NUSANTARANEWS.CO – Sumpah Pemuda merupakan pita sakti pemersatu pemuda-pemudi dalam rangka membangun bangsa dan negara Indonesia. Satu keyakinan, kemerdekaan hanya akan dimenangkan oleh kesatuan alias perjuangan bersama. Itulah visi dan cita-cita yang terkandung dalam Sumpah Pemuda. Selanjutnya, kemajuan suatu bangsa mustahil diraih tanpa adanya semangat patriotik dan jiwa nasionalis dari para pemuda.
Secara historis, perjalanan bangsa dan negara Indonesia telah menempuh masa itu. Sejak berdirinya Budi Utomo, kesadaran persatuan dan kesatuan di kalangan para pemuda yang cinta tanah air telah terbangun. Budi merupakan penanda lahirnya satu generasi di awal abad ke-20. Duapuluh tahun kemudian, lahirlah Sumpah Pemuda yang juga menandakan lahirnya satu generasi yang akan kelak berjuang melawan penjajahan Belanda.
Generasi muda pecinta tanah air, terus lahir. Terbukti pada tahun 1945, satu generasi lagi lahir yang kemudian berhasil memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Cita-cita setiap generasi pembela tanah air Indonesia tak lain dan tak bukan adalah kemerdekaan Indonesia. Pemuda-pemudi bangsa yang bangkit memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya, muncul dari zaman yang memperihatinkan waktu itu. Karenanya rasa patriotisme dan nasionalisme lahir di dalam tubuh mereka. Kemudian menjelma perjuangan yang tanpa henti.
Generasi selanjutnya, dikenal dengan angkatan 66 dan angkatan 89. Dua generasi ini lahir atas tuntutan keadaan, yakni situasi sosial politik yang dinilai tidak menguntungkan rakyat. Karenanya mereka mencitatakan sebuah tatanan baru yang ideal menurut mereka. Namun, hingga kini, apa yang menjadi cita-cita rupanya meleset dari harapan semula. Sampai akhirnya, Indonesia kini berada di titik yang cukup menggelisahkan beberapa kalangan yang cinta Indonesia.
Kegelisahan muncul, akibat situasi politik yang mencemaskan. Ditambah lagi gaya hidup para pemuda yang jauh sekali dari semangat para generasi muda terdahulu. Dimana rasa patriotisme dan jiwa nasionalisme begitu rapuh bahkan nyaris hanya sebatas ucapan. Padahal patriotisme dan nasionalisme adalah syarat utama bagi kemajuan suatu bangsa. Setidaknya hal ini menurut Nurrachman Oerip, yang menurut dia, kini ada bahaya yang mengancam semangat patriotisme dan nasionalisme di kalangan generasi muda, calon penerus peradaban bangsa.
Gejala semakin lunturnya semangat kecintaan pada Tanah Air yang merupakan syarat mutlak suksesnya sebuah bangsa, kata dia juga semakin nyata di kalangan generasi muda Indonesia. “Itu persoalan semua bangsa, tak hanya Indonesia. Sayangnya, persoalan dasar itu justru kerap diabaikan,” ungkap pria kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1946 ini sembari menyebut tiga kunci yang harus terus dipertahankan terkait patriotisme dan nasionalisme, yakni eksistensi, identitas, dan regenerasi.
Menurut dia, semangat patriotisme kian tergerus dalam diri generasi muda, sebab semangat tersebut tidak selalu diaktualisasikan dalam kehidupan. Ironisnya, kata dia, ada semangat patriotisme dan nasionalisme yang salah arah, terutama di awal reformasi. Bahkan, cenderung emosional dan mengarah pada semangat desakralisasi konstitusi yang kebablasan.
Empat kali amandemen UUD 1945 dan menyisakan pembukaannya sebagai kosmetik politik belaka adalah bukti sikap kebablasan dan tanpa arah tersebut. Inilah awal sebuah petaka. Bahkan, ini laiknya sebuah bom waktu yang siap meledak jika tidak segera disadari dan dihentikan. “Akibat amandemen tersebut generasi Indonesia sekarang dan yang akan datang bisa tergiring untuk tidak memahami lagi secara utuh tentang sejarah bangsanya. Tentang Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan, dan kelahiran konstitusi negara bangsanya. Saat ini sedang terjadi historical missing link. Ini bahaya potensial dan sangat memprihatinkan,” tandas tokoh yang sempat menempati pos Wakil Dubes di KBRI Moskow, Rusia, ini.
Lantas apa yang salah dengan Indonesia? Jangankan tampil sebagai negara super power, kondisinya justru laiknya jauh panggang dari api. Mengapa negara yang tidak kaya seperti Indonesia bisa maju, sebaliknya kita yang kaya justru terpuruk? Itulah pertanyaan yang terus mengusik Nurrachman di sela menatap Indonesia dari kejauhan, tempatnya bertugas sebagai diplomat.
“Pasti ada yang salah dengan kita. Ternyata, jawabannya adalah kita tidak memiliki komitmen. Selama ini kita banyak terjebak pada isu yang diciptakan, yang mengaburkan persoalan pokok yang ada,” kata Nurrachman Oerip tegas.
Nurrachman mengingatkan, ada tiga sifat jelek yang harus segera dienyahkan dari bangsa ini, yakni males, munafik, dan maling. Jika sifat jelek 3M ini mampu disingkirkan dan berganti semangat patriotisme, gambaran Indonesia sebagai sebuah negara super power pun bukan sekadar mimpi. “Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jangan sekali-kali mengabaikan sejarah yang terputus, historical missing link, jika tak ingin bangsa ini kehilangan jejak sejarahnya yang dahsyat,” tandasnya. (Ucok Al-Ayubi/Red-02)