Seperti halnya manusia yang memiliki peran ganda sebagai makhluk individu dan sosial, negara sebagai entitas politik juga memiliki peran serupa. Konteks individu pada negara merujuk pada kondisi bahwa setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing yang merupakan cerminan lingkungan domestiknya, sedangkan konteks sosial mengacu pada fakta bahwa tidak ada negara yang dapat hidup sendiri tanpa bekerja sama dengan negara lain.
Aspek sosial yang melekat pada negara diejawantahkan dalam bentuk kerja sama dengan negara lain yang memiliki persamaan dengan negara tersebut. Di sinilah titik awal munculnya kerja sama intra kawasan. Konsepsi kawasan sendiri dalam studi hubungan internasional diartikan sebagai ruang hidup (lebensraum) bagi berbagai negara yang ada di dalamnya.
Pada awalnya pola kerja sama intra kawasan merupakan bentuk kerja sama yang paling ideal dan kokoh karena ditentukan oleh aspek geografis sebagai ruang hidup. Dalam perkembangannya, aspek ini bukanlah aspek tunggal karena harus acuh pada aspek lainnya seperti aspek budaya, kesejarahan, ekonomi, politik, hingga kepentingan nasional yang menjadi esensi hidup bernegara. Ketidaksamaan pada aspek-aspek non geografis tersebut kerap menjadi senjakala bagi kelangsungan kerja sama intra kawasan.
Potret Asia Tenggara dewasa ini merupakan contoh kecil bahwa negara-negara dalam kawasan yang sama tak selalu solid. Hubungan Indonesia dan Malaysia sempat tegang dalam hal perebutan wilayah Sipadan-Ligitan. Tentara Kamboja dan Thailand baku tembak dalam mempertahankan klaim masing-masing terhadap Kuil Preah Vihear. Teranyar, penyanderaan ABK berstatus WNI oleh pemberontak Abu Sayyaf di Filipina yang sedikit banyak menggangu hubungan kedua negara. Kondisi serupa juga terjadi di kawasan yang relatif lebih maju, yakni Eropa. Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh fenomena keluarnya Inggris dari UE yang dikenal dengan istilah Brexit.
Berbagai permasalahan yang saya sebut terjadi di Asia Tenggara dan Eropa sejatinya merupakan manifestasi dari “hal-hal yang belum selesai” di kawasan itu sendiri. Mari kita dedahkan satu per satu akar permasalahan dari rapuhnya kerja sama intra kawasan. Genealogi terbentuknya kerja sama dalam kawasan terletak pada pendelegasian kedaulatan negara anggota kepada otoritas supranasional. Yang menjadi pokok persoalan, dasar pendelegasian kerap tidak bersifat permanen apabila berbenturan dengan kepentingan nasional masing-masing.
Kasus Inggris di UE tidak tertutup kemungkinan terjadi dalam kerja sama ASEAN. Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), kerja sama negara-negara Asia Tenggara tidak selalu simetris, ada negara yang diuntungkan dan ada negara yang merasa dirugikan. Banjir buruh jiran dengan upah murah dan keahlian yang lebih baik membuat buruh lokal Indonesia kehilangan daya saing. Upaya demokratisasi di Myanmar dan masih maraknya terorisme di Filipina menjadi ancaman bagi kepentingan nasional negara-negara Asia Tenggara lainnya dan menjadi titik lemah terwujudnya Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN (APSC) yang kuat.
Aspek persamaan yang menjadi faktor pengikat kerja sama kerap disederhanakan pada aspek kedekatan geografis saja. Aspek ini menihilkan persamaan pada aspek lainnya semisal kedekatan budaya dan sosial, hubungan sejarah masa lampau, hingga status ekonomi. Konflik antara Indonesia dan Malaysia dalam hal perebutan Sipadan-Ligitan yang akhirnya dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional tak bisa dilihat sebagai kasus perbatasan saja. Dari sudut pandang yang lebih dalam, konflik tersebut berada pada tataran sosial dan ekonomi. Kehadiran Malaysia di kedua wilayah tersebut jauh lebih dirasakan masyarakatnya ketimbang kehadiran Indonesia.
Resiliensi kawasan menjadi salah satu sumber masalah bagi kerja sama intra kawasan. Tanpa kohesi sosial, politik, budaya yang kuat, kerentanan kawasan sangat mungkin terjadi. Ini yang menjadi bahaya laten munculnya kekuatan luar untuk mengintervensi dan memasukkan kepentingan nasionalnya. Kasus negara-negara Asia Tengah yang kaya minyak dan gas alam namun tergantung pada Rusia dan Tiongkok menjadi salah satu buktinya. Potret serupa juga bisa dilihat di Timur Tengah. Ketidakberdayaan Suriah dalam menghadapi tekanan pemberontak dan serangan ISIS pada waktu yang bersamaan menjadi entry point masuknya pengaruh Rusia di negara tersebut.
Pokok persoalan lainnya yang menjadi momok bagi kerja sama kawasan adalah bentuk kerja sama dengan pihak lainnya yang berbenturan dengan kerja sama yang disepakati negara-negara kawasan. Keinginan Indonesia untuk bergabung dalam TPP yang dimotori oleh Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu belum tentu selaras dengan harmonisasi kepentingan kawasan. Keputusan negara-negara ASEAN mengikat kerja sama dengan Tiongkok dalam kerangka CAFTA dikritik sebagian kalangan bahwa ASEAN belum cukup kokoh untuk bekerja sama dengan pihak ketiga.
Beragam permasalahan seputar kerja sama kawasan tersebut sepatutnya menjadi atensi dari setiap pemangku kebijakan negara. Suka tidak suka, di era globalisasi yang semakin masif ini, permasalahan domestik negara tetangga dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap stabilitas politik dan ekonomi negara sendiri. Satu negara juga tidak dapat memaksakan kepentingannya kepada negara lain tanpa memiliki kerangka kerja sama formal. Di sinilah urgensi untuk tetap mempertahankan praktik kerja sama kawasan dan mencari solusi atas permasalahan yang muncul.
Masalah paling mendasar yang harus diselesaikan adalah bagaimana setiap negara mampu meletakkan kepentingan kawasan berada di atas kepentingan nasional. Kondisi ini tidaklah absurd jikalau setiap negara memiliki komitmen yang kuat bahwa national benefit yang diperoleh jauh lebih besar dibandingan pencapaian kepentingan nasional secara unilateral.
Badan supranasional yang mewadahi kerja sama kawasan seyogyanya memiliki seperangkat hukum yang mengatur dan mengikat para anggotanya. Oleh sebab itu, bentuk kerja sama kawasan idealnya dikemas dalam kerangka organisasi internasional, bukan rezim internasional yang jauh lebih lunak. Pelanggaran dan ketidakdisiplinan dari salah satu anggota akan diganjar dengan mekanisme hukuman yang disepakati bersama.
Kerja sama kawasan pada dasarnya adalah kerja sama yang sifatnya Government to Government dan formal. Isu yang diusung juga berada pada tataran high politics (politik dan keamanan). Guna mewujudkan kohesi kawasan yang kuat, kerja sama People to People dalam isu low politics (sosial budaya) wajib ditempuh. Kerja sama kawasan yang kuat dapat terwujud tidak hanya secara formal pemerintah, tapi juga informal warga negara.
Terakhir, ketahanan kawasan menjadi kata kunci untuk melanggengkan kerja sama yang dijalin. Ancaman terhadap kawasan mustahil dinihilkan, tapi memungkinkan untuk diminimalisir melalui pengelolaan yang baik. Dibutuhkan sistem kewaspadaan dini yang melekat pada organisasi yang bisa mengantisipasi ancaman sedini mungkin. Ketahanan kawasan dapat terwujud apabila didukung oleh ketahanan nasional yang kokoh dari masing-masing anggota. Instabilitas sekecil apapun yang ada di negara anggota dapat berdampak buruk bagi ketahanan kawasan.
Penulis: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, pemerhati isu-isu internasional