NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sebelum gelaran pesta demokrasi Pilkada DKI berlangsung pada 19 April 2017 kemarin, banyak pengamat dan pakar politik melihat peluang paslon Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat akan sukses besar memenangkan pilkada kala melawan sang seteru abadi Anies-Sandi.
Prediksi tersebut menguat, menyusul berlabuhnya dua partai basis umat Islam terbesar seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi partai penyokong Ahok-Djarot. Namun perkiraan tersebut tak berbanding lurus.
Dimana dalam hasil quick count (hitung cepat), justru Ahok-Djarot terpaksa harus tumbang dan tersungkur. Pertanyaannya, kemana suara partai PPP dan PKB berlabuh? Yang selama ini digadang-gadang mampu menggaet suara muslim DKI?
Menanggapi hal itu, pengamat politik sekaligus dosen FISIP UIN Jakarta Adi Prayitno menganggap bahwa dalam Pilkada DKI kali ini PPP dan PKB tidak bisa diandalkan. Sebab menurutnya yang mendukung Ahok-Djarot hanya partainya bukan masyarakat bawahnya.
“PPP dan PKB tak bisa diharapkan. Karena yang dukung Ahok hanya partainya, sementara basis grass rootnya ke Anies,” ujar Adi saat dihubungi Nusantaranews, Rabu petang (19/4/2017) di Jakarta.
Dirinya juga menambahkan bahwa ketidaktotalitasan partai pendukung (termasuk PPP dan PKB) dalam mengerahkan suara akar rumputnya, menjadi pemicu mengapa Ahok-Djarot terjungkal.
“Soliditas partai pengusung Ahok-Djarot lemah. Padahal sudah disokong oleh 7 partai politik PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, PKB dan PSI. Banyaknya partai pengusung nyatanya tak berbanding lurus dengan soliditas kader-kader dan simpatisan di level bawah,” terang Adi Prayitno.
Penulis: Romandhon