NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Setelah tercabik-cabik berbagai insiden dan peristiwa yang mengusik rasa kepemilikan terhadap Indonesia, tak sedikit orang lalu lantang berteriak soal Pancasila.
Semoga mereka tidak lupa, bahwa untuk menjadikan Pancasila sebagai kenyataan di bumi Indonesia, maka Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dikembalikan sebagai konstitusi yang berjiwa dan bersikap Pancasila. Dan itu pun dapat dicapai dengan cara menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang asli.
Pasalnya, arus globalisasi yang ditandai dengan reformasi telah membuat perubahan besar dalam UUD 1945 karena pada rentang waktu 1999-2002 terhitung sudah empat kali dilakukan amandemen. Tindakan ini telah mencemari mata air kehidupan bangsa Indonesia. Seperti disinyalir Wapres RI ke-6 Try Sutrisno, pencemaran itu tercermin dalam sejumlah kasus; korupsi, konflik horizontal dan vertikal serta masih banyak contoh lainnya.
“Kekayaan alam Indonesia, seperti pertambangan minyak, gas, batubara, perkebunan telah berada dalam genggaman perusahaan-perusahaan asing multi nasional, nyaris tidak kita miliki lagi kedaulatan di bidang ekonomi,” tulis Wapres RI ke-6 dalam sebuah makalahnya seperti dikutip redaksi, Sabtu (27/5/2017).
Akibat lebih jauh, amandemen empat kali itu telah melahirkan berbagai benturan antara UU dengan berbagai Perda seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Hal itu telah menciptakan raja-raja kecil yang bermental koruptor dibanding membangun daerahnya.
Sekadar catatan, pada 2011 tercatat 173 Kepala Daerah terjerat hukum. Setahun kemudian, meningkat menjadi 235 orang. Pada 2013, naik lagi menjadi 304 orang. Setahun kemudian, sudah mencapai angka 629 kasus dengan jumlah tersangka 1.328 orang dan kerugian negara juga fantastis, yakni Rp5,29 triliun. Tak sampai di situ, pada 2015 sedikitnya ada 550 kasus dengan jumlah tersangka 1.124 orang dengan kerugian negara mencapai Rp3,1 triliun. Dan tahun 2016, tercatat 482 kasus dengan jumlah tersangka 1.101 orang dan kerugian negara Rp1,45 triliun. Terakhir, tahun 2017 Indonesia masih menunggu berapa lagi jumlah koruptor, setidaknya bisa dimulai dari kasus E-KTP yang diduga merugikan negara Rp2,9 triliun.
Belum lagi bila kita bicara tentang ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi yang telah menjadi menu keseharian masyarakat. “Termasuk terjadinya peristiwa-peristiwa intoleransi umat beragama yang mengoyak Kebhineka Tunggal Ika-an kita sebagai unsur perekat bangsa,” ujar Wapres ke-6 RI lagi.
Amandemen UUD 1945 empat kali benar-benar telah membuat bencana besar bagi Indonesia. Artinya, amandemen tersebut telah menghasilkan UUD yang baru, yakni UUD 2002. UUD 1945 (asli) yang terdiri dari 37 pasal dan 49 ayat dirubah menjadi 37 pasal dan 170 ayat. Bahkan menghilangkan penjelasan UUD 1945.
Menurut Mantan Penasihat Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Hankam (1983), Sayidiman Suryohadiprojo akan lebih baik jika dilakukan proses pengkajian dan perumusan kembali UUD 1945 dengan memperhatikan kemungkinan perlunya perubahan mengingat perkembangan zaman. Karena dengan begitu UUD 1945 yang asli tetap tercantum, tetapi disertai addendum yang isinya perubahan terhadap perumusan yang asli.
Adendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu. Namun perubahan yang diadakan tidak boleh meniadakan atau mengurangi posisi Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Begitu pula Wapres RI ke-6 mengatakan bahwa dengan cara Adendum, kita tetap mempertahankan UUD 1945 tanggal 18 Agustus sebagai Akta Kelahiran Bangsa Indonesia. “Uraian dan keinginan untuk memperjelasn dan mengikuti perkembangan jaman dilakukan melalui Adendum; sebagaimana istilahnya Addendum memberikan uraian penjelasan dari pasal-pasal UUD 1945 yang memang terdiri dari ketentuan-ketentuan pokok. Tanpa merubah satu kata pun ke dalam keaslian UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945,” katanya.
Sayang sekali, yang terjadi adalah mencabut TAP MPR dan UU No.5 tentang Referendum, membongkar UUD 1945 menjadi UUD NKRI yang sebetulnya adalah UUD 2002. “Akibatnya, sistem ideologi politik yang liberalistik telah menanggalkan indentitas dan jati diri nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan ideologi Pancasila membangun sistem politik demokrasi pancasila sebagai suatu sistem demokrasi sendiri seperti diamanatkan pada pendiri bangsa,” jelasnya.
“Kita sekarang seolah-olah bangga karena kehidupan yang lebih demokratis; seakan-akan lupa atau tidak paham bahwa demokrasi hanyalah suatu alat dan cara untuk mencapai tujuan; jadi demokrasi bukanlah suatu tujuan. Merasa lebih demokratis, tanpa mampu mencapai tujuan dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan,” tandasnya. (ed)
Editor: Eriec Dieda