ATLI Serukan Supaya Nelayan Tuna di Benoa Tidak Melaut, Ini Himbauan KKP

Kapal Penangkap Tuna di Pelabuhan Benoa/Foto: jemzikan.blogspot.com

Kapal Penangkap Tuna di Pelabuhan Benoa/Foto: jemzikan.blogspot.com

NUSANTARANEWS.CO – Beberapa waktu lalu Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menyerukan kepada nelayan tuna di Benoa, Bali untuk mengikat kapal longline mereka di pelabuhan dan menghentikan aktivitas penangkapan ikan. Menanggapi seruan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghimbau agar nelayan di Bali tetap melaut dan mencari nafkah sesuai dengan izin (SIPI/SIKPI) yang diberikan.

Himbauan KKP dilancarkan lantaran menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, bahwa ikan terbilang cukup banyak yang tersedia, dan kapal-kapal asing sudah dilarang untuk menangkap ikan di perairan RI.

“Momentum penting bagi nelayan RI untuk berdaulat dan menangkap ikan di wilayah yurisdiksi RI,” ungkap Zulficar Mochtar di Pelabuhan Perikanan Benoa, Bali, Senin (3/10) kemarin.

Menurut Zulficar, KKP juga menghimbau agar ATLI tidak melarang nelayan dan anggotanya untuk melaut, karena akan merugikan nelayan itu sendiri. Ratusan nelayan lokal yang selama ini tidak bermasalah di Benoa, Bali, jangan sampai terkena dampak atas pelarangan dari ATLI.

“KKP justru mendorong ATLI untuk membantu dan memfasilitasi anggotanya agar semuanya memenuhi ketentuan dan aturan yang ada, sehingga bisa melaut dengan aman dan hasil tangkapannya bisa diserap oleh pasar dengan harga yang baik,” tuturnya.

Pada prinsipnya, terang Zulficar, bongkar muat (transhipment) ikan di tengah laut telah dilarang sesuai Permen 57 Tahun 2014 tentang pelarangan transhipment. Hal itu dikarenakan, transhipment telah menjadi salah satu modus/indikator utama ikan Indonesia dijarah dan dilarikan keluar negeri secara ilegal.

“Transhipment ini telah lama merugikan nelayan dan negara. Menguntungkan segelintir pihak. Sudah sejak lama transhipment secara ilegal telah diidentifikasi sebagai salah satu modus IUU Fishing. Untuk itu, nelayan diharapkan tidak mentolerir praktek transhipment tersebu,” tegas Zulficar.

Lebih lanjut Zulficar menyatakan bahwa, KKP berada pada posisi untuk memberi ruang yang besar bagi nelayan dalam negeri untuk menangkap ikan. Di saat yang sama juga harus memastikan agar tidak ada indikasi transhipment, destructive fishing dan lainnya yang terkait IUU Fishing ini dalam berbagai aktifitas.

“Mekanisme dan aturan kapal penyangga dan kemitraan telah dikeluarkan untuk mendukung operasional kapal ikan yang ada. Dan kemitraan di beberapa lokasi telah berjalan. Model ini akan terus dievaluasi tingkat efektifitasnya di lapangan,” tambahnya.

Tidak hanya itu, selama beberapa hari terhitung sejak 10 Oktober 2016 nanti, KKP bekerjasama dengan pihak terkait lainnya akan membuka Gerai Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Benoa, Bali. Sehingga, kapal-kapal yang sudah diukur ulang bisa mengurus perizinannya secara cepat dan efektif.

Dimana menurutnya, Kapal-kapal yang masih ada masalah dengan proses perizinan, bisa segera mengantipasi hal tersebut. “Sistem jemput bola ini merupakan lokasi yang ke-16 dari 31 target seluruh Indonesia. KKP akan secara pro aktif meningkatkan pelayanan, percepatan perizinan, dan mensosialisasikan berbagai kebijakan dan mekanisme yang ada untuk membantu nelayan dan stakeholders terkait,” jelas Zulficar.

Namun, lanjutnya, tidak dapat dipungkiri pula bahwa di Bali masih cukup banyak indikasi dan modus pelaku eks kapal asing yang masih mencoba bermain-main dengan aturan yang sudah digariskan pemerintah. Termasuk memalsukan dokumen, mengubah body (modifikasi) kapal, jual beli dokumen perizinan, peralihan kapal nelayan menjadi kapal laut hingga melakukan transhipment ilegal.

“Untuk itu, pemerintah dan aparat keamanan tetap diminta mendalami dan menelusuri praktek-praktek ini. Dan bagi yang terbukti melakukan pelanggaran, tentu akan diproses secara hukum tanpa diskriminasi,” tandasnya. (Riskiana/Red-02/)

Exit mobile version