Ekonom Konstitusi Sebut Ada Keganjilan Logika dalam Divestasi Saham Freeport

Lahan Tembaga di Tanjungpura, Papua. Foto: Dok. forexposting.ru

Lahan Tembaga di Tanjungpura, Papua. Foto: Dok. forexposting.ru

NusantaraNews.co, Jakarta – Ketua Umum Forum Ekonomi Konstitusi Defiyan Cori mengungkapkan bahwa, kelak, pada Tahun 2021 Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia yang sudah beroperasi mengekplorasi lahan tambaga di Tembagapura, Provonsi Papua akan berakhir.

“Berakhirnya kontrak karya ini merupakan hak mutlak bagi Indonesia untuk menentukan masa depan pengelolaan lahan tambang itu pasca Tahun 2021,” terang Defiyan kepada media, Jakarta, Kamis malam (31/8/2017).

Paling tidak, kata Defiyan, ada. 4 opsi yang terbuka bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan pengelolaan tambang tembaga (bahkan emas juga) yang potensial dan sangat luas tersebut pasca Tahun 2021, yaitu:

Baca: Menteri Rini Klaim BUMN Mampu Beli 51 Persen Saham Freeport, Caranya?

  1. Mengelola sendiri lahan tambang Tembagapura yang telah berakhir kontrak karyanya tersebut dengan melibatkan seluruh komponen pemangku kepentingan (stakeholders)
  2. Mengajak kerjasama PT. Freeport Mc. Moran hanya dalam pendampingan teknologi pengelolaan tambang (technology consultancy)
  3. Melakukan kerjasama dengan perusahaan tambang lain dan atau PT. Freeport Mc. Moran juga dengan mengajukan skema kepemilikan saham yang lebih memberikan lebih besar pada Negara
  4. Menghentikan secara total keseluruhan eksplorasi lahan tambang dan lahannya dialihkan bagi keperluan lain yang lebih memperhatikan aspek lingkungan secara optimal

Simak: Fatamorgana Divestasi 51 Persen saham Freeport

Selanjutnya Ekonom Konstitusi itu menilai, penjelasan pemerintah yang disampaikan melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa proses alot negosiasi dan keberhasilan divestasi saham 51 persen untuk Indonesia ini begitu dramatis seolah-olah merupakan sebuah prestasi adalah sangat naif.

“Dengan membeli saham PT. Freeport sebesar Rp 104-110 Trilyun, dan kemudian dikonversi menjadi 51 persen kepemilikan saham sama saja dengan cara Gubernur DKI dulu yang membeli lahan kepunyaan Pemerintah DKI dengan dana APBD (kas pemerintah). Bukankah ini cara yang merugikan negara Indonesia, sementara kontrak karya PT. Freeport tersebut tersisa kurang lebih 2 tahun,” katanya.

Telaah: Divestasi Saham 51 Persen Adalah Jebakan

Defiyan menambahkan, apabila hanya soal izin ekspor konsentrat yang menjadi permasalahan dan keberatan Freeport dalam membangun smelter, maka sebaiknya renegosiasi dengan PT. Freeport yang lebih menguntungkan posisi Indonesia adalah dengan mengizinkan ekspor konsentrat, dan skema bagi hasil tambang yang lebih proporsional atau lebih besar bagi Indonesia selama sisa 2 tahun kontrak karya.

“Dengan divestasi saham 51 persen dan pemberian izin ekspor konsentrat serta perpanjangan kontrak dengan model Izin Usaha Pertambangan Khusus maka sebenarnya Indonesia kehilangan 4 opsi di atas yang lebih memperkuat posisi tawar Indonesia dalam pengelolaan lahan tambang milik Indonesia tersebut,” tegas Defiyan mengakhiri.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version