Kesehatan

Catatan Perlakukan Diskriminatif Terhadap Pasien JKN

NUSANTARANEWS.CO – Seorang Ibu peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), keluar dari ruang poli bergegas menuju apotek untuk mengambil obat yang diresepkan dokter. Jarak ruang poli dengan apotek tidak terlalu jauh, sekitar 20 meteran. Sampai di apotek, resep yang diharapkan tidak bisa diperoleh sore itu juga. Lantaran waktu sudah pukul 16.00 WIB lebih. Sang Ibu hanya menerima secarik kertas warna merah sebagai tanda terima resep untuk mengambil obat.

Cerita tersebut disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar Rabu (18/1/2017). Kegagalan memperoleh obat tersebut lanjut Timboel disebabkan adanya peraturan apotek jika pasien peserta JKN hanya bisa mengambil obat maksimal jam 16.00. Itupun berlaku untuk hari Senin sampai Jumat. Adapun Sabtu dan Minggu tidak bisa.

Sementara untuk pasien umum bebas mengambil kapan saja. Sekalipun si Ibu telah memohon agar bisa diberikan obat penyakit dalamnya, namun tetap tidak diberikan oleh apotek RS  H di Bilangan Jakarta Timur. Ini menyusul adanya kebijakan baru bagi peserta JKN.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Tegaskan Komitmennya Dalam Menyukseskan Pilkada 2024

Sedikit tak terima, si Ibu menggerutu karena gagal mendapatkan obat, yang memang harus diminum hari itu juga. Esok harinya, ia pun tidak bisa mengambil obat tersebut lantaran harus bekerja. Ya hari itu memang seharian Si Ibu berobat, yang dimulai dari puskesmas dan kemudian dirujuk ke RS H. Praktis hari itu dia tidak bekerja.

Mendapat keluhan dari Ibu yang namanya enggan disebutkan, Timboel Siregar menyarankan agar si Ibu mendatangi BPJS Centre agar staf BPJS Centre yang ada di RS H bisa langsung bicara ke petugas apotek. Namun sayang waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 lebih, dimana staf BPJS Centre sudah pulang kerja.

Atas kejadian tersebut, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar membuat catatan khusus sebagai berikut:

  1. Sepertinya RS terus berupaya untuk “menjauhkan” pasien JKN dari obat yang seharusnya menjadi hak pasien JKN dan harus diberikan apotik RS karena sudah ikut tercover di INA CBGs. Kecurangan demi kecurangan terkait obat terus terjadi di RS. Dengan alasan obat habis di apotik, obat tidak ada di fornas, sampai pembatasan layanan obat di apotik merupakan cara ampuh RS agar pasien JKN membeli obat dari kocek sendiri, sehingga RS mendapatkan keuntungan lebih besar dari INA CBGs. Ini terus terjadi dan terus dibiarkan.
  2. Tindakan Apotik RS yang menerapkan pembatasan jam layanan kefarmasian bagi pasien JKN merupakan bentuk DISKRIMINASI kasat mata. Pembatasan layanan ini akan berpotensi menggangu keselamatan pasien JKN. Tidak diperolehnya obat pada sore itu berarti si Ibu tidak bisa minum obat. Ini artinya keselamatan pasien dipertaruhkan.
  3. Dengan adanya pembatasan waktu pelayanan Apotek bagi peserta JKN, maka dipastikan pekerja sebagai pasien JKN akan terganggu untuk bekerja. Pembatasan ini akan mengganggu produktivitas pekerja di tempat kerja.
  4. Walaupun sudah dinyatakan bahwa obat dijamin dalam JKN dengan dasar hukum Pasal 22 ayat 1 UU no. 40/2004, Pasal 22 ayat 1b huruf 5 Perpres no. 19/2016, dan regulasi-regulasi lainnya, tetapi tetap saja tentang obat terus jadi masalah bagi pasien JKN di RS. Sejak mengadvokasi pasien JKN di awal tahun 2014, hingga kini masalah pasien untuk membeli obat sendiri masih terjadi. Seharusnya BPJS Kesehatan sudah mampu membuat sistem pelayanan untuk membantu pasien JKN.
Baca Juga:  Perawatan Bayi Prematur di Rumah: Tips Sehat dari Dr. Anita Febriana Dokter Spesialis Anak RSUD dr. Moh. Anwar Sumenep

“Kasus sang Ibu di atas atau pun kasus kasus lainnya yang terjadi di RS seharusnya tidak perlu terjadi kalau saja BPJS Kesehatan bisa stand by membantu hak-hak pasien JKN. Yang terjadi saat ini, BPJS Centre di RS-RS sudah tak berpenghuni setelah jam 17.00,” ujarnya. (Emka/Deni)

Related Posts

1 of 414