Membunuh Penyair
Aku yakin, ia akan mati petang ini. Tujuh pembunuh bayaran, dua anjing pelacak, dan selarik puisi, siap menuntaskan apa yang mestinya berakhir. Waktu itu, Soendari sempat mendatangiku dan mengatakan kalau semua akan baikbaik saja. Aja Bun juga pernah mengetuk pintu rumahku dan mengatakan hal yang serupa. Tapi, Kamaliah berbeda. Ia merasa bahwa Kuala Begumit ialah tempat yang pantas bagi calon jenazah A-H.
Pagipagi sekali, aku melihat A-H melantunkan puisi. Dari balik semak, di Langkat, kulihat ia berseri-seri. Lantunan tiap larik dan bait terasa merdu, dan sesekali, ia menyesap secangkir kopi di atas meja berkaki jati. Mooi Indie jadi latar belakang yang memukau. Rasanya, ia seperti berada di pementasan dan menunjukkan penampilan terbaiknya. Ia tak sadar bahwa sebentar lagi riwayatnya bakal tamat.
Kematian siapa yang tahu? Bahkan, ketika kurundingkan rencana itu ke meja bundar dengan dihadiri oleh puluhan pembunuh bayaran, aku tak menjamin seratus persen A-H akan mampus. Aku percaya, kematian ada di tangan Tuhan. Untuk itu, tujuh pembunuh, dua ekor anjing pelacak, dan selarik puisi kusiapkan buat menuntaskannya. Walau tidak seratus persen, namun aku yakin, siapapun bakal sulit lepas dari maut yang terencana ini. Ya, itu bila Tuhan tidak berkehendak lain.
Sebelumnya, di gedung teater, aku dan Soendari menonton penampilan A-H. Aku tahu bahwa ia memang pandai berpuisi. Dan, bila berada di atas panggung, ia bagaikan pujangga baru mekar. Kupikir itu tak lepas dari pengaruh Tuan Alisjahbana dan Armijn.
“Kau lihat, itu indah sekali,” decak Soendari.
“Seleramu buruk!” tandasku, menyeringai. “Kalau cuma baca puisi, aku juga bisa. Dan, bahkan bisa lebih baik darinya.”
“Aku kurang yakin.”
“Mengapa?” tanyaku, menoleh ke Soendari.
“Sebab, bisamu hanya membunuh.”
“Ya, kau benar. Dan bahkan aku bisa membunuh tokek dari jarak berkilo-kilo meter,” ucapku, disusul gelak tawa kemudian.
***
Pagi itu, tanpa dimungkiri, aku takjub pada A-H. Masih dengan latar Mooi Indie, di beranda rumahnya, aku mengamati bagaimana ia melantunkan puisi dari balik semak. Aku sempat menangis karena terlalu dalam menghayatinya. Meskipun belum mampus, rasa-rasanya ia tahu kalau hidupnya tinggal sepelemparan batu.
“Wahai maut, datanglah engkau. Lepaskan aku dari nestapa. Padamu lagi tempatku berpaut. Di saat ini gelap gulita,” (salah satu puisi terkenal karya Amir Hamzah) lantun A-H, mendayu-dayu.
Tentu, aku tidak akan membunuhnya pagi itu. Hal bodoh ketika apa yang kulakukan tak menurut pada rencana. Untuk itu, kubiarkan ia bersenang-senang dengan puisi sampah miliknya. Dan pada petang yang tercatat, akan terjumpai hari kematiannya.
***
Aju Bun mendatangiku dan menanyakan kabar kekasih gelapnya. Kukatakan padanya bahwa tak ada yang perlu dirisaukan. Perempuan itu pun mengangguk dan bilang bahwa keadaan bakal baikbaik saja. Aku tidak tahu, mengapa ia tibatiba mendatangiku dan menanyakan kabar A-H. Mungkinkah firasat buruk melandanya? Lalu, mengapa Kamaliah justru menginginkan kematian suaminya dipercepat?
Sungguh aneh. Namun, aku tak mau ambil pusing. Sesegera, kuagendakan rapat dan Ketua Pemuda Sosialis Indonesia hadir di meja bundar dan barangkali, Malaikat Pencabut Nyawa juga turut bersama kami di sana.
“Aku tidak suka mendengar ia baca puisi. Buruk. Ya, buruk sekali—dan rasanya, telingaku mau copot,” geram salah seorang anggota rapat.
“Mengapa ia suka baca puisi?”
“Ya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan.”
“Bukannya ia seorang bangsawan?”
“Itu cuma keberuntungannya saja, terlahir dari darah biru Langkat.”
“Apa kalian melihat puisinya punya ruh?” celetuk salah seorang anggota rapat, yang seketika suasana jadi lengang. “Maksudku, ketika mendengar Boeah Rindoe, sekejap bulu kudukku berdiri dan seorang perempuan seperti merayap dalam pusaran angin.”
“Apa kau serius?”
“Kita tidak sedang bercanda. Kau akan mati bila ngelawak!”
Seorang anggota rapat itu bungkam. Sejenak menelan ludah, dan kupikir, ia sedang mencerna baikbaik kalimatnya barusan.
“Kita bunuh A-H sekarang!”
Ketua memukul meja sampai tiga kali dan seuntai kalimat melompat dari mulutnya, “Lanjutkan pengakuanmu itu, atau kau akan mati. Kami dapat membunuhmu semudah menjitak cicak atau menepuk nyamuk!”
“B-ba-baik, begini.” Seorang anggota rapat itu menelan ludah. “Boeah Rondoe yang keluar dari mulutnya seperti pusaran angin. Dan, tetiba terwujudlah sosok perempuan. Di teater itu, kulihat, perempuan itu menangis. Lalu, mengusap pipi A-H. Sesosok itu juga menciumnya. Berkali-kali.”
“Kuharap, itu bukan Soendari.”
“Atau, Aju Bun!”
***
Pada malam yang tercatat, aku dan tujuh pembunuh bayaran, serta dua ekor anjing pelacak, pula selarik puisi, mencari A-H di kediamannya. Itu berdasarkan rencana. Tentu setelah Ketua geram. Orangorang feodal mesti mampus. Tak peduli, sekalipun ia penyair. Puisi selamanya tetap puisi. Tidak bakal menjadi malaikat penolong.
Kami tiba di beranda rumah penyair itu. Mataku tertuju pada lukisan Mooi Indie. Latar belakang yang menarik buat pementasan. Kurasa, baru kemarin aku melihat A-H baca puisi di beranda ini pagipagi dan kini tidak terasa waktu kematiannya telah tiba. Waktu memang suka bercanda.
Dua anjing pelacak melompat ke jendela yang terbuka.
“Sementara, kita tunggu reaksi dua anjing itu. Kalau perlu, kita doakan agar anjing-anjing terlatih itu tidak hanya menyeret A-H ke sini, namun juga memakannya sekaligus. Jadi, kita tak perlu kerja ganda!” ucap Ketua.
Hampir tiga puluh menit berlalu dan penyair itu belum juga ketemu. Aku dan Ketua serta tujuh pembunuh bayaran, masih menunggu di beranda. Duduk di kursi sekenanya, sebagian bersandar pada tiang-tiang rumah.
“Anjing tak dapat melacak puisi!” teriak salah seorang dari kumpulan kami.
“Apa maksudmu?”
“Seperti yang saya kisahkan kemarin. Penyair hanya dapat dilacak oleh puisi. Hidung anjing mana dapat melacaknya? Dan, untuk itu, kuusulkan supaya kamu membawa selarik puisi milik A-H,” jelas orang itu padaku.
Aku mengambil selarik puisi dalam saku. Kubuka dan kulihat baris-barisnya. Ini puisi pernah dibaca oleh A-H ketika di beranda. Masih teringat dalam kepala bagaimana ia membacanya dengan penghayatan penuh. Mooi Indie—lagilagi lukisan itu—jadi lanskap. Daundaun berterbangan. Aku mendengar puisinya berkisah tentang kematian.
“Wahai maut, datanglah engkau. Lepaskan aku dari nestapa. Padamu lagi tempatku berpaut. Di saat ini gelap gulita.”
“O, maut. Ke manakah kau gerangan?”
Sesosok perempuan berbalut cahaya muncul dari Mooi Indie. Aku, Ketua, dan tujuh pembunuh terperanjat. Kuamati ia tidak menyerupai Kamaliah. Atau, Aju Bun. Dan bukan pula Soendari. Siapakah ia? Kami tidak tahu dan persetan dengan perempuan itu. Kami hanya ingin A-H kemari, lalu kugorok lehernya pakai pedang!
Tapi, kupikir-kupikir sesosok perempuan itu justru memberiku petunjuk.
“Kerja bagus, Iyang Wijaya,” ucap Ketua padaku, ketika sebilah pedang kuhunjam ke lukisan Mooi Indie dan ternyata A-H bersembunyi di sana.
Penulis: Hendy Pratama, lahir pada 3 November 1995 di Madiun. Bergiat di komunitas sastra Langit Malam dan FPM IAIN Ponorogo. Heliofilia adalah buku kumpulan cerpennya yang akan terbit