BPS: UU MD3 Penguat DPR dari Sanderaan Pemerintah

Politisi Gerindra DPD DKI Jakarta, Bastian P. Simanjuntak (BPS). Foto: NUSANTARANEWS.CO/Dok. Pribadi

Politisi Gerindra DPD DKI Jakarta, Bastian P. Simanjuntak (BPS). Foto: NUSANTARANEWS.CO/Dok. Pribadi

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Politisi Gerindra DPD DKI Jakarta, Bastian P. Simanjuntak (BPS) menilai Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang disahkan pada rapat paripurna, Senin, 14 Februari 2018 haruslah didukung. Menurut Bastian UU MD3 dapat menjadi penguatan DPR Agar tidak tersandera Pemerintah.

“UU MD3 yang disahkan pada rapat paripurna haruslah kita dukung. Salah satu pasal yang menarik ialah terkait dengan pemanggilan pihak yang dibutuhkan keterangannya. Dalam klausul Pasal 73 revisi UU MD3 itu, ditambahkan frase “wajib” bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang,” hemat bastian dalam keterangan tertulisnya kepada NUSANTARANEWS.CO, Jakarta, Kamis (15/2/2018).

Hal itu penting dilakukan, kata Bastian, supaya tidak ada pihak yang bila dipanggil wakil rakyat menganggap remeh bahkan tidak hadir.

“Wakil Rakyat harus punya wibawa serta harus kuat sehingga dapat menjalankan fungsi legislasinya. UU MD3 juga bisa jadi penguatan DPR/DPRD agar tidak tersandera pemerintah. Eksekutif tidak boleh absolute power, sehingga DPR lah yang akan menjadi penyeimbang kekuatan,” jelasnya.

Menurut dia, selama ini seringkali DPR dijadikan target oleh KPK, padahal penggunaan anggaran terbesar ada di pemerintah pusat. Belakangan ini KPK sangat jarang mengawasi penggunaan APBN di bidang pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur padahal disanalah uang negara nilainya sangat besar dan paling banyak menguras APBN.

“Malah KPK sibuk menggurusi kasus-kasus yang menimpa kepala daerah dan anggota DPRD,” ujarnya.

“Karenanya revisi UU MD3 sangat perlu dilakukan agar KPK bisa dan boleh ditanya terkait kinerjanya. KPK tak boleh lagi mangkir dan enggan bila dipanggil DPR. Penguatan ini bukan berarti anggota DPR tidak bisa tersentuh hukum akan tetapi sebagai lembaga DPR dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penguatan kelembagaan DPR bukan penguatan terhadap individu anggota DPR, kita harus berpikir positif,” tambah dia.

Pasca reformasi, lanjut Bastian, lembaga DPR posisinya semakin lemah sementara pemerintah pusat (eksekutif) malah semakin kuat. Padahal pengawas harusnya lebih kuat dari yang diawasi bukan malah sebaliknya sebagaimana yang terjadi selama ini. DPR sebagai pengejawantahan suara rakyat harus lebih kuat dari pengguna uang rakyat (eksekutif) sehingga dapat meminimalisir penyelewengan APBN.

“Jika kemudian ada oknum anggota DPR melakukan korupsi, harus dipahami bahwa itu bukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat akan tetapi individu. Misalkan ada oknum DPR terlibat dalam kasus korupsi dalam perumusan UU MD3 oknum tersebut masih bisa tersentuh hukum namun harus melalui tahapan-tahapan sehingga kewibawaan DPR sebagai lembaga tetap terjaga,” pungkas Presiden Geprindo itu.

Pewarta/Editor: Achmad S.

Exit mobile version