Burung Hantu Terus Berdekuk

The Night Owl by Chen Yingjie. Foto: Dok. The Yellow Sparrow

The Night Owl by Chen Yingjie. Foto: Dok. The Yellow Sparrow

Cerpen Bayu Pratama

Tepat saat aku berusaha memulai cerita, ia berlari sambil menutup telinganya. Hanya sekali saja telinga kanannya terbebas, ketika tangan itu digunakannya untuk membuka kemudian membanting pintu. Aku mengejarnya, tapi ia telah menghilang dengan hanya menyisakan batang-batang rumput patah sebagai harapan terakhir, dan garukan kuku di kulit pohon sebagai peringatan untuk jangan berharap lagi.

Aku menunggu: Semua harus diselesaikan tepat saat kilasan hijau terlihat di pepohonan, ucapnya sebelum mulai menjadi gila.

Ia tidak pernah berusaha menjelaskan kenapa ia selalu melakukan itu pada akhirnya. Kepalaku berdengung karena berpikir. Suara khotbah mengiang dan membentur dinding-dinding ingatanku seperti pukulan godam: Kita harus percaya! Kata seorang yang merasa dirinya suci di mimbar dalam televisi. Ia mengatakan “itu” sambil menunjuk dengan tangan kanannya. Kemudian saat aku akan mulai bercerita, ia menjadi gila dan berlari sambil menutup telinga.

Saat gelap, dunia menjadi seluas lingkar cahaya alat penerang buatan manusia. Di dalam hutan ini, dengan ranting-ranting pohon yang melarang sinar bulan untuk mengambil bagian dalam cerita, maka duniaku hanya berukuran sebesar dua meter, sesuai senter murahan yang selalu kehabisan tenaga. Cukup susah mencari batang rumput patah dalam warna malam yang seperti ini, tapi tidak sesusah mencari bekas cakaran. Aku terus mengikuti jejak yang dibuatnya, yang menggiringku sampai pada pohon berbatang besar dengan daun putih yang tumbuh di tengah tanah lapang. Bulan bisa terlihat dari sini, melingkupi semua dengan cahaya biru. Di pohon itu, menggantung beberapa tali yang menjerat leher-leher orang berpakaian jubah yang menggelantung seperti pendulum. Semua orang yang tergantung itu adalah laki-laki, dan badan mereka sesegar kehidupan baru. Seharusnya orang yang tergantung seperti itu adalah orang mati, tapi mata mereka terbuka dan nanar melihat kesana kemari. Mulut mereka terus merapal makian ketika cahaya senterku mengenai wajah-wajah mereka. Tubuh mereka tidak bergerak sama sekali walaupun garis-garis wajah mereka bergerak sedemikian hebatnya. Dekuk pertama burung hantu kemudian seperti memantrai mereka, dan itu juga mengingatkanku tentang betapa waktu telah terbuang sia-sia.

Burung hantu terus berdekuk. Bersamaan dengan itu, tubuh-tubuh yang tergantung menyusut perlahan. Menyusut seperti kulit jeruk di bawah terik matahari. Mengecil sampai sebesar biji. Tubuh-tubuh itu tersedot ke dalam tali. Cahaya dari senter yang ada di tanganku bergerak liar berusaha mengerti. Semua tubuh-tubuh itu, satu per satu menghilang. Diikuti dengan jatuhnya bayi dari ujung setiap ranting pohon itu.

Bayi-Bayi itu keluar dari ujung setiap ranting pohon seperti mereka baru lahir dari rahim ibu mereka. Berjatuhan dengan suara berdebum yang mengingatkanku pada sebuah kesedihan di masa lalu, tapi, entah apa itu. Ketika mereka semua mulai menangis, suaranya mengingatkanku pada suara khotbah yang kemudian mengiang dan membentur-bentur dinding ingatanku seperti pukulan godam. Di benakku muncul wajah seorang yang sering ada di balik mimbar dalam televisi.

Semakin kepalaku merasa pening, telingaku merasa suara tangis bayi-bayi itu semakin membesar. Rasa sakit itu memaksaku melakukan sesuatu: selebihnya, malam aku habiskan untuk mencekik bayi-bayi itu sampai sunyi bisa kembali.

Hampir pagi, saat mereka semua akhirnya mati. Aku yang kehabisan tenaga bersandar pada batang pohon. Saat sebuah angin asing bertiup, aku menghirup sesuatu yang memilukan: bau kematian. Suara tangis mereka terngiang di kepalaku walau mereka telah mati setelah melalui hidup yang singkat dan tak berarti. Aku mengingat wanita itu, dia telah berlari, menutup telinganya sambil membawa pergi sesuatu di dalam diriku. Sesuatu yang seharusnya tetap jadi milikku.

Tanpa aku sadari, bayi-bayi mati itu telah dikerubungi oleh kawanan semut. Seperti sebuah perayaan, sebuah pesta besar. Semut-semut itu melaksanakan sebuah perjamuan besar-besaran di atas tubuh kaku itu. Sehelai daun putih jatuh. Berkilau-kilau. Semut-semut bergerak di bawah rerumputan, dan daun itu jatuh tepat di jalur perjalanan mereka. Semut-semut itu berusaha melewati daun itu, beberapa kali mereka memutar di atasnya, seolah-olah kebingungan karena jalan mereka yang berubah. Sampai akhirnya mereka tahu, mereka hanya harus lurus saja, kemudian semua kembali seperti semula. Dunia itu hanya selebar cahaya senterku yang mulai terang-redup antara mati dan hidup. Sampai senter murahan itu mati, semua terasa seperti sebuah kiamat untuk semua yang aku tahu: semut-semut itu dan semua yang mereka tahu.

Night Owl by Chen Yingjie. Foto: Dok. The Yellow Sparrow

Kemudian dunia meluas. Cahaya yang kutahu adalah apa-apa yang menyelusup lewat celah-celah daun putih dari pohon ini. Apa-apa yang kutahu adalah wanita itu. Ia tidak pernah berusaha menjelaskan kenapa ia selalu melakukan semua ini pada akhirnya. Membuatku ada di tempat ini, menunggu kilasan hijau, bersama bayi-bayi mati dan semut-semut yang menikmati mereka. Kepalaku berdengung karena berpikir. Suara khotbah mengiang dan membentur dinding-dinding ingatanku. “Itu” tunjuknya, dan aku menutup telinga.

Aku berlari, ke tempat yang lebih gelap lagi. Aku tidak pernah memastikan siapa saja yang ada di tempat itu, tapi suara-suara dalam kepalaku membuatku meyakini sesuatu: Kita harus percaya, di manapun itu, pasti ada sesuatu. Maka aku meraba bekas cakaran di kulit pohon pertama yang aku temui. Menyentuhnya, kemudian menutup mata. Telinga dan jari-jariku bekerja lebih baik setelah itu: pohon itu terasa berdenyut, dan telingaku mendengar semua suara itu. Saat aku membuka mata, aku, dan tubuhku, merasa telah siap untuk apa saja.

Aku terus berjalan, mencari bekas luka pada setiap kulit pohon. Mencari setiap cerita kenapa mereka ada di sana. Kepalaku terasa menyusut, mengecil sampai sebesar biji. Aku melihat bola mataku menggelinding seperti kelereng di bawah kakiku, sampai semua terasa tertarik ke belakang dengan cepat. Ke awal mula.

Ceritaku tercekat di ujung lidah, berusaha merapalNya. Dan ia seperti mendengar itu semua, berdiri di depanku, entah dari mana. Seperti tak pernah ada yang benar-benar terjadi. Matanya berkedip, di tangannya terselip tali yang aku tahu berasal dari masa lalu. Tali itu? Aku telah melihatnya beberapa waktu yang lalu. Suara tangis bayi-bayi itu terngiang lagi di telingaku. Ah! Suara khotbah itu.

Aku merasa darah mendidih di pembuluh nadiku. Dengan pasti, aku berjalan maju.

Ia berjalan dengan tatapannya yang menyiksaku. Meraba setiap batang pohon yang bisa ia dekati. Untuk apa dia melakukan itu? Pada akhirnya, dia tidak pernah berusaha menjelaskannya. Tepat saat aku berusaha memulai bercerita, ia berlari dengan menutup telinganya. Hanya sekali saja telinga kananya terbebas ketika tangan itu digunakannya untuk mencakar pohon. Aku mengejarnya, terus mengejarnya. Kakinya menyisakan batang-batang rumput patah yang terlihat seperti harapan terakhir, dan garukan kuku di kulit pohon yang dilewatinya sebagai peringatan untuk jangan berharap lagi.

Aku berlari, terus. Mengejarnya.

Ia, dengan tatapannya yang sangat aku kenali, mengedip dan terus bersembunyi di balik setiap pohon yang bisa ia dekati. Sampai akhirnya aku sampai di tempat itu,  sebuah tanah lapang dengan sebatang pohon besar dengan daun lebat berwarna putih. Pohon itu mengeluarkan cahaya hijau menyilaukan. Di sana, ia menari-nari, sambil menciptakan aku, dan semua yang kutahu.

Bayu Pratama lahir di Aiq Dewa, Lombok Timur, 2 Mei 1994. Belajar penulisan kreatif di Departemen Sastra Komunitas Akarpohon, Mataram. Cerpen-cerpennya terbit di beberapa media massa. Diundang sebagai Emerging Writers from East Indonesia pada Makassar International Writers Festival 2017.

___________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com

Exit mobile version