Berita UtamaFeaturedMancanegara

Aliansi AS, Israel dan Arab Saudi VS Poros Iran-Suriah-Hizbullah

NUSANTARANEWS.CO – Melihat perkembangan mutakhir di kawasan Timur Tengah, terutama dengan bocornya kawat rahasia Israel dan pernyataan mundurnya Perdana Menteri Lebanon – merupakan tanda-tanda bakal pecahnya konflik baru di Lebanon.

Meski rencana Washington untuk menjatuhkan Presiden Suriah Bashar al-Assad pada akhirnya menemui kegagalan. Namun aliansi AS, Israel dan Arab Saudi tampaknya semakin solid untuk membangun hegemoni baru di kawasan Timur Tengah. Tujuan utama aliasi tersebut adalah mengontrol sumber daya alam termasuk minyak, gas dan air di kawasan regional. Itupun jika mereka menang perang.

Di satu sisi, Israel memiliki kepentingannya sendiri yakni ingin membangun Israel Raya dengan penaklukan wilayah yang lebih luas. Dengan kata lain, Israel ingin membangun hegemoninya dengan menaklukan dunia Arab khususnya Lebanon.

Israel sudah lama sangat ingin mencaplok Lebanon, dan hal itu diwujudkan dengan invasi militer tahun 1982 – yang membunuh puluhan ribu warga sipil – ketika pasukan Israel berhasil menguasai Lebanon selatan dan mendudukinya selama 18 tahun, meski kemudian di tendang keluar oleh Hizbullah pada tahun 2000.

Namun, sejak Trump berada di Gedung Putih, Israel semakin nekad memperluas permukiman Yahudinya di seluruh Palestina pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sedangkan pendudukan Dataran Tinggi Golan (wilayah Suriah) yang kaya sumber daya alam – Israel telah mengendalikan sebagian pasokan minyak, gas dan sumber air yang vital.

Apalagi bila berhasil mencaplok Lebanon jelas merupakan bonus besar bagi Israel. Betapa tidak bila yang dikatakan Menteri Energi Lebanon Gebran Bassil pada tahun 2013 benar – Lebanon diperkirakan memiliki sekitar 96 triliun kaki kubik cadangan gas alam dan 865 juta barel minyak lepas pantai.

Baca Juga:  Survei Pilgub Jatim: 84,5% Pemilih Gerindra Mantap Pilih Khofifah-Emil
Sumber Daya Alam Lebanon
Sumber Daya Alam Lebanon

Sementara Arab Saudi kembali menikmati dukungan penuh AS setelah sekian lama di anak tirikan oleh Presiden Obama yang lebih melirik Asia Pasifik. Arab Saudi tampaknya cukup puas dengan dukungan Presiden Trump belakangan ini – meski harus mengeluarkan kesepakatan bernilai miliaran dolar untuk pembelian alutsista.

Tidak mengherankan bila Arab Saudi mulai unjuk gigi dengan melibatkan diri dalam perang sipil di Yaman serta berani bersikap agresif terhadap musuh-musuhnya di kawasan regional, terutama Iran.

Atmosfir kawasan Timur Tengah belakangan ini terasa semakin tegang terutama dengan proxy war yang dimainkan aliansi AS dan sekutunya untuk mengguncang Lebanon guna menghancurkan Hizbullah – sebelum menyiapkan serangan baru terhadap Suriah guna menyingkirkan presiden Assad dari kekuasaannya.

Aliansi AS, Israel dan Arab Saudi sangat berkepentingan menghancurkan Hizbullah dan Suriah sebagai poros Iran – sebelum mereka menyatakan perang dengan Iran. Tidak mengherankan bila Washington tetap mempertahankan tingkat pasukannya di Suriah, meski ISIS telah dikalahkan.

Menurut beberapa sumber, Pentagon menempatkan lebih kurang 2.000 tentaranya di Suriah, meski ilegal. Washington berencana untuk mempertahankan kehadiran militernya di Suriah adalah sinyal bahwa menjatuhkan Presiden Assad dari kekuasaan masih masuk dalam agenda.

Ketegangan AS-Iran yang terus berlanjut terutama dengan sikap bermusuhan pemerintah Trump terhadap Iran terkait program nuklirnya di bawah naungan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) – yang ditandatangani pada bulan Juli 2015 oleh Uni Eropa, Iran dan kelompok negara P5+1 yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis, Inggris dan Jerman

Tampaknya aliansi AS, Israel dan Arab Saudi telah menyabotase kesepakatan nuklir Iran dengan maksud menciptakan sebuah konflik jangka panjang yang direncanakan sekaligus sebagai upaya mengisolasi Iran.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Seperti telah diungkapkan, Israel, Arab Saudi dan AS memiliki satu tujuan utama saat ini dan itu adalah untuk mengguncang politik Lebanon sebagai upaya melemahkan Hizbullah. Tampaknya Israel dan AS akan menerapkan model Libya dengan memfasilitasi ISIS dan kelompok teroris lainnya guna menciptakan perang sipil baru di Lebanon melalui operasi teror dan disinformasi.

Pemerintah Tel Aviv tahu bahwa perang dengan Hizbullah kali ini bukan saja mengorbankan pasukan militer dan sipilnya, tetapi juga risiko kehancuran ekonomi jangka Panjang. Oleh karena itu, Israel sangat membutuhkan dukungan AS jika tujuannya gagal.

Israel menyadari bahwa jika mereka melakukan serangan skala penuh terhadap Hizbullah maka rudal-rudal Hizbullah akan membom bardir Tel Aviv – yang pasti menimbulkan kerusakan besar yang berimbas pada kehancuran ekonomi. Bila hal itu terjadi maka akan menjadi dimensi lain dalam perang yang perlu dipikirkan Israel.

Oleh karena itu, Israel sangat berharap pemerintahan Trump menyetujui paket bantuan militer dan ekonomi yang bernilai miliaran dolar untuk melanjutkan perangnya.

Bila benar terjadi perang berikutnya, Israel akan menerima ratusan ribu hujan rudal yang membawa hulu ledak lebih kuat dan lebih akurat di banding perang tahun 2006. Hizbullah juga memiliki persenjataan rudal pantai ke laut dan pesawat tak berawak (drone)

Sementara Israel telah menyiapkan sstem anti rudal Iron Dome yang dirancang menghancurkan rudal jarak pendek dengan sistem Sling and Arrow David sehingga rudal memiliki kemampuan intersep yang tinggi. Tapi melawan serangan masif ratusan ribu rudal bukanlah perkara main-main.

Baca Juga:  Pengerahan Sistem Pertahanan THAAD di Israel Picu Eskalasi di Kawasan Regional

Di lain pihak, militer Hizbullah dan militer Lebanon setelah kemenangan gemilang atas ISIS – kini mulai meningkatkan kewaspadaan terkait rencana Aliansi AS, Israel dan Arab Saudi yang ingin menghancurkan negara tersebut. Terutama kewaspadaan tingkat tinggi terhadap penyusupan kelompok teroris dukungan AS yang akan menjalankan proxy war – menjadikan Lebanon sebagai Libya jilid II.

Di kutip dari Reuters, edisi 21 November, Panglima Angkatan Darat Lebanon memperingatkan ancaman Israel di tengah krisis politik yang sedang terjadi agar pasukan militer melakukan siaga tinggi – terutama terhadap perilaku agresif Israel di sepanjang perbatasan Selatan.

Panglima militer Lebanon mengatakan kepada tentaranya pada hari Selasa untuk ekstra waspada guna mencegah kerusuhan selama kekacauan politik setelah pengunduran perdana Menteri.

Pasukan juga harus siap untuk menggagalkan segala upaya yang bermaksud mengeksploitasi keadaan saat ini yang ingin menimbulkan kekacauan politik di dalam negeri.

Perdana Menteri Libanon Saad Hariri yang pada awalnya mengundurkan diri dari jabatannya saat mengunjungi Kerajaan Saudi, tiba-tiba pula menangguhkan pengunduran dirinya, jelas ini adalah sebuah tanda bahwa telah terjadi krisis politik di Lebanon.

Dari semua rencana aliansi AS, Israel dan Arab Saudi yang ingin mengisolasi bahkan melancarkan perang dengan Iran – satu hal yang tidak diperhitungkan dengan matang adalah faktor Rusia dan Cina yang telah mendukung penuh Iran selama ini. Bahkan persekutuan Rusia, Iran dan Turki telah berhasil mengalahkan ISIS di Suriah dan Irak. Boleh di bilang Rusia dan Iran adalah pemenang perang di Timur Tengah mengalahkan AS, Israel dan Arab Saudi. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 50