sejak kelas satu SMP hingga ia lulus SMA dan mendapatkan gelar siswa terbaik se-Pondok Pesantren. Dalam seminggu terakhir, ia memasrahkan diri pada peristiwa yang mengalir. Yang berbisik bahwa hidup ini sudah tamat. Sejak ibunya meninggal dan bapaknya pergi meninggalkan rumah serta anak-anaknya.

Pintu rumahnya diketok, seseorang menyodorkan surat padanya. Belum sempat lidahnya mengucapkan kata-kata bertanya, dari siapa surat ini? Untuk siapa surat ini? Laki-laki itu berbegas pergi tanpa kata. Ia baca isi surat itu dengan penasaran, matanya menyala. “Aku kangen kalian anak-anakku” Ternyata hanya sebait kalimat yang tertera.

Oh, bedebah macam apa yang selalu membuatku marah? Tak hanya ketika ku dengar cerita bahwa dia pergi meninggalkan kami dengan alasan ingin menikah lagi. Seperti binatang saja, setelah ibu tiada, dan kami tumbuh besar, saat itu aku masih bayi, kau pergi begitu saja menelantarkan kami dan nenek. “Kau laki-laki tidak bertanggung jawab, pengecut, brengsek” Dewi memaki dalam hatinya.

Sesaat Dewi rapuh dengan keadaan yang menyelimutinya. Ia menyalahkan diri sendiri, “Andai saja aku tidak dilahirkan, mungkin ibu masih hidup bersama nenek dan kakak-kakku. Tuhan, kenapa aku harus dilahirkan!?” Dalam hatinya ia berontak. Dalam kesunyian ia menangis, ia memaki dirinya sendiri. Seketika Dewi teringat ucapan Nenek bahwa ibumu belum meninggal, dia hanya berpindah tempat dan sedang menunggu kalian di firdaus.

Semenjak ia masuk dalam dunia pendidikan lebih tinggi, kehidupannya dihiasi tentang pelajaran dan buku-buku yang dibacanya. Ingatan itu membuat Dewi beranjak ke perpustakaan pondok pesantren dan mengambil kitab fiqih muslimah di rak nomor dua. Nama pengarang itu, adalah Robiatul Adawiyah. Buku pertama yang dia baca saat mondok dan waktu itu tanpa sengaja ia mengambil untuk di taruh kembali di rak karena jatuh dilantai. Sebelumnya, ia sempat membaca pengarang beserta biografi buku tersebut. Sontak hatinya tertegun, sederet pertanyaan mengawang-awang dalam pikirannya. “Apakah penulis buku ini benar ibuku?”

Diam-diam ia bawa buku itu dan ditanyakan pada nenek. “Ibumu orang hebat Wi. Dia penulis, penceramah, pandai mengaji” Ucap nenek waktu mengunjungi Dewi di Pondok. Ibu sangat genius, sebenarnya sudah banyak karya tulis ibu yang dijadikan refrensi mahasiwa tingkat akhir jurusan syariah di Pondok. Namun, sebab peristiwa kebakaran yang menghanguskan banyak buku-buku di perpustakaan, akibatnya banyak pula karya tulis ibu yang teralalap api.

Kini hatinya terguncang setelah kakak pertamanya, Faisal menikah, dan tinggal bersama istrinya. Hanya sesekali menyambangi adik-adiknya dan nenek. Sebulan selanjutnya, kakak kedua, Aldi pun turut pergi meninggalkan rumah ikut dengan saudara dari ibu, ia tinggal dan menetap di sana. Kini, tinggal Dewi, Aldo dan nenek.

“Aku masih terlalu dini untuk kalian tinggalkan. Aku masih sangat membutuhkn kasih sayang kalian. Tapi kenapa semuanya pergi?! Ka Aldo pun jarang di rumah, kadang pulang itupun hanya numpang ganti pakain saja. Semuanya bedebah!” Air matanya mengucur deras, memaki-maki dalam hati, ia marah, ia marah pada semua orang, ia marah pada keadaan, ia marah pada dirinya sendiri.

***

Di depan rumah Anggi, sepupunya, yang lahir dari rahim bu Lisa, adik ibunya Dewi. Ia menyaksikan kebahagian saat ke-enam anak-anak bu Lisa sedang berkumpul, senda gurau. Sesaat melihat kebahagiaan itu, Dewi melangkah cepat masuk ke rumahnya, sebidang kaca cukup lebar ia hantam dengan tangannya dan berdarah. “Tuhan tidak Adil” Ucapnya lirih dengan nada marah.

Dewi yang sudah menginjak masa remaja, 18 tahun kini usianya. Selalu membandingkan-bandingkan dirinya dengan sepupunya, Anggi yang lebih tua 2 tahun darinya. “Kamu lebih beruntung Nggi, keluargamu utuh. Ibumu masih hidup, bapakmu pun masih tinggal serumah denganmu. Sedangkan aku, ibuku mati gara-gara melahirkanku, bapakku pergi ketika aku masih 3 bulan. Lalu apa lagi yang kau risaukan Nggi?”. Ucap Dewi menggerutu dalam hati. “Walaupun aku tau betul silsilah keluargamu, tapi setidaknya kamu menikmati kebahagiaan itu”

Lamunan Dewi terputus oleh suara seseorang yang menegetuk pintu kamarnya. Dilihatnya Nenek yang seluruh rambutnya memutih, keriput wajahnya semakin tua. Matanya mulai sayu. Nampak jelas tubuhnya renta. “Sini, nenek ceritakan” Sambil menarik lenganku dan duduk di bale bambu peninggalan ibu.

“Kamu itu cucu nenek yang sangat beruntung. Kamu perempuan pilihan Tuhan. Kamu perempuan yang paling bahagia di dunia dan akherat nanti” Sesekali nenek menyeka air matanya. “Coba kau bandingkan dengan saudara-saudaramu, dengan sepupu-sepumu, dengan teman-temanmu. Mereka hanya mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan saudara-saudaranya. Mereka hanya bahagia di dunia saja Wi” Ujar Nenek menenangkan hatiku. “Kau lihat kakakmu Faisal, sakit-sakitan terus, sudah jarang dia menjenguk kita. Kakamu Aldi, turut pula merwat Budemu yang sedang di rawat. Aldo, entah kemana ia pergi. Kadang pulang ke rumah, kadang tidak.” Ungkap nenek menjelaskan.

“Kau Dewi, kau perempuan yang di asuh langsung oleh Tuhan. Kau, perempuan yang mendapatkan kasih sayang langsung dari Tuhan. Kau, perempuan paling beruntung dari semuanya. Nenek hanya perantara saja mengasuhmu Wi. Di balik semua ini, adalah kasih sayang Tuhan, Rahmat Tuhan. Jangan pernah kau menyalahkan dirimu atas kematian ibumu karena melahirkanmu. Janganlah iri dengan kehidupan orang lain cucuku, kebahagian di dunia hanyalah sementara, tak ada yang abadi” Tambahnya.

***

“Apa lagi yang ingin kamu ketahui tentang dirimu, Wi?” Tiba-tiba seorang lelaki tanggung melemparkan tanya padanya saat Dewi sedang melamun di warung kopi bu Inah. Matanya memburu sumber suara itu. Siapa? Pikirnya mengawang, hatinya penasaran, sibuk kepalanya tengak-tengok ke kiri-ke kanan-ke belakang.

“Ini ada surat untukmu” Lelaki itu bergegas pergi setelah menyodorkan surat.

Aku pergi bukan karena tidak sayang kalian, anak-anakku

Aku rindu, aku kangen kalian.

Nenek, Faisal, Aldi, Aldo dan kau Dewi, gadis permata hatiku

Yakinlah, bahwa aku setia menunggu kalian di pintu Firdaus

Dengan menulis bait-bait rindu ini untukmu

Aku tulis sajak ini, hanya untuk memberitahumu bahwa kalian lebih indah dari apapun

 Aku tulis sajak ini, hanya untuk membuatku ada dalam pikiranmu

Aku mencintaimu

                                                                                    “dariku yang melahirkanmu”

Jakarta, 19 Januari 2016

Exit mobile version