NUSANTARANEWS.CO – “Belajar Dari Dinasti Korupsi e-KTP, Dinasti Korupsi RS Sumber Waras dan Garuda Indonesia”. Tradisi korupsi dan suap yang berlangsung di negeri ini ternyata dibudidayakan dan ditularkan melalui meja makan keluarga.
Kita dapat membayangkan, sebuah keluarga koruptor menikmati sarapan pagi sambil membicarakan rencana merampok anggaran negara bersama anak, istri, menantu dan ponakan.
Kesimpulan tersebut bukan tanpa fakta. Ada banyak kasus korupsi yang diungkap oleh KPK yang melibatkan pejabat negara, tak jarang melibatkan juga anggota keluarga intinya, yaitu istri, anak, ponakan, menantu, dll.
Dalam kasus mega korupsi E-KTP misalnya, terungkap dari kesaksian Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, Deniarto Suhartono, dalam sidang e-KTP dengan terdakwa Andi Narogong di Pengadilan Tipikor, Senin, 6 November 2017.
Saat itu Deniarto mengakui bahwa PT Mondialindo Graha Perdana mempunyai saham di PT Murakabi Sejahtera, salah satu penggarap proyek e-KTP. Informasi itu dia dapatkan dari mantan Komisaris PT Mondialindo, Heru Taher (almarhum).
Keterlibatan keluarga Novanto terlihat sangat jelas, silih berganti menjadi pemilik PT Mondialindo, dari Irvanto Hendra Pambudi (keponakan Setya Novanto), Reza Herwindo (anak Novanto), dan Deisti Astriani (istri Novanto). Sedangkan pemilik saham PT Murakabi adalah putri Novanto, Dwina Michaela.
Jaksa Penuntut Umum dari KPK juga menyebut istri Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor, memiliki 50 persen saham, sementara anaknya, Reza Herwindo, 30 persen. PT Mondialindo Graha Perdana adalah perusahaan yang memiliki saham mayoritas di PT Murakabi.
Budaya korupsi yang ditularkan melalui jaringan keluarga juga dapat dilihat dari kasus mega korupsi PT Garuda Indonesia dan dugaan korupsi pembelian tanah RS Sumber Waras.
Kita dapat melihat pembentukan dinasti koruptor dan penularan budaya korupsi melalui dua kasus tersebut. Dalam dua kasus tersebut terlihat rantai dan jejak dinasti keluarga, yaitu antara Kartini Mulyadi dan bekas anak mantunya, Soetikno Sudaryo.
Sebagaimana telah diungkapkan KPK, mega korupsi penyuapan di perusahaan pelat merah, Garuda Airlines, selain melibatkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, juga melibatkan Sutikno Sudaryo.
Menurut KPK, pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang disebut SS, Sutikno Sudarjo, memberi suap kepada mantan Dirut Garuda, Emirsjah Satar, dalam bentuk uang sebesar sekitar Rp. 20 miliar serta barang setara Rp 26,76 miliar yang tersebar di Indonesia dan Singapura.
Pemberian suap tersebut diduga untuk memenangkan proyek pengadaan 50 pesawat Airbus A330 dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls Royce Plc kepada PT Garuda Indonesia, dalam kurun 2005-2014.
Sementara itu, Kartini Mulyadi, bekas ibu mertua dari Soetikno Sudaryo tersebut diduga adalah aktor utama dibalik dugaan korupsi RS Sumber Waras. Menurut hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi DKI, pembelian lahan seluas 36.410 meter persegi itu tidak melalui proses pengadaan yang sesuai dengan prosedur.
Dalam auditnya BPK menilai pembelian lahan dengan menggunakan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) zona Kyai Tapa bukan Tomang Utara tidak sesuai prosedur.
Seperti diketahui, Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras dengan harga Rp 755.689.550.000. Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) menyebut nilai itu didapat dari NJOP tahun 2014.
Dalam laporan hasil pemeriksaannya, BPK membandingkan harga NJOP Jalan Kyai Tapa yang digunakan Pemprov pada 2014 dengan harga pada 2013 lalu saat PT Ciputra Karya Utama (PT CKU) membeli seluas 36 hektar seharga Rp 755 miliar.
Sehingga dari situ terdapat selisih Rp 191 miliar. Karena itu dapat disimpulkan terdapat kerugian negara sebesar Rp. 191 milyar dalam penjualan lahan Sumber Waras di era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Dari tiga kasus korupsi di atas kita, korupsi e-KTP, suap menyuap di PT Garuda Indonesia, kasus penjualan lahan RS Sumber Waras, dapat disimpulkan bahwa mentalitas maling di negeri ini dibangun dari dinasti keluarga, lalu menular atau menjangkit kepada orang-orang sekitarnya, menjangkit seluruh politisi dan pejabat negara, hingga menjadi budaya sebagian besar rakyat Indonesia.
Karena itu, untuk mencegah kejahatan korupsi yang dibentuk di atas meja makan dan dinasti keluarga terulang kembali, maka kami serukan kepada KPK untuk tegas menindak seluruh anggota keluarga yang terlibat dan turut menikmati uang hasil korupsi yang dilakukan pejabat korup tersebut.
Baik itu anak, istri, ponakan, menantu atau bekas menantu, ibu mertua, jika terbukti turut serta dalam merencanakan perampokan uang negara atau turut serta dalam menikmati uang hasil korupsi tersebut maka KPK harus menindaknya secara tegas.
*Soeleman Harta, penulis adalah Jubir Presidium Nasional Kaukus Muda Berantas Korupsi (KMBK).