NUSANTARANEWS.CO – Mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Boediono, yang juga pernah menjabat Wakil Presiden RI periode 2009-2014 beberkan cerita mengelola APBN Indonesia saat kondisi negara alami krisis tahun 1997/1998.
Menurutnya, dengan beban utang yang tinggi, menjadi sulit bagi pemerintah meyakinkan investor masuk ke Indonesia. Sebab, saat itu APBN mengalami proses yang lepas kendali.
“Masalah mula-mula tahun 2001, di pasar keuangan adalah satu pertanyaan, Indonesia dengan beban utang yang tiba-tiba nongol sekitar Rp 600 triliun, sustainability APBN-nya bagaimana?” ujar Boediono dalam Seminar Nasional di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
“Memang waktu itu semua menunggu. Tidak ada yang mau masuk ke Indonesia. Itu tantangan bagaimana kita bisa meyakinkan bahwa kita bisa melewati masa beban utang yang besar ini, sehingga APBN kita sustainable,” kata Boediono.
Indonesia sendiri saat krisis 1998 mengalami dampak paling parah dibanding negara-negara lain di kawasan Asia. Sebabnya bermacam, salah satunya adalah langkah yang tidak pas, di mana terjadi komplikasi politik dan ekonomi saat itu.
“Ini menyebabkan kita mengalami suatu dampak yang luar biasa. Di 97/98 tiba-tiba PDB kita hilang 1/7-nya. Diikuti PHK dan gerakan politik yang menimbulkan perubahan sistem politik kita,” papar dia.
Ditambah lagi waktu itu, lanjutnya, Indonesia mendapat nasib kurang baik, di mana terjadi iklim el-nino yang parah, dan membuat semua produksi pangan Indonesia anjlok. Harga beras bahkan menjadi naik hampir tiga kali lipat dalam satu tahun.
“Paling gampang memang pengeluarannya dipotong. Tapi pertumbuhan ekonomi dulu masih belum bagus juga. Dengan pertumbuhan ekonomi seperti itu, kita coba menggenjot penerimaan pajak yang tidak terlalu bagus, tapi kita lakukan waktu itu,” tutur Boediono.
Hal ini memang cukup terlambat untuk disadari. Menurut Boediono, Indonesia baru menyadari pentingnya kestabilan APBN setelah adanya krisis ekonomi 1998. Hal ini pun diharapkan tidak lagi terjadi karena selama ini Indonesia sering mengalami kesalahan yang sama karena tidak belajar dari sejarah ekonomi Indonesia.
“Pada tahun 2001-2004, baru kita sadar diri dari pukulan yang luar biasa dari krisis 1998 kita alami dampak paling parah dari negara lainnya. Kita harus perhatikan ini,” tandasnya. (Andika)