NUSANTARANEWS.CO – Solidaritas Masyarakat Sorong Raya Peduli HAM yang terdiri dari BEM-Universitas Muhammady Sorong, PMKRI, FIM-SOR, KNPB, FNMPP, Sonamapa, Komunitas Kaki Abu, SKPKC-OSA, IPPM-IWARO, Aman Sorong Raya dan Bengkel Budaya, pada Senin (11/12/2017) memperingati 56 tahun kekerasan demi kekerasan terus terjadi di Tanah Papua.
Penanggung jawa aksi, Arnol Kocu mengaku sungguh tragis, karena situasi tersebut kata dia tidak akan berakhir tanpa upaya pendekatan persoalan secara lebih mendalam. Dirinya menganggap pemerintah pusat, dikatakan gagal memahami persoalan, ketika merespon peristiwa tertembaknya seorang anggota polisi (17/6/2017) lalu, bukan mengusut peristiwa penembakan tersebut, justru mengirim penambahan satu kompi pasukan Brimob ke Tanah Papua.
“Hal seperti ini terus berulang, seakan tak pernah ada evaluasi. Pengalaman setidaknya mengajarkan kita, bahwa keputusan yang berangkat dari pemikiran dangkal dan berwatak kolonial semacam ini hanya akan memancing persoalan baru yang memperburuk keadaan,” ungkap dia.
Menurutnya, rakyat Papua menghadapi berbagai persoalan serius. Salah satunya adalah mengenai eksploitasi korporasi, yang sering diwakilkan oleh Freeport, atau korporasi lainnya. Eksploitasi ini, lanjut Arnol melahirkan berbagai akses buruk pada peningkatan ekonomi, politik, dan sosial budaya Rakyat Papua.
“Kekayaan alam dijarah, rakyat dibunuh atau dipinggirkan, dan janji pembangunan berubah wujud jadi perusakan,” tegasnya.
Dirinya melihat terdapat kekhususan dan keumuman sejarah yang melekat pada Papua saat disandingkan dengan suku-bangsa lain yang bergabung menjadi Indonesia. Sebagaimana terhadap daerah lain, Soekarno berusaha “memenangkan” Papua untuk bergabung dengan Republik Indonesia dalam semangat anti-kolonialisme.
Dalam konteks tersebut, defenisi Indonesia adalah kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Nusantara dari cengkraman kolonial Belanda. Indonesia merupakan visi tentang jembatan emas, untuk mewujudkan masyarakat tanpa penindasan bangsa atas bangsa dan tanpa penindasan manusia atas manusia.
“Artinya, Soekarno telah membayangkan bahwa Rakyat Papua akan berada di atas jembatan emas yang sama dengan bangsa-bangsa lain yang bersatu dalam sebuah falsafa kebinekaan bernama Indonesia,” tegasnya.
Editor: Romandhon