NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sejarah penting tertulis dan terus diperingati, yakni peristiwa Trisakti, 12 Mei 1998. Hari itu, Selasa, sejak pagi ratusan mahasiswa di Kampus Trisakti berdatangan dan berkumpul untuk menggelar unjuk rasa. Di zaman Orde Baru, demonstrasi mahasiswa lazim terjadi di Jakarta serta di sejumlah kota di Indonesia.
Menariknya, dari sekian banyak titik demonsrasi mahasiswa di berbagai daerah, semua mata tertuju pada sebuah insiden penembakan di Kampus Trisakti. Mimbar orasi yang energik berubah menjadi gemuruh teriakan para mahasiswa yang beradu keras dengan bunyi tembakan. Empat mahasiswa pun gugur.
Kini, reformasi telah berusia 19 tahun. Usia yang sudah cukup umur bagi sebuah perjuangan untuk melaksanakan cita-cita. Lantas, bagaimana sepak terjang para aktivis 98 dalam melaksanakan cita-cita reformasi?
Juru bicara Jaringan Aktivis ’98 Lampung, Ricky Tamba menyatakan bahwa reformasi telah mati. Hal itu merujuk pada kenyataan bahwa yang ada hari ini hanyalah kebebasan yang semu. “Reformasi telah mati, yang diwariskan tinggal kebebasan semu yang ternyata tidak mampu mengangkat hajat hidup rakyat banyak,” ujar Ricky Tamba saat dikonfirmasi Nusantaranews.co, Selasa, 12 Mei 2017.
Menurut Ricky reformasi telah melahirkan kebebasan, tetapi gagal menuntaskan agenda perjuangan terpenting menyangkut kesejahteraan rakyat, seperti penyediaan kebutuhan pokok murah maupun pemenuhan pendidikan dan kesehatan dasar bagi seluruh warga negeri ini. Selain itu, musuh utama perjuangan Gerakan Reformasi 1998 yakni korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), semakin merajalela.
“Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi karena diserahkan ke mekanisme pasar, pendidikan dan kesehatan kunci peningkatan kemakmuran rakyat jadi komoditas mahal, produksi usaha rakyat seperti pertanian sangat dikendalikan mafia dan tengkulak,” kata Ricky.
Begitupula pengangguran dan kriminalitas meningkat hingga pedesaan. “Lebih dari 300 kepala daerah dan tiga ribuan anggota legislatif tersangkut kasus korupsi, dan kini ditiru banyak kepala desa yang juga korup, kondisi ini sangat memprihatinkan,” ungkapnya.
Ricky juga mengingatkan bahwa kondisi negara Indonesia kini sudah diambang krisis. Rakyat berada dalam tekanan yang berat dan tidak dipedulikan elit nasional sehingga mudah sekali di picu melakukan pembangkangan.
“Situasi terkini mirip jelang Reformasi 1998 dahulu. Daya beli rakyat melemah, upah buruh harian hanya cukup sambung hidup. Perpecahan elite dan konflik antar lembaga kian terbuka, adu kuat tak peduli etika ketatanegaraan, cuek dengan nasib rakyat!” ucapnya.
Ricky menilai tekanan negara meningkat dengan maraknya penggusuran pemukiman rakyat, usaha kaki lima, areal nelayan dan sebagainya, serta penangkapan kaum prodemokrasi yang kritis. Alih-alih tak mampu jamin kehidupan layak, malahan lakukan kekerasan atas nama kekuasaan. “Kemiskinan dan pengangguran sesuai data BPS terus bertambah karena PHK buruh dampak kebijakan ketenagakerjaan yang tak kondusif bagi pelaku industri nasional,” papar Ricky Tamba.
Ricky mengingatkan setiap penggulingan pemerintahan selalu dimulai dari gerakan rakyat di jalanan, kemudian parlemen ketuk palu mendukung. “Waspada gerakan kritis rakyat tagih janji Nawacita!” pungkas Ricky.